BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pada
perkembangannya, penulisan historis mengenai sejarah perkembangan Afrika terus
mengalami perkembangan Kepercayaan
terhadap kelangsungan hidup, suatu kehidupan sesudah mati, suatu persamaan
antara yang hidup, yang mati, dan generasi-generasi yang belum lagi dilahirkan
adalah asasi untuk semua kehidupan agama, sosial, dan politik Afrika. Hal ini
menjadikan suatu rasa tentang sejarah dan tradisi telah selalu merupakan suatu
bagian dari cara hidup orang Afrika. Kepercayaan yang asasi kepada adanya
kelanjutan hidup terdapat di antara semua orang Afrika. Inilah unsur inti dalam
historiografi tradisi Afrika. Di setiap tempat di daerah sub-Sahara Afrika kita
bertemu dengan kepercayaan akan adanya hubungan yang berlangsung antara yang
sudah mati dengan kehidupan dari yang masih hidup masa kini dan dari
generasi-generasi yang akan datang. Hubungan yang berlangsung antara yang sudah
mati dengan kehidupan dinyatakan dalam kepercayaan bahwa setiap komuniti
didirikan oleh seorang nenek moyang atau sekelompok nenek moyang, bahwa apapun
kedudukan dan milik-milik komuniti itu, kesemuanya adalah milik nenek moyang.
Penghormatan kepada nenek moyang sering kali menjadi pemujaan.[1]
. Baik
dari aspek metodologis ataupun isi dari sejarahnya sendiri. Historiografi
Afrika mendapat pengaruh dari berbagai negara. Penulisan sejarah Afrika juga
banyak terpengaruh oleh hal-hal yang berbau mistik dan animisme serta
dinamisme. Kepercayaan terhadap kelangsungan hidup, suatu kehidupan sesudah
mati, suatu persamaan antara yang hidup, yang mati, dan generasi-generasi yang
belum lagi dilahirkan adalah asasi untuk semua kehidupan sosial, agama, dan politik
Afrika. Jadi, walaupun penulisan yang serius mengenai sejarah Afrika baru saja
dimulai, suatu rasa tentang sejarah dan tradisi telah selalu merupakan suatu
bagian dari cara hidup orang Afrika.
Orang-orang
mesir kuno amat sadar akan kelanjutan hubungan kehidupan dan kematian. Tidak
saja mereka sadar akan pengaruh yang besar dan luas dari suatu kehidupan yang
sudah mati tetapi juga dari kelanjutan hubungan yang telah mati, khususnya
raja-raja. Kepercayaan yang asasi terhadap adanya kelanjutan hidup di antara
semua orang Afrika. Di setiap tempat di daerah sub Sahara Afrika kita bertemu
dengan kepercayaan akan adanya hubungan yang berlangsung antara yang sesudah
mati dengan kehidupan yang masih hidup masa kini dan dari generasi yang akan
datang.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana
tradisi Historiografi Afrika ?
2.
Bagaimana
pengaruh-pengaruhnya ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui tradisi Historiografi Afrika.
2.
Untuk
mengetahui pengaruh-pengaruhnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tradisi
Historiografi Afrika
1.
Tradisi-Tradisi
Mengenai Asal Mula
Setiap komuniti-kelurga, klen, desa,
kota, atau negara-besar atau kecil, mempunyai tradisi yang tetap mengenai asal
mulanya. Komuniti itu mungkin terpecah-pecah, bermigrasi, dan mengasimilasi
unsur-unsur yang baru, atau ditaklukkan oleh yang lainnya dan diserap oleh
imigran-imigran baru. Pada setiap tingkat dari transformasi, tradisi berada
dalam pengkristalan kembali untuk mengakomodasi kondisi-kondisi yang berubah,
dan suatu tradisi baru. Tradisi-tradisi ini menjadi dasar pokok dari pandangan
komuniti mengenai sejarah. Proses sesungguhnya dari pembuatan tradisi dan
akulturasi di dalam komuniti, dan dari penyampaian tradisi ke generasi-generasi
yang berikutnya, mengembangkan suatu kesadaran sejarah yang menjadi tersebar luas
di Afrika.
Dalam hal ini historiografi
tradisional Afrika menyerupai historiografi Eropa sebelum revolusi ilmu
pengetahuan memecah filsafat ke dalam berbagai bagian. Pembuatan dan penyampaian tradisi bukanlah pekerjaan ahli-ahli
sejarah sebagaimana menurut pandangan modern, tetapi pekerjaan pendeta-pendeta
dan ahli-ahli agama, orang-orang tua, dan orang-orang bijaksana pada umumnya.
Tradisi tidak hanya menjelaskan hubungan antara para nenek moyang dari
komuniti-komuniti yang berbeda-beda tetapi juga hubungan antara komuniti yang
ada, para nenek moyang, dan dewa-dewa. Pembuatan dan penyampaian tradisi adalah
berlainan dari suatu tempat ke tempat lain. Hal ini tergantung kepada luas,
sifat alamiah, kepercayaan, dan sumber-sumber penghasilan dari suatu komuniti
tertentu.[2]
2.
Penyampaian
dari mulut ke mulut
Cara yang paling umum dalam
menyampaikan tradisi adalah melalu cerita-cerita, fabel-fabel, dan
peribahasa-peribahasa yang diceritakan oleh orang-orang yang lebih tua kepada
mereka yang lebih muda sebagai bagian dari pendidikan umum. Di dalam
kesempatan-kesempatan bercerita itu, sesudah makan malam di dalam
kelompok-kelompok keluarga atau selama pesta-pesta bulan purnama ketika
orang-orang tidak tidur sampai jauh malam, tradisi-tradisi menceritakan asal
mula adanya hubungan dari seluruh komuniti atau dari keluarga atau klen
tertentu. Kejadian-kejadian yang lebih akhir, yang telah muncul di dalam
sejarah dapat diingat, khususnya hal-hal yang terjadi dua atau tiga generasi
yang terdahulu, juga diceritakan.[3]
Tradisi-tradisi disampaikan secara
lebih formal bila ada pranata-pranata pendidikan yang terorganisasi, umpamanya
yang berhubungan dengan ritual masa dewasa, inisiasi ke dalam tingkat-tingkat
umur dan kelompok-kelompok rahasia, atau selama latihan atau pendidikan untuk
menjadi pendeta atau ahli agama. Proses penyampaian tradisi tidak dapat
dipisahkan dari proses pembentukan tradisi. Tradisi dibuat oleh mereka yang
menyampaikannya – orang-orang lebih tua di desa.
3.
Tradisi-tradisi
Berdasarkan Kenyataan dengan Kesusastraan
Adalah penting untuk membedakan
berbagai bentuk tradisi, atau tradisi lisan sebagaimana umunya sekarang
ditulis. Pembedaan yang pertama adalah antara tradisi-tradisi dari suatu bentuk
yang berdasarkan atas kenyataan dan sejarah, dan tradisi-tradisi berbebtuk
kesusastraan dan filsafat. Keaslian dari tradisi-tradisi mengenai
kejadian-kejadian di masa yang lampau adalah sebagian besar tergantung pada
pranata-pranata yang khusus, yang telah ada untuk membuat dan menyampaikan
tradisi.
Tradisi yang lebih berbentuk
kesusastraan meliputi peribahasa-peribahasa dan ungkapan-ungkapan,
nyanyian-nyanyian, dan lirik-lirik yang beberapa di antaranya adalah bersifat
umum dan lainnya berhubungan secara khusus dengan kelompok-kelompok seniman
tertentu, kelompok-kelompok tingkatan umur, dan perkumpulan-perkumpulan
lainnya. Tradisi-tradisi yang lebih bersifat filsafat terselimut di dalam
doa-doa suci dari organisasi-organisasi keagamaan dan kultus yang berbeda-beda,
umpamanya puisi-puisi yang memuja dewa-dewa, puisi-puisi suci,
nyanyian-nyanyian berkabung, litugi-liturgi, dan hymne-hymne.[4]
B. Pengaruh-pengaruh
1.
Pengaruh
Ethiopia
Terdapat tradisi-tradisi sejarah di
Afrika yang pengaruhnya terhadap historiografi. Salah satu contoh yang penting
adalah tradisi sejarah Ethiopia, yang sebagian bersifat Afrika dan yang
sebagian lagi berinspirasikan Yudea-Kristen. Keunggulan dari dinasti Solomon,
kesatuan dari geraja dan negara, dan integritas dari geraja yang monophysite
adalah kekuatan-kekuatan sejarah yang dinamis. Sebagaimana halnya di
bagian-bagian lain dari Afrika, pada abad ke-12, Ethiopia mengembangkan suatu
legenda yang menghubungkan dinasti yang berkuasa dengan Tanah Suci. Tetapi itu
adalah tradisi tertulis, tercakup dalam Buku Raja-Raja yang menjadi acara yang
utama, dipertunjukkan dalam rite-rite pentahbisan raja. Biara-biara mencatat
annals atau catatan-catatan secara kronologi tentang kejadian-kejadian yang
telah terjadi pada tahun-tahun yang lalu dari setiap masa kekuasaan dan merawat
teks-teks dan peraturan-peraturan yang penting. Walaupun demikian, perhatian
yang utama dai kehidupan intelektual Ethiopia adalah hal-hal yang berhubungan
dengan teologi, dan bukan sejarah.
Yang lebih berhubungan dengan
historiografi Afrika adalah tradisi-tradisi dari orang Berber. Seperti halnya
dengan orang-orang Afrika lainnya, orang Berber amat sadar akan adanya hubungan
yang berlangsung terus dengan masa lampau. Dalam rekasi mereka terhadap agama
Kristen dari Rum dan Islam dari tanah Arab, mereka memanifestasikan suatu sikap
mistik yang berbeda dan dikombinasikan dengan penghormatan-penghormatan kepada
para nenek moyang. Mungkin dapat dikatakan bahwa sikap ini menghasilkan
hagiografi atau biografi dari orang-orang suci dan bukannya sejarah yang
bersifat kritis, tetapi Hagiografi itu sendiri adalah suatu metode untuk
menyucikan dan mengabadikan kebaikan-kebaikan sosial agama dari rakyat. Dari satu
segi, hagiografi adalah pernyataan kesusastraan yang berisikan penghormatan
terhadap norma-norma dan kebaikan-kebaikan dari para nenek moyang, sama dengan
tradisi-tradisi yang terdapat di bagian-bagian Afrika lainnya.[5]
2.
Pengaruh
Islam
Pengaruh Islam tidak hanya penting di
Afrika Utara tetapi juga di Afrika Timur, seluruh daerah Sudan, dan bahkan di
beberapa daerah-daerah hutan rimba belantara. Sebagai tambahan kepada genealogi
spiritual atau roh dan genealogi yang nyata, penulis-penulis Islam menghasilkan
sejumlah tarikh dan kronika, khususnya antara abad-abad ke-11 dan ke-17.
Kesemuanya ini meliputi catatan-catatan bedasarkan pengamatan, tradisi lisan,
dan bukti-bukti dari catatan-catatan lebih awal yang dibuat oleh ahli-ahli ilmu
bumi, pengembara, dan pedagang. Penulis-penulis Islam khusunya tertarik kepada
penyebaran dan pengaruh Islam, serta kepada kehidupan keagamaan dan ekonomi
dari pusat-pusat utama agama Islam. Faktor-faktor ini berdiri sendiri di luar
tradisi-tradisi dan kehidupan Afrika secara menyeluruh dan telah diberikan
penekanan yang berlebih-lebihan. Di pusat-pusat agama Islam yang penting
seperti Timbuktu, Gao, Djenne, Kano, Katsina, dan Bornu di Afrika Barat dan
Tengah, atau Kilwa, Malindi, dan Mombasa di Afrika Timur, tradisi-tradisi rakyat
dibuat tertulis, pada umumnya dalam bahasa Arab tetapi kadang-kadang juga di
dalam tulisan Arab dengan bahasa lokal. Catatan-catatannya berpusat pada
kepribadian tokoh-tokoh komuniti Islam dan bukannya pada negara-negara atau
klen-klen yang tradisional.[6]
Diakui bahwa Prolegomena dari Ibnu Khaldun, sarjana Tunisia yang terkenal dari
abad ke-14 adalah salah satu dari karya-karya yang terpenting dalam
historiografi. Dimana dia menekankan pentingnya sosiologi dalam sejarah dan
mempelajari masa lampau bukan hanya di dalam hal-hal kegiatan individual tetapi
juga dengan melakukan analisa hukum, adat-istiadat, dan pranata dari berbagai
bangsa, begitu juga hubungan antara Negara dengan masyarakat.
3.
Pengaruh
Eropa
Pada abad ke-19, ketika pengaruh
Eropa masuk ke Afrika, pengaruh itu tidaklah dibangun di atas tradisi-tradisi
sejarah yang ada, tetapi menantang dan menggantikan tempat tradisi-tradisi
sejarah tersebut. Pandangan Eropa tentang sejarah yang bersifat dokumenter
membantu propaganda penguasa-penguasa kolonial; Afrika tidak mempunyai sejarah
tercatat yang ada harganya; karena sejarah dari para pedagang Eropa,
penyebar-penyebar agama, penyelidik-penyelidik, penakluk-penakluk, dan
penguasa-penguasa adalah yang membuat sejarah Afrika. Sejarah Eropa dan sejarah
ekspansi Eropa mulai menggantikan sejarah dan tradisi lokal di dalam pendidikan
orang-orang muda Afrika, walaupun beberapa perhatian diberikan kepada
sumber-sumber Arab dan lainnya. Ahli-ahli sejarah Eropa abad ke-19 dan
permulaan abad ke-20 berusaha untuk menjelaskan perdagangan budak di daerah
Atlantik; keunggulan dari teknologi Eropa, dan ketaklukkan Afrika, tidak
dilihat dari segi studi sejarah dari benua ini tetapi dilihat dari segi
prasangka-prasangka rasial dan psikologi tentang kekalahan yang merupakan ciri
yang utama dri orang-orang yang mempunyai warna kulit hitam. Bahkan
kelompok-kelompok penyebar agama Kristen mengintroduksi penjelasan agama yang
mengatakan bahwa orang-orang Afrika adalah anak-anak Ham dan mereka berada di
bawah kutukan Nabi Nuh untuk menjadi pemotong-pemotong kayu dan penimba air
bagi mereka yang mempunyai kulit yang lebih putih. Historiografi Afrika
akhirnya hanya menjadi suatu alat pembenaran bagi imperialisme Eropa.[7]
Historiografi Afrika akhirnya
hanya menjadi pembenaran bagi imperialisme Eropa. Namun dalam perekembangannya,
muncul reaksi dari golongan berpendidikan Afrika. Mulai muncul penulis-penulis
yang mencatat mengenai hukum, adat istiadat, peribahasa, ungkapan-ungkapan,
tradisi-tradisi sejarah yang ada di dalam komuniti mereka sendiri. Terutama
sebelum kekuasaan Eropa mantap di Afrika.
Penulis-penulis tersebut diantaranya:
- James Africanus Horton dari Sierra
- Leone, Carl C. Reindorf, dan John M.
Sarbah dari Ghana
- Otomba Payne dan Samuel Johnson dari
Nigeria
- Apolo Kagwa dari Uganda
Dalam
perkembangan selanjutnya, bangsa Eropa ini akhirnya juga mulai menghargai
kebudayaan dan tradisi yang ada di Afrika, hal ini dibuktikan dengan
dibentuknya lembaga-lembaga atau organisasi yang berkaitan mengenai kehidupan
dan tradisi di Afrika. Misalnya:
- The International Institute of African
Language and Cultures, di London yang menerbitkan majalah Afrika.
- Prancis juga mendirikan Institut Francois
d’Afrique Noire di Afrika Barat.
- The Journal of Negro History, di Amerika
Serikat.
- Ahli-ahli antropologi seperti Melville J.
Herskovits mulai memperhatikan kebudayaan Afrika dan keberadaanya mulai
diperhatikan secara serius, serta mulai memahami Afrika masa lampau.
Gejolak
perhatian terhadap historiografi Afrika yang baru datang bersamaan dengan gerakan
menuju kemerdekaan. Gerakan nasionalis pasca Perang Dunia II secara tegas
menolak penilaian Eropa terhadap masa lampau Afrika dan menuntut orientasi
baru. Selain itu para ahli peneliti di Afrika juga berpendapat bahwa sejarah di
Afrika haruslah sejraha mengenai bangsa Afrika, bukan tentang orang-orang Eropa
di Afrika. Tradisi lisan harus diterima sebagai material yang benar untuk
penelitian sejarah. Berdasarkan pemikiran-pemikiran baru itulah maka mulai
muncul karya-karya dari bangsa Afrika sendiri, misalnya:
- Trade and Politics in the Niger Delta
(Dike, 1956)
- The Egba and Their Neighbours (Biobaku,
1975)[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepercayaan yang asasi kepada adanya
kelanjutan hidup terdapat di antara semua orang Afrika. Inilah unsur inti dalam
historiografi tradisi Afrika. Di setiap tempat di daerah sub-Sahara Afrika kita
bertemu dengan kepercayaan akan adanya hubungan yang berlangsung antara yang
sudah mati dengan kehidupan dari yang masih hidup masa kini dan dari
generasi-generasi yang akan datang. Hubungan yang berlangsung antara yang sudah
mati dengan kehidupan dinyatakan dalam kepercayaan bahwa setiap komuniti
didirikan oleh seorang nenek moyang atau sekelompok nenek moyang, bahwa apapun
kedudukan dan milik-milik komuniti itu, kesemuanya adalah milik nenek moyang.
Tradisi Historiografi Afrika diantaranya Tradisi-Tradisi Mengenai Asal Mula, Penyampaian
dari mulut ke mulut, dan Tradisi-tradisi Berdasarkan Kenyataan Versus
Kesusastraan. Beberapa Negara yang ikut berpengaruh pada historiografi Afrika,
diantaranya Pengaruh Ethiopia, Pengaruh Islam, dan Pengaruh Eropa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Taufik &
Abdurrachan Surjomiharjo. 1985. Ilmu
Sejarah dan Historiografi “Arah dan Perspektif”. Jakarta: PT. Gramedia.
Historiografi Afrika,
diakses di
http://seberkassejarah2.blogspot.co.id/2012/07/historiografi-afrika.html, diakses pada 28 April 2017 pukul
20.29 WIB
Historiografi Afrika diakses di
http://bermuladarisebuahtitikkecil.blogspot.co.id/2011/11/historiografi-afrika.html, diakses pada 28 April 2017 pukul
20.45 WIB
[1]Abdullah Taufik & Abdurrachan
Surjomiharjo. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi
“Arah dan Perspektif”. Jakarta: PT. Gramedia. Hlm. 106-107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar