A.
Aspek-Aspek
Maritim Indonesia
Pengalaman sejarah
Indonesia menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan bangsa ini mempunyai hubungan yang
erat dengan keadaan dan kebijaksanaan politik dan ekonomi, baik yang dijalankan
oleh Negara pada tingkat nasional atau kebijakan politik dan ekonomi
mancanegara di tingkat internasional. Kehadiran pemerintah Hindia-Belanda
dengan berbagai kebijaksanaan politiknya juga telah memberi pengaruh yang besar
terhadap berbagai aspek maritim di kepulauan ini.
Aspek-aspek maritim, khususnya pantai Barat sumatera, terutama
dibagian perdagangan dan pelayaran, mulai secara sungguh-sungguh diseret
kedalam sistem ekonomi kolonial oleh pemerintah Hindia-Belanda sejak tahun
1819. Sejak saat itu berbagai aspek maritim tersebut telah menjadi bagian dari
dinamika ekonomi kolonial, yang antara lain ditandai dengan penempatannya dalam
kegiatan ekonomi yang berjenjang. Dalam sistem ini, aspek-aspek maritim
khususnya di Pantai Barat Sumatera telah dijadikan sebagai aktivitas maritim di
“daerah” yang merupakan bagian dari aktivitas maritim. Aspek-aspek maritim
Hindia-Belanda sendiri telah dijadikan pula sebagai bagian dari aktivitas
maritim kawasan seberang laut dari moederland Negeri Belanda.[1]
Cangkupan kemaritiman meliputi :
1.
Perdagangan
Perdagangan pada masa
awal perdagangan di Asia Tenggara sampai pada datangnya VOC lebih bersifat
perdagangan barang-barang lux (mewah dan mahal). Volumenya kecil tetapi
bernilai tinggi. Beberapa jenis barang antara lain emas, perak, mutiara,
rempah-rempah (pala dan cengkih), dan kayu-kayu wangi. Munculnya kerajaan-kerajaan awal di Asia
Tenggara merupakan akibat dari reaksi penduduk setempat yang diberikan
kesempatan oleh pedagang asing menjalin kontak dagang di kawasan pantai.
Kenneth
R. Hall (1985) mengaitkan kemunculan Negara-negara awal di Asia Tenggara dengan
perkembangan perdagangan maritim. Dari hasil studinya terungkap bahwa raja-raja
Majapahit telah mengbah pola kerajaan pada akhir abad ke-13 dengan suatu sistem
yang lebih terintegrasi, yang masih tampak pada masa-masa kerajaan Islam abad
ke-17. Dalam kaitan ini, zona maritim laut Jawa berada dalam hegemoni
Majapahit. Kerajaan ini mampu memanfaatkan peluang perdagangan di kawasan laut
inti nusantara itu untuk membangun kerajaannya.
2.
Pelayaran
dan Perkapalan
Kegiatan pelayaran
dipandang sebagai medium komunikasi masyarakat di suatu daerah dengan daerah
lain. Untuk mmelakukan itu, diperlukan alat transportasi laut (kapal atau
perahu). Sebelum diperkenalkan alat navigasi modern, pelaut tradisional
mengandalkan kemampuan dan pengalamannya untuk menyebrangi laut dengan
memanfaatkan tanda-tanda alam. Karena itulah, rekontruksi pelayaran masyarakat
tradisional harus mengacu pada ingatan mereka yang hampir tidak diabadikan
dalam tulisan (dokument) sehingga aktivitas yang mereka lakukan lebih pada
pengulangan pengalaman atau pengasahan ketajaman emosional dalam membaca
tanda-tanda alam.
3.
Pelabuhan
Pelabuhan memainkan
peran penting sebagai tempat kapal atau perahu berlabuh. Fungsi utama
pelabuhan, tidak sekedar tempat berlabuh, tetapi juga berkumpul untuk
berdagang. Kata Bandar dalam bahasa Inggris (harbour) mengacu pada fungsinya sebagai tempat berlindung dan
berteduh, istilah lain yang berdekatan maknanya dengan Bandar adalah port yang melihat pelabuhan sebagai pintu gerbang,
tempat kapal dan perahu keluar masuk.
4.
Bajak Laut
Kegiatan bajak laut
berkaitan erat dengan perkembangan kegiatan perdagangan maritim. Menurut
Fernard Braudel (1976) dan Lapian (2009), kegiatan ini berkolerasi dengan
kemakmuran di suatu perairan. Semakin banyak volume yang diperdagangkan,
semakin besar peluang terjadnya tindak perompakan. Sebaliknya jika perdagangan lesu,
barang dagangan yang potensial dirompak berkurang, dan keinginan mengadakan
ekpedisi bajak laut pun berkurang. Menurut Lapian, korelasi antara kegiatan
bajak laut dengan perdagangan merupakan bentuk awal dari perdagangan yang
semula berupa tukar-menukar barang timbul karena kekurangan suatu barang
tertentu di suatu tempat, sedangkan tempat lain mempunyai surplus.
B. Perdagangan
Sejak
tahun 500 SM, jaringan perdagangan antara Asia dengan Laut tengah dilakukan
melalui darat. Routenya mulai dari Tiongkok, melalui Asia Tengah dan Turkestan,
sampai ke Laut Tengah. Jalur ini juga digunakan oleh para kafilah dari India.
Jalur darat yang paling tua ini sering disebut “Jalur Sutra”(Burger 1962).[2]
Dua
pelaku utama dalam perdagangan zaman kuno di Asia menurut Van Leur (1967) dan
Burger (1962), ialah kaum finansir (pemilik modal) dan pedagang keliling (travelling pedlasrs). Latar sosial kaum
finansir adalah orang kaya, umumnya raja atau
bangsawan yang memasukkan modalnya dalam suatu usaha. Mereka kerap
menggunakan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan. Para saudagar keliling
berada dalam kontrolnya. Pendeknya, kaum finansir dapat memaksakan monopoli
dalam perdagangan. Tidak ada perdagangan bebas. Karena itu orientasi niaganya
dalam pandangan Van Leur, lebih bersifat “kapitalisme Politik”.
Secara
kuantitatif jumlah kaum finansir sangat sedikit. Sebaliknya, pedagang keliling
sngat banyak. Jumlah mereka melebihi komoditi yang diperdagangkannya. Pedagang
keliling, dari suatu tempat ke tempat lain, sering berganti. Namun, komoditinya
tetap sama. Nilai jual komoditi sangat
mahal. Selain karena jenisnya yang merupakan barang-barang mewah dan mahal,
seperti logam mulia, perhiasan, alat-alat senjata, dan sutera, juga metode
niaganya yang berpindah tempat dan pelaku, membuat nilai jualnya mahal. Jumlah
komoditinya sedikit. Karena itu, tidak memerlukan tempat yang luas di atas
kapal serta mudah dikontrol oleh pedagang.
Salah satu jenis komoditi dari India dan
China adalah kayu manis. Tiga jenis kayu manis yang dikenal saat itu adalah
daun kayu manis (malabathrum), kulit
kayu manis (cassio), dan kuncup bunga
kayu manis (cinnamon). Kayu manis
digunakan sebagai bumbu, pengharum obat luar, dan minuman anggur. Komoditi ini
diekspor ke Laut Tengah lewat jalur laut, menggunakan kapal-kapal Romawi
(Dick-Read 2005:48). Khususnya dari Nusantara, komoditi niaga yang terkenal
adalah rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus, dan kemenyan, yang diekspor ke
India dan kekaisaran Romawi.
Seiring
dengan perkembangan sistem navigasi laut, jalur dagang tersebut beralih melalui
laut. Bermula dari Tiongkok dan Nusantara melalui selat Malaka ke India,
seterusnya ke Laut Tengah melalui dua jalur, yaitu :
1. Teluk
Persia melalui Suriah ke Laut Tengah
2. Laut
Merah, melalui Mesir hingga tiba di Laut Tengah
Jalur
ini mulai digunakan pada abad ke-1 M. Barang-barang yang diperdagangkan di Laut
tengah terdiri dari makanan dan minuman, kain dan pakaian, barang-barang rumah
tangga, peralatan, bahan-bahan mentah, barang-barang mahal, rempah-rempah, dan
pewangi, obat-obatan, dan pewarna, budak, dan barang-barang mewah (Dick-Read
2005: 43)
Perubahan
jalur dagang tersebut, selain menciptakan peluang baru bagi aktivitas maritim
dan menghindari ancaman perampok di gurun-gurun sepanjang jalur darat, menurut
Burger (1962:14-15) disebabkan oleh 4 faktor, yaitu :
1. Permintaan
Barang-Barang Mewah
Permintaan barang-barang mewah dari Timur
sangat besar oleh orang-orang kaya di Eropa, khususnya Romawi. Barang-barang
tersebut terdiri dari pakaian indah dari India, farfum mutiara, dan batu mulia.
Komoditi dagang seperti sutera, kain gorden, dan kain katun dijual dengan harga
sangat mahal. Nilai sutera sama dengan emas pada abad ke-3.
Perdagangan laut antara India dengan
Romawi mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Augustus (27 SM-14 M). Kekaisaran
Romawi mengeluarkan uang dalam jumlah sangat banyak untuk memperoleh
barang-barang mewah. Pola hidup ini terutama pemakaian sutera di kalangan
perempuan istana Romawi, membuat Kaisar Augustus mengeluarkan peraturan pelarangan
penggunaan sutera India transparan dengan dalih moral. Meskipun demikian,
jalinan niaga maritim antara romawi Timur Tengah terus berlangsung, terutama
impor rempah-rempah dan lada (Dick-Read: 43-45).
2. Permintaan
emas oleh India Berpindah ke Daerah Timur
Siberia yang awalnya merupakan sumber
emas tidak lagi mengirimkan emas kepada India, karena jalan-jalan kafilah
disana dirusak akibat gelombang migrasi bangsa-bangsa secara besar-besaran. Hal
ini erat kaitannya dengan keamanan di sepanjang masa.
3. Pelayaran
India dan Tiongkok
Pelayaran India dan Tiongkok telah
berkembang baik, setelah dioperasikannya angkutan laut berukuran besar bernama Jung. Armada ini mampu mengangkut
perumpang antara 600-700 orang. Pengetahuan yang baik mengenai ruang samudera dan
angin musim yang bertiup teratur sepanjang tahun (muson) merupakan
pendukung utama pengoperasian jung dalam pelayaran. Dengan pengetahuan navigasi
itu mereka dapat mengatur masa dan daerah tujuan daerah perdagangan. Perubahan
mendasar ini dipandang sebagai revolusi sistem navigasi maritim Asia pada masa
pramodern (Burger 1962).
Jarak pelayaran dari India menuju China
sangat jauh. Karena itu pelayaran dilakukan dalam dua tahap, yaitu :
a. Kapal-kapal
terlebih dahulu menyebrangi Teluk benggala India, kemudian menuju dan
menyeberang Tanah Genting Kra lewat jalur darat.
b. Pelayaran
dilanjutkan dengan jalur laut menuju China lewat Laut China Selatan. Pelayaran
tersebut memanfaatkan angin muson. Pada
bulan April-Juli berhembus muson barat dari samudera Hindia. Muson ini
dimanfaatkan untuk berlayar ke Timur. Sebaliknya, pelayaran ke barat
menggunakan muson timur yang berhembus pada bulan januari (Dick-Read 2005 :
72-73)
4. Penyebaran
Agama Budha
Penyebaran agama Budha telah berhasil
menghilangkan sistem kasta serta prasangka-prasangka yang selama ini menghalangi perniagaan dengan
bangsa asing. Rekan dagang dan peserta dagang tidak lagi dibatasi oleh status
sosial (kasta), melainkan peluang surplus dari perdagangan. Dari sudut
kebudayaan, perdagangan menjadi saluran perkembangan agama Budha, serta islam
kemudian.
Kawasan
Indonesia bagian Barat terletak di jalur perdagangan dan pelayaran di dunia
belahan timur dan Barat, antara China
dan Jepang di satu sisi dengan India, Arab, dan Eropa di sisi yang lain. Posisi
ini semakin diuntungkan oleh banyaknya tempat berlabuh yang aman, serta adanya angina
yang bertiup secara teratur di kawasan tersebut.
Contoh
:
1. Perdagangan
di pelabuhan Banten
Perdagangan maritim telah terjadi di
Pelabuhan Banten dari sebelum Islam datang. Abad ke-11 sampai dengan abad ke-13
merupakan pertumbuhan perdagangan maritim yang sangat pesat. Para arkeolog
membuktikan bahwa pada masa itu tidak terlihat satupun kesinambungan yang
terputus dalam kronologi benda arkeologi
di situs banten, khususnya keramik China.
Selain itu, ditemukan pula benda
arkeologi lainnya seperti arca dan prasasti Kegiatan perdagangan maritim ini
berlanjut sampai zaman Islam. Pelabuhan Banten semakin terkenal dan banyak
dikunjungi para pedagang dari berbagai negara. Keramaian pelabuhan mempengaruhi
kesuksesan ekonomi Kesultanan Banten. Pada abad ke-16 M dan ke-17 M. Pelabuhan
Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Pulau Jawa. Hal ini
disebabkan oleh letaknya yang strategis untuk daerah perdagangan.
Secara geografis, Pelabuhan Banten
terletak di ujung barat Pulau Jawa yang dikelilingi laut pada tiga sisinya,
yaitu di sebelah utara oleh Laut Jawa, di sebelah barat oleh Selat Sunda dan di
sebelah selatan oleh Samudra Hindia (Samudra Indonesia), sedangkan batas
utara-selatan di sebelah timur terbentang dari Cisadane (Tangerang) sampai
Palabuhan Ratu. Perdagangan maritim di Pelabuhan Banten mengalami puncak kejayaan
pada masa Sultan Ageng Tirtayasa yang terkenal dengan sebutan Sultan Ageng.
Sistem perdagangan maritim yang dipakai oleh Sultan Ageng adalah perdagangan
bebas seperti yang dipakai oleh negara-negara lain seperti Inggris, Denmark,
Mekah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan China. Sultan Ageng melakukan
kerjasama dengan negara-negara tersebut. Usaha Sultan Ageng dalam bidang
perdagangan maritim pun berhasil, yaitu dengan menjadikan Pelabuhan Banten
sebagai pelabuhan internasional.
Pelabuhan Banten tidak terlepas dari
peranan orang-orang Tionghoa khususnya China. Orang-orang ini yang membawa
Pelabuhan Banten mencapai puncak kejayaannya. Para syahbandar pada masa Sultan
Ageng berasal dari orang-orang China, bahkan dalam urusan kesultanan pun tidak
sedikit dari mereka mempunyai peranan yang penting. Hal ini disebabkan oleh
sikap Sultan yang sangat menyukai orang-orang China, sehingga memperkuat kesimpulan
bahwa pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pada masa lalu sudah dikuasai oleh
orang-orang China. Mata uang yang beredar dan sah dalam perdagangan pun mata
uang dari China. Tidak hanya itu, sistem rentenir dipakai di Pelabuhan Banten. Uniknya,
tidak seperti rentenir yang kita kenal, yaitu laba yang diperoleh si pemilik
modal ditentukan oleh lamanya uang yang dipinjamkan.
Heryanti Ongkhodarma mengatakan, kondisi
alam Pelabuhan Banten sangat menarik, karena Pelabuhan Banten merupakan
pelabuhan internasional pada masa kesultanan Islam. Banten berperan dalam lalu
lintas perdagangan jalur sutra dan niaga antar bangsa. Satu hal lagi yang menarik
adalah corak ekonomi di Pelabuhan Banten. Perdagangan maritim di Pelabuhan
Banten memberikan kontribusi yang sangat besar pada abad ke-16 M dan 17 M.
Pendapatan kesultanan yang paling besar adalah hasil dari perdagangan maritim.
Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menarik para pedagang dari berbagai negara
untuk berdagang di Pelabuhan Banten. Oleh karena itu, penelitian tentang
perdagangan maritim di Pelabuhan Banten perlu adanya penindak-lanjutan, karena
penelitian yang bersifat perekonomian yang menitikberatkan terhadap perdagangan
maritim masih sedikit, padahal pembahasan mengenai kegiatan ekonomi di sebuah
kesultanan memberikan peran yang sangat besar bagi kehidupan sebuah
negara/kesultanan.[3]
2. Pelabuhan
Bangkalan
Munculnya Bangkalan dalam sejarah Indonesia
tidak lepas dari peranannya sebagai sebuah kota dagang (syahbandar) dan mulai
berkembang pada pertengahan abad ke-15, seiring dengan penyebaran agama Islam
dimulai di Jawa dan Madura. Dalam sumber kronik China, Gresik terkenal dengan
sebutan “Ta’e-tsun”, sebuah dusun di tepi pantai dan kaki bukit, kemudian
berubah menjadi “Tse-tsun” yang berarti perkampungan baru (new village).
Tse-tsun (Gresik) kemudian berkembang menjadi kota dagang yang sangat penting
pada abad ke-15.
Sejarah perkembangan hubungan wilayah
Pelabuhan Bangkalan, Madura dan Gresik merupakan salah satu bagian yang penting
dalam sejarah maritim di Nusantara. Pada masa akhir kerajaan Majapahit (sekitar
abad ke-15 M), sejalan dengan awal berdirinya kerajaan Islam di Jawa Timur,
tetap memiliki hubungan politik antar wilayah masih ada. Hubungan antar wilayah
yang dalam pusaran perdagangan berkaitan erat dengan posisi pelabuhan pantai
utara Jawa (pantura) dan Selat Madura. [4]
Komunitas pedagang yang ada di Pelabuhan
Bangkalan Gresik memiliki mobilitas tinggi. Mobilitas yang tinggi merupakan
bagian dari etos kerja pelabuhan dan perniagaan, di mana keuntungan menjadi
tujuan utamanya. Mobilitas niaga menjadikan pedagang- pedagang dan masyarakat
pelabuhan menjadi semakin terlatih menhadapi persaingan, dan konflik. Kota
dagang di pantai utara Jawa, menjadi perhatian utama sejak runtuhnya Majapahit
(1478 M). Konsep “kota dagang‟ atau “negara kota‟ di Selat Madura tidak jauh
beda dengan kota dagang yang ada di Selat Malaka, yaitu Perlak dan Samudera
Pasai, yang sudah ada sejak abad XIII. Penguasa atau raja mengatur jalannya
perdagangan dan lalu lintas pelabuhan dengan bantuan pekerja-pekerja yang sudah
terlatih dibidangnya.
Berikut komoditi perdagangan yang ada di
Pelabuhan Bangkalan abad XV- XVI :
1) Komoditi
Garam
2) Teripang,
pengawetan hasil laut yang bisa dimakan layaknya kerupuk atau makanan camilan.
3) Kain
batik Madura, kain merupakan komoditi kelas menengah, pada abad XV-XVI,
masyarakat bawah tidak dalam berpakaian tidak menggunakan kain batik. Penggunaan
batik juga menjadi tolak ukur status sosial. Batik Madura biasanya digunakan
untuk persembahan kepada tamu utusan raja-raja.
4) Gula
aren, merupakan pemanis makanan dan minuman dengan yang diolah secara
tradisional sejak zaman kuno.
5) Sarang
burung walet, Makanan kuno China sudah memiliki menu utama sarang burung walet,
selain mewah juga berkasiat untuk kesehatan. Sarang burung walet menjadi
komoditi mahal di kota pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa Timur dan Pulau
Madura.
Selain komoditi lokal Bangkalan tersebut
di atas, juga terdapat komoditi perdagangan khas nusantara yaitu rempah-rempah (F.D.K.Bosch).[5]
3. Pelabuhan
Gresik
Laporan pelayaran Tome Pires (1513-1515
M) ke nusantara pada abad menyatakan bahwa Gresik adalah pelabuhan terbesar dan
terbaik di Jawa. di Gresik terdapat Situs Leran, makam Siti Fatimah binti
Maimun (1082 M) yang memberikan bukti adanya komunitas Islam di wilayah
kerajaan Hindu, lebih banyak sejarawan menganalisis sebagai pedagang. Dalam
Babad Gresik memberitakan bahwa pada tahun Jawa 1334 atau 1412 M, di Gresik
hidup seorang saudagar wanita yang sangat kaya bernama Nyai Ageng Pinatih, dia
memperoleh ijin raja untuk berdagang dan menetap di Gresik.
Perkembangan Pelabuhan Gresik pada masa
Islam memiliki tata kelola pelabuhan yang bisa memberikan jaminan keamanan bagi
pada saudagar dari mancanegara. Pelabuhan Bangkalan Madura menjadi pelabuhan
kelas 2 atau berada di bawah koordinasi Pelabuhan Gresik. Wilayah Bangkalan
bisa membantu pemenuhan suplay komoditias dagang yang dicari oleh saudagar
mancanegara.
Keberadaan Gresik dalam sejarah
Indonesia tidak lepas dari peranannya sebagai sebuah kota dagang (Syahbandar),
yang mulai berkembang pada pertengahan abad ke-14. Posisi Pelabuhan Gresik
menjadi bagian dari jalur perdagangan yang banyak didatangi oleh pedagang dari
Persia, Arab, Gujarat (India), China, dan Eropa menuju ke Maluku atau nusantara
bagian timur (termasuk Ternate dan Tidore). Pada masa akhir zaman Majapahit,
perdagangan rempah-rempah di tingkat
internasional terus mengalami peningkatan. Peningkatan itu disebabkan oleh
permintaan yang terus bertambah besar, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
wilayah Eropa pasca abad pertengahan. Pemakaian rempah-rempah telah sangat
meluas, baik untuk obat-obatan maupun untuk kepentingan sehari-hari.
Meningkatnya perdagangan rempah-rempah secara geografis telah menempatkan kota
Tuban dan Gresik di Pantai Utara Jawa berada dalam jalur perdagangan
Internasional.
Secara geografis Pelabuhan Gresik yang
dimaksud ialah daerah lokasi Pelabuhan Gresik sekarang atau lebih ke selatan
sedikit, sekitar Desa Karang Kiring, yang terletak di sebelah utara muara Sungai
Lamong. Berdasarkan hasil penelitian hari jadi Kota Gresik, menyatakan
bahwa Pelabuhan gresik pada abad-abad yang lampau selalu mengalami pergeseran.
Pada abad ke- 15 terdapat berita bahwa Pelabuhan Gresik dan Pelabuhan Jaratan
merupakan “Pelabuhan Kembar‟ yang terletak berhadapan di muara sungai, maka
dapat diperkirakan bahwa Pelabuhan Gresik adalah pelabuhan yang terletak di
sekitar Desa Karang Kiring yang sekarang berhadapan dengan Sungai “Solo Lawas”
(sebuah nama yang diberikan untuk cabang Bengawan Solo yang bermuara di
Mengare-Gresik). Pada masa Majapahit mulai ada penguasa Pelabuhan Gresik, yang
secara politis berarti penguasa daerah Gresik, yaitu Maulana Malik Ibrahim
(1419 M), kemudian Nyai Ageng Pinatih, keduanya diangkat oleh raja Majapahit.
Sebelumnya Gresik juga terkenal sebagai perkampungan pedagang asing, Situs
Leran atau batu nisan kubur Fatimah binti Maimun (1082 M). Meskipun belum
memasuki masa Islamisasi di Jawa, Pedagang Muslim diberi izin untuk menetap di
Gresik.
Pelabuhan Gresik sekitar abad XV-XVI berkembang
sebagai pusat kehidupan sosial, budaya, ekonomi, keagamaan dan politik. Secara
geografis Gresik memiliki dataran rendah (hinterland) yang luas dan subur, kaya
akan komoditi perdagangan serta dilewati aliran Sungai Bengawan Solo, sebagai
sarana perdagangan menuju pedalaman Jawa (Mataram Kuno). Situs Mojopuro Wetan
(tak berangka tahun), Kecamatan Bungah, Gresik, merupakan bukti pendukung
ramainya perdagangan di Pelabuhan Gresik. Situs ini merupakan peninggalan Masa
Hindu-Budha, yang meninggalkan Arca Dwarapala berukuran besar (356 cm). Situs
ini satu-satunya situs Budha yang ada di Gresik. Berdasarkan hasil penelitian,
Situs ini selain berfungsi sebagai tempat peribadatan juga berfungsi sebagai
gapura atau pintu masuk bagi para pedagang manca negara menuju pedalaman.
Sesuai dengan asas keseimbangan, di mana pelabuhan besar akan memerlukan
fasilitas ibadah yang besar pula.
4. Hubungan
Perdagangan antara Pelabuhan Bangkalan dan Pelabuhan Gresik
Hubungan yang kondusif antara Pelabuhan
Bangkalan dan Gresik didukung oleh keterdekatan geografis dan kepentingan
ekonomi. Tidak pernah tercatat dalam sejarah maritim bahwa telah terjadi perang
antara Bangkalan dan Gresik. Pesatnya perdagangan pada masa itu tidak menutup
kemungkinan adanya kesepakatan atau konsensus yang tertulis dalam sumber
sejarah, baik dalam sejarah lokal, berita China maupun Sejarah Melayu.
Hubungan perdagangan antara Pelabuhan
Bangkalan dan Gresik yang terjadi pada abad XV-XVI, yang disebaabkan oleh :
1) Kondisi geografis Bangkalan yang kurang subur,
sehingga membentuk karakter penduduknya untuk menekuni perdagangan di Pelabuhan
Bangkalan. Pelabuhan Bangkalan yang dimaksud adalah Pelabuhan Arosbaya.
Panembahan Lemah Dhuwur, Pangeran Pratanu (1528-1592 M), Putra Pangeran
Pragalbo yang meninggal pada tahun 1528 M, telah mendirikan Kraton Bangkalan
atau Madura Barat.
2) Konsepsi hubungan perdagangan antara Pelabuhan
Bangkalan dengan Pelabuhan Gresik yaitu, kebutuhan bersama di bidang
perdagangan dan saling menunjang fasilitas pelabuhan bagi pedagang asing.
Faktor pendukung Pelabuhan Bangkalan dan Gresik yaitu pajak, tenaga kerja dan
tempat berjualan atau fasilitas pasar.
3) Masa kemunduran Majapahit (1478 M) hingga
berdirinya Pengakuan Kekuasaan Mataram Islam (1601 M) merupakan masa
pergantiaan sistem pemerintahan dari zaman Hindu-Budha ke zaman Islam. Giri
Kedaton di bawah Sunan Giri memiliki otoritas istimewa dari Jin Bun atau Raden
Patah (1478 M) sebagai Raja Demak pertama. Pelabuhan Gresik dan wilayah sekitar
terutama Pelabuhan Bangkalan berada di bawah pengawasannya.
4) Pelabuhan Gresik dan Pelabuhan Bangkalan memiliki
galangan kapal sebagai fasilitas pendukung utama transportasi perdagangan abad
XV-XVI. Tukang dan ahli perkapalan juga dimiliki oleh pelabuhan Bangkalan dan
Gresik.[6]
5.
Daftar Pustaka
Asnan, Gusti. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Penerbit Ombak.
Hamid, Abd Rahman. 2013. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Dewi Nurmala Sari. PERDAGANGAN MARITIM DI PELABUHAN
BANTEN (1660-1683 M). Skripsi. Yogyakarta:
2014
Akhmad Saleh Suaidi. “PELABUHAN BANGKALAN DALAM
PERDAGANGAN ABAD XV-XVI”. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah.
Volume 1, No. 3, Oktober 2013.
[1]
Asnan,
Gusti. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat
Sumatera. Jogjakarta: Penerbit Ombak, hlm. 12-13.
[2]
Hamid,
Abd Rahman. 2013. Sejarah Maritim
Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak, hlm. 31,
[3] Dewi
Nurmala Sari. PERDAGANGAN MARITIM DI PELABUHAN BANTEN (1660-1683 M). Skripsi. Yogyakarta: 2014
[4] Akhmad
Saleh Suaidi, “PELABUHAN BANGKALAN DALAM PERDAGANGAN ABAD XV-XVI”, AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume
1, No. 3, Oktober 2013, hlm. 616
[5] Irawan
Djoko Nugroho. 2010. Majapahit Peradaban Maritim. Jakarta: Suluh Nuswantara
Bakti, hlm. 53 dalam Akhmad Saleh Suaidi, “PELABUHAN BANGKALAN DALAM
PERDAGANGAN ABAD XV-XVI”, AVATARA,
e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 1, No. 3,
Oktober 2013, hlm. 622.
[6] Akhmad
Saleh Suaidi, op., cit., hlm. 625
Tidak ada komentar:
Posting Komentar