Selasa, 02 Juli 2019

ASPEK-ASPEK MARITIM INDONESIA PERDAGANGAN



A.    Aspek-Aspek Maritim Indonesia
Pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan bangsa ini mempunyai hubungan yang erat dengan keadaan dan kebijaksanaan politik dan ekonomi, baik yang dijalankan oleh Negara pada tingkat nasional atau kebijakan politik dan ekonomi mancanegara di tingkat internasional. Kehadiran pemerintah Hindia-Belanda dengan berbagai kebijaksanaan politiknya juga telah memberi pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek maritim di kepulauan ini.

Aspek-aspek  maritim, khususnya pantai Barat sumatera, terutama dibagian perdagangan dan pelayaran, mulai secara sungguh-sungguh diseret kedalam sistem ekonomi kolonial oleh pemerintah Hindia-Belanda sejak tahun 1819. Sejak saat itu berbagai aspek maritim tersebut telah menjadi bagian dari dinamika ekonomi kolonial, yang antara lain ditandai dengan penempatannya dalam kegiatan ekonomi yang berjenjang. Dalam sistem ini, aspek-aspek maritim khususnya di Pantai Barat Sumatera telah dijadikan sebagai aktivitas maritim di “daerah” yang merupakan bagian dari aktivitas maritim. Aspek-aspek maritim Hindia-Belanda sendiri telah dijadikan pula sebagai bagian dari aktivitas maritim kawasan seberang laut dari moederland Negeri Belanda.[1]
Cangkupan kemaritiman meliputi :
1.      Perdagangan
Perdagangan pada masa awal perdagangan di Asia Tenggara sampai pada datangnya VOC lebih bersifat perdagangan barang-barang lux (mewah dan mahal). Volumenya kecil tetapi bernilai tinggi. Beberapa jenis barang antara lain emas, perak, mutiara, rempah-rempah (pala dan cengkih), dan kayu-kayu wangi.  Munculnya kerajaan-kerajaan awal di Asia Tenggara merupakan akibat dari reaksi penduduk setempat yang diberikan kesempatan oleh pedagang asing menjalin kontak dagang di kawasan pantai.
Kenneth R. Hall (1985) mengaitkan kemunculan Negara-negara awal di Asia Tenggara dengan perkembangan perdagangan maritim. Dari hasil studinya terungkap bahwa raja-raja Majapahit telah mengbah pola kerajaan pada akhir abad ke-13 dengan suatu sistem yang lebih terintegrasi, yang masih tampak pada masa-masa kerajaan Islam abad ke-17. Dalam kaitan ini, zona maritim laut Jawa berada dalam hegemoni Majapahit. Kerajaan ini mampu memanfaatkan peluang perdagangan di kawasan laut inti nusantara itu untuk membangun kerajaannya.

2.      Pelayaran dan Perkapalan
Kegiatan pelayaran dipandang sebagai medium komunikasi masyarakat di suatu daerah dengan daerah lain. Untuk mmelakukan itu, diperlukan alat transportasi laut (kapal atau perahu). Sebelum diperkenalkan alat navigasi modern, pelaut tradisional mengandalkan kemampuan dan pengalamannya untuk menyebrangi laut dengan memanfaatkan tanda-tanda alam. Karena itulah, rekontruksi pelayaran masyarakat tradisional harus mengacu pada ingatan mereka yang hampir tidak diabadikan dalam tulisan (dokument) sehingga aktivitas yang mereka lakukan lebih pada pengulangan pengalaman atau pengasahan ketajaman emosional dalam membaca tanda-tanda alam.

3.      Pelabuhan
Pelabuhan memainkan peran penting sebagai tempat kapal atau perahu berlabuh. Fungsi utama pelabuhan, tidak sekedar tempat berlabuh, tetapi juga berkumpul untuk berdagang. Kata Bandar dalam bahasa Inggris (harbour) mengacu pada fungsinya sebagai tempat berlindung dan berteduh, istilah lain yang berdekatan maknanya dengan Bandar adalah port  yang melihat pelabuhan sebagai pintu gerbang, tempat kapal dan perahu keluar masuk.

4.      Bajak Laut
Kegiatan bajak laut berkaitan erat dengan perkembangan kegiatan perdagangan maritim. Menurut Fernard Braudel (1976) dan Lapian (2009), kegiatan ini berkolerasi dengan kemakmuran di suatu perairan. Semakin banyak volume yang diperdagangkan, semakin besar peluang terjadnya tindak perompakan. Sebaliknya jika perdagangan lesu, barang dagangan yang potensial dirompak berkurang, dan keinginan mengadakan ekpedisi bajak laut pun berkurang. Menurut Lapian, korelasi antara kegiatan bajak laut dengan perdagangan merupakan bentuk awal dari perdagangan yang semula berupa tukar-menukar barang timbul karena kekurangan suatu barang tertentu di suatu tempat, sedangkan tempat lain mempunyai surplus.

B.     Perdagangan
Sejak tahun 500 SM, jaringan perdagangan antara Asia dengan Laut tengah dilakukan melalui darat. Routenya mulai dari Tiongkok, melalui Asia Tengah dan Turkestan, sampai ke Laut Tengah. Jalur ini juga digunakan oleh para kafilah dari India. Jalur darat yang paling tua ini sering disebut “Jalur Sutra”(Burger 1962).[2]
Dua pelaku utama dalam perdagangan zaman kuno di Asia menurut Van Leur (1967) dan Burger (1962), ialah kaum finansir (pemilik modal) dan pedagang keliling (travelling pedlasrs). Latar sosial kaum finansir adalah orang kaya, umumnya raja atau  bangsawan yang memasukkan modalnya dalam suatu usaha. Mereka kerap menggunakan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan. Para saudagar keliling berada dalam kontrolnya. Pendeknya, kaum finansir dapat memaksakan monopoli dalam perdagangan. Tidak ada perdagangan bebas. Karena itu orientasi niaganya dalam pandangan Van Leur, lebih bersifat “kapitalisme Politik”.
Secara kuantitatif jumlah kaum finansir sangat sedikit. Sebaliknya, pedagang keliling sngat banyak. Jumlah mereka melebihi komoditi yang diperdagangkannya. Pedagang keliling, dari suatu tempat ke tempat lain, sering berganti. Namun, komoditinya tetap sama. Nilai jual komoditi  sangat mahal. Selain karena jenisnya yang merupakan barang-barang mewah dan mahal, seperti logam mulia, perhiasan, alat-alat senjata, dan sutera, juga metode niaganya yang berpindah tempat dan pelaku, membuat nilai jualnya mahal. Jumlah komoditinya sedikit. Karena itu, tidak memerlukan tempat yang luas di atas kapal serta mudah dikontrol oleh pedagang.
Salah satu jenis komoditi dari India dan China adalah kayu manis. Tiga jenis kayu manis yang dikenal saat itu adalah daun kayu manis (malabathrum), kulit kayu manis (cassio), dan kuncup bunga kayu manis (cinnamon). Kayu manis digunakan sebagai bumbu, pengharum obat luar, dan minuman anggur. Komoditi ini diekspor ke Laut Tengah lewat jalur laut, menggunakan kapal-kapal Romawi (Dick-Read 2005:48). Khususnya dari Nusantara, komoditi niaga yang terkenal adalah rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus, dan kemenyan, yang diekspor ke India dan kekaisaran Romawi.
Seiring dengan perkembangan sistem navigasi laut, jalur dagang tersebut beralih melalui laut. Bermula dari Tiongkok dan Nusantara melalui selat Malaka ke India, seterusnya ke Laut Tengah melalui dua jalur, yaitu :
1.      Teluk Persia melalui Suriah ke Laut Tengah
2.      Laut Merah, melalui Mesir hingga tiba di Laut Tengah
Jalur ini mulai digunakan pada abad ke-1 M. Barang-barang yang diperdagangkan di Laut tengah terdiri dari makanan dan minuman, kain dan pakaian, barang-barang rumah tangga, peralatan, bahan-bahan mentah, barang-barang mahal, rempah-rempah, dan pewangi, obat-obatan, dan pewarna, budak, dan barang-barang mewah (Dick-Read 2005: 43)
Perubahan jalur dagang tersebut, selain menciptakan peluang baru bagi aktivitas maritim dan menghindari ancaman perampok di gurun-gurun sepanjang jalur darat, menurut Burger (1962:14-15) disebabkan oleh 4 faktor, yaitu :
1.      Permintaan Barang-Barang Mewah
Permintaan barang-barang mewah dari Timur sangat besar oleh orang-orang kaya di Eropa, khususnya Romawi. Barang-barang tersebut terdiri dari pakaian indah dari India, farfum mutiara, dan batu mulia. Komoditi dagang seperti sutera, kain gorden, dan kain katun dijual dengan harga sangat mahal. Nilai sutera sama dengan emas pada abad ke-3.
Perdagangan laut antara India dengan Romawi mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Augustus (27 SM-14 M). Kekaisaran Romawi mengeluarkan uang dalam jumlah sangat banyak untuk memperoleh barang-barang mewah. Pola hidup ini terutama pemakaian sutera di kalangan perempuan istana Romawi, membuat Kaisar Augustus mengeluarkan peraturan pelarangan penggunaan sutera India transparan dengan dalih moral. Meskipun demikian, jalinan niaga maritim antara romawi Timur Tengah terus berlangsung, terutama impor rempah-rempah dan lada (Dick-Read: 43-45).
2.      Permintaan emas oleh India Berpindah ke Daerah Timur
Siberia yang awalnya merupakan sumber emas tidak lagi mengirimkan emas kepada India, karena jalan-jalan kafilah disana dirusak akibat gelombang migrasi bangsa-bangsa secara besar-besaran. Hal ini erat kaitannya dengan keamanan di sepanjang masa.
3.      Pelayaran India dan Tiongkok
Pelayaran India dan Tiongkok telah berkembang baik, setelah dioperasikannya angkutan laut berukuran besar bernama Jung. Armada ini mampu mengangkut perumpang antara 600-700 orang. Pengetahuan yang baik mengenai ruang samudera dan angin musim yang bertiup teratur sepanjang tahun (muson) merupakan pendukung utama pengoperasian jung  dalam pelayaran. Dengan pengetahuan navigasi itu mereka dapat mengatur masa dan daerah tujuan daerah perdagangan. Perubahan mendasar ini dipandang sebagai revolusi sistem navigasi maritim Asia pada masa pramodern (Burger 1962).
Jarak pelayaran dari India menuju China sangat jauh. Karena itu pelayaran dilakukan dalam dua tahap, yaitu :
a.       Kapal-kapal terlebih dahulu menyebrangi Teluk benggala India, kemudian menuju dan menyeberang Tanah Genting Kra lewat jalur darat.
b.      Pelayaran dilanjutkan dengan jalur laut menuju China lewat Laut China Selatan. Pelayaran tersebut memanfaatkan angin muson. Pada bulan April-Juli berhembus muson barat dari samudera Hindia. Muson ini dimanfaatkan untuk berlayar ke Timur. Sebaliknya, pelayaran ke barat menggunakan muson timur yang berhembus pada bulan januari (Dick-Read 2005 : 72-73)

4.      Penyebaran Agama Budha
Penyebaran agama Budha telah berhasil menghilangkan sistem kasta serta prasangka-prasangka  yang selama ini menghalangi perniagaan dengan bangsa asing. Rekan dagang dan peserta dagang tidak lagi dibatasi oleh status sosial (kasta), melainkan peluang surplus dari perdagangan. Dari sudut kebudayaan, perdagangan menjadi saluran perkembangan agama Budha, serta islam kemudian.

Kawasan Indonesia bagian Barat terletak di jalur perdagangan dan pelayaran di dunia belahan timur dan  Barat, antara China dan Jepang di satu sisi dengan India, Arab, dan Eropa di sisi yang lain. Posisi ini semakin diuntungkan oleh banyaknya tempat berlabuh yang aman, serta adanya angina yang bertiup secara teratur di kawasan tersebut.

Contoh :
1.      Perdagangan di pelabuhan Banten
Perdagangan maritim telah terjadi di Pelabuhan Banten dari sebelum Islam datang. Abad ke-11 sampai dengan abad ke-13 merupakan pertumbuhan perdagangan maritim yang sangat pesat. Para arkeolog membuktikan bahwa pada masa itu tidak terlihat satupun kesinambungan yang terputus dalam kronologi  benda arkeologi di situs banten, khususnya keramik China.
Selain itu, ditemukan pula benda arkeologi lainnya seperti arca dan prasasti Kegiatan perdagangan maritim ini berlanjut sampai zaman Islam. Pelabuhan Banten semakin terkenal dan banyak dikunjungi para pedagang dari berbagai negara. Keramaian pelabuhan mempengaruhi kesuksesan ekonomi Kesultanan Banten. Pada abad ke-16 M dan ke-17 M. Pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh letaknya yang strategis untuk daerah perdagangan.
Secara geografis, Pelabuhan Banten terletak di ujung barat Pulau Jawa yang dikelilingi laut pada tiga sisinya, yaitu di sebelah utara oleh Laut Jawa, di sebelah barat oleh Selat Sunda dan di sebelah selatan oleh Samudra Hindia (Samudra Indonesia), sedangkan batas utara-selatan di sebelah timur terbentang dari Cisadane (Tangerang) sampai Palabuhan Ratu. Perdagangan maritim di Pelabuhan Banten mengalami puncak kejayaan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa yang terkenal dengan sebutan Sultan Ageng. Sistem perdagangan maritim yang dipakai oleh Sultan Ageng adalah perdagangan bebas seperti yang dipakai oleh negara-negara lain seperti Inggris, Denmark, Mekah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan China. Sultan Ageng melakukan kerjasama dengan negara-negara tersebut. Usaha Sultan Ageng dalam bidang perdagangan maritim pun berhasil, yaitu dengan menjadikan Pelabuhan Banten sebagai pelabuhan internasional.
Pelabuhan Banten tidak terlepas dari peranan orang-orang Tionghoa khususnya China. Orang-orang ini yang membawa Pelabuhan Banten mencapai puncak kejayaannya. Para syahbandar pada masa Sultan Ageng berasal dari orang-orang China, bahkan dalam urusan kesultanan pun tidak sedikit dari mereka mempunyai peranan yang penting. Hal ini disebabkan oleh sikap Sultan yang sangat menyukai orang-orang China, sehingga memperkuat kesimpulan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pada masa lalu sudah dikuasai oleh orang-orang China. Mata uang yang beredar dan sah dalam perdagangan pun mata uang dari China. Tidak hanya itu, sistem rentenir dipakai di Pelabuhan Banten. Uniknya, tidak seperti rentenir yang kita kenal, yaitu laba yang diperoleh si pemilik modal ditentukan oleh lamanya uang yang dipinjamkan.
Heryanti Ongkhodarma mengatakan, kondisi alam Pelabuhan Banten sangat menarik, karena Pelabuhan Banten merupakan pelabuhan internasional pada masa kesultanan Islam. Banten berperan dalam lalu lintas perdagangan jalur sutra dan niaga antar bangsa. Satu hal lagi yang menarik adalah corak ekonomi di Pelabuhan Banten. Perdagangan maritim di Pelabuhan Banten memberikan kontribusi yang sangat besar pada abad ke-16 M dan 17 M. Pendapatan kesultanan yang paling besar adalah hasil dari perdagangan maritim. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menarik para pedagang dari berbagai negara untuk berdagang di Pelabuhan Banten. Oleh karena itu, penelitian tentang perdagangan maritim di Pelabuhan Banten perlu adanya penindak-lanjutan, karena penelitian yang bersifat perekonomian yang menitikberatkan terhadap perdagangan maritim masih sedikit, padahal pembahasan mengenai kegiatan ekonomi di sebuah kesultanan memberikan peran yang sangat besar bagi kehidupan sebuah negara/kesultanan.[3]
2.      Pelabuhan Bangkalan
Munculnya Bangkalan dalam sejarah Indonesia tidak lepas dari peranannya sebagai sebuah kota dagang (syahbandar) dan mulai berkembang pada pertengahan abad ke-15, seiring dengan penyebaran agama Islam dimulai di Jawa dan Madura. Dalam sumber kronik China, Gresik terkenal dengan sebutan “Ta’e-tsun”, sebuah dusun di tepi pantai dan kaki bukit, kemudian berubah menjadi “Tse-tsun” yang berarti perkampungan baru (new village). Tse-tsun (Gresik) kemudian berkembang menjadi kota dagang yang sangat penting pada abad ke-15.  
Sejarah perkembangan hubungan wilayah Pelabuhan Bangkalan, Madura dan Gresik merupakan salah satu bagian yang penting dalam sejarah maritim di Nusantara. Pada masa akhir kerajaan Majapahit (sekitar abad ke-15 M), sejalan dengan awal berdirinya kerajaan Islam di Jawa Timur, tetap memiliki hubungan politik antar wilayah masih ada. Hubungan antar wilayah yang dalam pusaran perdagangan berkaitan erat dengan posisi pelabuhan pantai utara Jawa (pantura) dan Selat Madura. [4]
Komunitas pedagang yang ada di Pelabuhan Bangkalan Gresik memiliki mobilitas tinggi. Mobilitas yang tinggi merupakan bagian dari etos kerja pelabuhan dan perniagaan, di mana keuntungan menjadi tujuan utamanya. Mobilitas niaga menjadikan pedagang- pedagang dan masyarakat pelabuhan menjadi semakin terlatih menhadapi persaingan, dan konflik. Kota dagang di pantai utara Jawa, menjadi perhatian utama sejak runtuhnya Majapahit (1478 M). Konsep “kota dagang‟ atau “negara kota‟ di Selat Madura tidak jauh beda dengan kota dagang yang ada di Selat Malaka, yaitu Perlak dan Samudera Pasai, yang sudah ada sejak abad XIII. Penguasa atau raja mengatur jalannya perdagangan dan lalu lintas pelabuhan dengan bantuan pekerja-pekerja yang sudah terlatih dibidangnya.
Berikut komoditi perdagangan yang ada di Pelabuhan Bangkalan abad XV- XVI :
1)      Komoditi Garam
2)      Teripang, pengawetan hasil laut yang bisa dimakan layaknya kerupuk atau makanan camilan.
3)      Kain batik Madura, kain merupakan komoditi kelas menengah, pada abad XV-XVI, masyarakat bawah tidak dalam berpakaian tidak menggunakan kain batik. Penggunaan batik juga menjadi tolak ukur status sosial. Batik Madura biasanya digunakan untuk persembahan kepada tamu utusan raja-raja.
4)      Gula aren, merupakan pemanis makanan dan minuman dengan yang diolah secara tradisional sejak zaman kuno.
5)      Sarang burung walet, Makanan kuno China sudah memiliki menu utama sarang burung walet, selain mewah juga berkasiat untuk kesehatan. Sarang burung walet menjadi komoditi mahal di kota pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa Timur dan Pulau Madura.
Selain komoditi lokal Bangkalan tersebut di atas, juga terdapat komoditi perdagangan khas nusantara yaitu rempah-rempah (F.D.K.Bosch).[5]
3.      Pelabuhan Gresik
Laporan pelayaran Tome Pires (1513-1515 M) ke nusantara pada abad menyatakan bahwa Gresik adalah pelabuhan terbesar dan terbaik di Jawa. di Gresik terdapat Situs Leran, makam Siti Fatimah binti Maimun (1082 M) yang memberikan bukti adanya komunitas Islam di wilayah kerajaan Hindu, lebih banyak sejarawan menganalisis sebagai pedagang. Dalam Babad Gresik memberitakan bahwa pada tahun Jawa 1334 atau 1412 M, di Gresik hidup seorang saudagar wanita yang sangat kaya bernama Nyai Ageng Pinatih, dia memperoleh ijin raja untuk berdagang dan menetap di Gresik.
Perkembangan Pelabuhan Gresik pada masa Islam memiliki tata kelola pelabuhan yang bisa memberikan jaminan keamanan bagi pada saudagar dari mancanegara. Pelabuhan Bangkalan Madura menjadi pelabuhan kelas 2 atau berada di bawah koordinasi Pelabuhan Gresik. Wilayah Bangkalan bisa membantu pemenuhan suplay komoditias dagang yang dicari oleh saudagar mancanegara.
Keberadaan Gresik dalam sejarah Indonesia tidak lepas dari peranannya sebagai sebuah kota dagang (Syahbandar), yang mulai berkembang pada pertengahan abad ke-14. Posisi Pelabuhan Gresik menjadi bagian dari jalur perdagangan yang banyak didatangi oleh pedagang dari Persia, Arab, Gujarat (India), China, dan Eropa menuju ke Maluku atau nusantara bagian timur (termasuk Ternate dan Tidore). Pada masa akhir zaman Majapahit, perdagangan  rempah-rempah di tingkat internasional terus mengalami peningkatan. Peningkatan itu disebabkan oleh permintaan yang terus bertambah besar, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah Eropa pasca abad pertengahan. Pemakaian rempah-rempah telah sangat meluas, baik untuk obat-obatan maupun untuk kepentingan sehari-hari. Meningkatnya perdagangan rempah-rempah secara geografis telah menempatkan kota Tuban dan Gresik di Pantai Utara Jawa berada dalam jalur perdagangan Internasional.
Secara geografis Pelabuhan Gresik yang dimaksud ialah daerah lokasi Pelabuhan Gresik sekarang atau lebih ke selatan sedikit, sekitar Desa Karang Kiring, yang terletak di sebelah utara muara  Sungai  Lamong. Berdasarkan hasil penelitian hari jadi Kota Gresik, menyatakan bahwa Pelabuhan gresik pada abad-abad yang lampau selalu mengalami pergeseran. Pada abad ke- 15 terdapat berita bahwa Pelabuhan Gresik dan Pelabuhan Jaratan merupakan “Pelabuhan Kembar‟ yang terletak berhadapan di muara sungai, maka dapat diperkirakan bahwa Pelabuhan Gresik adalah pelabuhan yang terletak di sekitar Desa Karang Kiring yang sekarang berhadapan dengan Sungai “Solo Lawas” (sebuah nama yang diberikan untuk cabang Bengawan Solo yang bermuara di Mengare-Gresik). Pada masa Majapahit mulai ada penguasa Pelabuhan Gresik, yang secara politis berarti penguasa daerah Gresik, yaitu Maulana Malik Ibrahim (1419 M), kemudian Nyai Ageng Pinatih, keduanya diangkat oleh raja Majapahit. Sebelumnya Gresik juga terkenal sebagai perkampungan pedagang asing, Situs Leran atau batu nisan kubur Fatimah binti Maimun (1082 M). Meskipun belum memasuki masa Islamisasi di Jawa, Pedagang Muslim diberi izin untuk menetap di Gresik.
Pelabuhan Gresik sekitar abad XV-XVI berkembang sebagai pusat kehidupan sosial, budaya, ekonomi, keagamaan dan politik. Secara geografis Gresik memiliki dataran rendah (hinterland) yang luas dan subur, kaya akan komoditi perdagangan serta dilewati aliran Sungai Bengawan Solo, sebagai sarana perdagangan menuju pedalaman Jawa (Mataram Kuno). Situs Mojopuro Wetan (tak berangka tahun), Kecamatan Bungah, Gresik, merupakan bukti pendukung ramainya perdagangan di Pelabuhan Gresik. Situs ini merupakan peninggalan Masa Hindu-Budha, yang meninggalkan Arca Dwarapala berukuran besar (356 cm). Situs ini satu-satunya situs Budha yang ada di Gresik. Berdasarkan hasil penelitian, Situs ini selain berfungsi sebagai tempat peribadatan juga berfungsi sebagai gapura atau pintu masuk bagi para pedagang manca negara menuju pedalaman. Sesuai dengan asas keseimbangan, di mana pelabuhan besar akan memerlukan fasilitas ibadah yang besar pula.
4.      Hubungan Perdagangan antara Pelabuhan Bangkalan dan Pelabuhan Gresik
Hubungan yang kondusif antara Pelabuhan Bangkalan dan Gresik didukung oleh keterdekatan geografis dan kepentingan ekonomi. Tidak pernah tercatat dalam sejarah maritim bahwa telah terjadi perang antara Bangkalan dan Gresik. Pesatnya perdagangan pada masa itu tidak menutup kemungkinan adanya kesepakatan atau konsensus yang tertulis dalam sumber sejarah, baik dalam sejarah lokal, berita China maupun Sejarah Melayu.
Hubungan perdagangan antara Pelabuhan Bangkalan dan Gresik yang terjadi pada abad XV-XVI, yang disebaabkan oleh :
1) Kondisi geografis Bangkalan yang kurang subur, sehingga membentuk karakter penduduknya untuk menekuni perdagangan di Pelabuhan Bangkalan. Pelabuhan Bangkalan yang dimaksud adalah Pelabuhan Arosbaya. Panembahan Lemah Dhuwur, Pangeran Pratanu (1528-1592 M), Putra Pangeran Pragalbo yang meninggal pada tahun 1528 M, telah mendirikan Kraton Bangkalan atau Madura Barat.
2) Konsepsi hubungan perdagangan antara Pelabuhan Bangkalan dengan Pelabuhan Gresik yaitu, kebutuhan bersama di bidang perdagangan dan saling menunjang fasilitas pelabuhan bagi pedagang asing. Faktor pendukung Pelabuhan Bangkalan dan Gresik yaitu pajak, tenaga kerja dan tempat berjualan atau fasilitas pasar.
3) Masa kemunduran Majapahit (1478 M) hingga berdirinya Pengakuan Kekuasaan Mataram Islam (1601 M) merupakan masa pergantiaan sistem pemerintahan dari zaman Hindu-Budha ke zaman Islam. Giri Kedaton di bawah Sunan Giri memiliki otoritas istimewa dari Jin Bun atau Raden Patah (1478 M) sebagai Raja Demak pertama. Pelabuhan Gresik dan wilayah sekitar terutama Pelabuhan Bangkalan berada di bawah pengawasannya.
4) Pelabuhan Gresik dan Pelabuhan Bangkalan memiliki galangan kapal sebagai fasilitas pendukung utama transportasi perdagangan abad XV-XVI. Tukang dan ahli perkapalan juga dimiliki oleh pelabuhan Bangkalan dan Gresik.[6]

5.       
Daftar Pustaka
Asnan, Gusti. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Penerbit Ombak.
Hamid, Abd Rahman. 2013. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Dewi Nurmala Sari. PERDAGANGAN MARITIM DI PELABUHAN BANTEN (1660-1683 M). Skripsi. Yogyakarta: 2014
Akhmad Saleh Suaidi. “PELABUHAN BANGKALAN DALAM PERDAGANGAN ABAD XV-XVI”.  AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. Volume 1, No. 3,   Oktober  2013.


[1] Asnan, Gusti. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Penerbit Ombak, hlm. 12-13.
[2] Hamid, Abd Rahman. 2013. Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Ombak, hlm. 31,
[3] Dewi Nurmala Sari. PERDAGANGAN MARITIM DI PELABUHAN BANTEN (1660-1683 M). Skripsi. Yogyakarta: 2014
[4] Akhmad Saleh Suaidi, “PELABUHAN BANGKALAN DALAM PERDAGANGAN ABAD XV-XVI”,  AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 1, No. 3,   Oktober  2013, hlm. 616
[5] Irawan Djoko Nugroho. 2010. Majapahit Peradaban Maritim. Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti, hlm. 53 dalam Akhmad Saleh Suaidi, “PELABUHAN BANGKALAN DALAM PERDAGANGAN ABAD XV-XVI”,  AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 1, No. 3,   Oktober  2013, hlm. 622.
[6] Akhmad Saleh Suaidi, op., cit., hlm. 625

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....