BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penulisan sejarah di setiap bagian negara sudah
berlangsung cukup lama. setiap negara-negara bentuk historiografinya tidaklah
sama, historiografi yang dibuat didasarkan pada perkembangan kebudayaan di
masing-masing negara. Begitu pula dengan historiografi di negara-negara Asia
Tenggara, penulisan sejarah mereka disesuaikan dengan perkembangan kebudayaan
yang berlangsung dan perkembangan historiografinya selalu berhubungan dengan
dengan sumber-sumber kesusastraan (literary). Masing-masing kesusastraan yang
dihasilkan oleh masing-masing negara di Asia Tenggara berbeda, sehingga berbeda
pula hasil penulisan sejarahnya. Hal itu dikarenakan sumber yang digunakan
dalam menulis sejarah juga berbeda dari masing-masing wilayah.
Wilayah Asia Tenggara terdapat perbedaan dalam menanggapi
tentang sejarah. Setiap wilayah mengembangkan historiografi berdasarkan
periodesasi yang berkembang di wilayah-wilayah tersebut. Perkembangan penulisan
sejarah di Asia tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Eropa.
Sebelum abad ke-20 sumber utama historiografi Asia Tenggara dapat dibagi
menjadi daerah yang disesuaikan dengan agama. Misalnya saja, Agama Budha di
Theravada di Muang Thai, Burma dan Sri Langka atau agama Islam Pakistan, India,
masyarakat Islam di malaysia, Indonesia dan Filipina Selatan atau budaya
Tiongkok di Vietnam atau Kristen di Fillipina. Hal tersebut pernah terjadi di
Eropa ketika abad pertengahan yang mana agama memiliki peranan yang penting
dalam penulisan sejarah.
B. Rumusan Masalah
Melihat latar belakang diatas dapat diambil beberapa
rumusan masalah, antara lain sebagai berikut:
1)
Bagaimanakah bentuk
historiografi tradisional
di Asia Tenggara ?
2)
Bagaimanakah ciri-ciri historiografi tradisional
di Asia Tenggara ?
3)
Bagaimanakah bentuk historiograsi modern
di Asia Tenggara ?
4)
Bagaimanakah ciri-ciri historiografi
modern Asia Tenggara ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1)
Mengetahui bentuk historiografi tradisional
di Asia Tenggara
2)
Mengetahui ciri-ciri historiografi
Tradisional di Asia Tenggara.
3)
Mengetahui bentuk historiografi modern
di Asia Tenggara.
4)
Mengetahui ciri-ciri historiografi
modern Asia Tenggara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Historiografi Tradisional di Asia
Tenggara
Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang, bahwa
historiografi tradisional Asia Tenggara sebelum abad ke-20 masih dipengaruhi
oleh agama. Berdasarkan agama itulah maka historiografi di Asia Tenggara dapat
dibedakan kedalam empat wilayah yang meiliki agama dan pengalaman baca tulis
yang berbeda. Keempat
wilayah tersebut antara lain pengaruh agama
Theravada di Muangthai dan Kamboja, pengaruh Islam di Indonesia, Malaysia dan Filipina
Selatan, pengaruh agama
dan budaya Cina di Vietnam,
dan pengaruh agama Kristen di Fllipina.[1]
Setelah masuknya agama Theravada Sinhala membuat agama
Budha Hinayana di Burma yang
sebelumnya dianut Kerajaan Pagan (pemerinthan Anawratalah) mulai tergantikan.
Tepatnya pada masa pemerintahan raja naraphatisitu banyak kebudayaan dan karya
sastra yang dibuat didasarkan pada ajaran agama Theravada. Misalnya pada abad
ke-13 bangsa Mon menyusun sebuah kronik (Rajawan dan berbagai bentuk Genelogis)
yang menetapkan suatu tradisi penggabungan data-data mengenai dinasti, anekdot
mengenai raja-raja, serta berbagai mitos dan legenda yang memberikan arti pada
setiap pemerintahan. Tradisi ini semakin diperkuat dengan pemasukan kesadaran
kronologi yang lebih teliti dalam komposisi tulisan yang dibuat oleh bangsa
Mon.
Salah satu kronik yang dibuat oleh orang-orang Burma
adalah Yazawin (Kronik Burma) yang berasal dari abad ke-18 dan abad ke-19 yang
merupakan:
1)
Tulisan asli Burma dengan animisme
lokal dan konsep mengenai raja serta kosmologi Burma sendiri.
Demikian
pula tradisi Muangthai, yang dikembangkan para biarawan dan menteri-menteri
yang terpelajar, diambil dari Sri Lanka, melalui bansga-bangsa yang berbahasa
Mon-Khmer yang berdiam di lembah Menam. Sebagian besar dari versi awal dari
kronik Thai dimusnahkan ketika Ayuthia diserbu oleh orang-orang Birma 1767.
Bentuk kronik dihidupkan kembali dalam akhir abad ke 18 dan kebanyakan kronik
di Muangthai maupun di Birma, Kamboja, dan daerah didaerah-daerah di Muangthai
Selatan, termasuk Negara-negara Malaysia seperti Songkhla dan Saiburi, ditulis
dalam bentuk ini.[3]
Yang lebih
berkembang sebagai sejarah adalah tulisan-tulisan dalam bahasa Melayu, terutama
Kitab Sejarah Melayu dan sejumlah
karya lainnya mengenai Kerajaan Johor dan Kerajaan Riau-Lingga, serta “kronik bersajak”
seperti umpamanya Syair Perang Mengkasar.
Tulisan-tulisan dalam bahasa Melayu ini lebih kaya daripada cerita-cerita
guyonan dalam bahasa Jawa, uraian mengenai orang dan tempatnya juga lebih
hidup.[4]
Salah satunya adalah historiografi sejarah
awal Tanah Melayu yang merupakan bagian dalam historiografi Asia Tenggara dan
kemudian menjurus ke dalam sejarah Malaysia telah sekian lama menjadi rujukan
dan buku teks di sekolah dan universitas. Lazimnya sejarah awal meliputi periode
sebelum 1400 Masehi yang menceritakan banyak kerajaan tua.[5]
Selain itu
terdapat pengaruh agama dan budaya Cina di Vietnam. Vietnam bagian
Utara adalah salah satu daerah jajahan atau vasal Cina. Selama pendudukan Cina
di Vietnam Utara banyak pengaruh yang diberikan Cina terhadap Vietnam. Seperti
daerah jajahannya Cina lainnya (Korea dan Jepang), Cina juga menanamkan
kebudayaan yang mereka miliki kedaerah vasal mereka. Penjajahan Cina itu
membuat berhasil menentukan sifat dan historiografi di Vietnam Utara.[6]
Karya-karya tradisional seperti Cina masih ada sampai abad ke 19 dan ke 20. Tetapi yang menarik adalah bahwa
bentuk-bentuk ini tidak dapat ditemukan dibagian-bagian lain di Indocina yang
dipengaruhi agama Budha Theravada.[7]
Setelah Vietnam melepaskan diri dari penguasaan Cina,
Vietnam masih memegang peradapan Cina yang telah ditanamkan sebelumnya. Agama
Theravada yang berhasil menaklukkan sebagian Indocina atau Asia Tenggara
Kontinental tidak serta-merta membuat keyakinan bangsa Vietnam beralih agama. Sehingga
Vietnam tidak terpengaruh dan tetap menganut agama Budha Mahayana dari aliran di Cina.
Demikian
pula di Fhilipina. Dengan masuknya orang-orang Spanyol di daerah itu pada akhir
abad ke-16, masuk pula suatu bentuk historiografi tradisional Katolik-Roma yang
berkembang sejajar dengan kronik-kronik berbahasa Melayu di Kepulauan Sulu.
Tradisi Klerikel[8]
yang sempit dari Eropa ini unggul di Fhilipina sampai paruh ke-2 dari abad
ke-19, dan sampai sekarang masih ada.[9]
B.
Ciri-ciri Historiografi Tradisional di
Asia Tenggara.
Terdapat persamaan dan perbedaan ciri-ciri pada Historiografi Asia
Tenggara disetiap Negara yang termasuk kawasan Asia Tenggara. Ciri-ciri yang
sama antara lain:
1.
Kebanyakan
karya-karya tersebut kuat dalam hal genealogi, tetapi lemah hal kronologi dan
detil-detil biografis.
2.
Terdapat
penekanan pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan penggunaan sejarah
sebagai alat pengajaran agama-agama.
3.
Adanya
persamaan dalam hal perhatian pada kingship
(konsep mengenai raja) serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan
loyalitas yang ortodoks.
4.
Pertimbangan-pertimbangan
kosmologis dan astronologis cenderung untuk menyampingkan keterangan-keterangan
mengenai sebab akibat dan ide kemajuan (progress).[10]
Perbedaan-perbedaan yang pokok
diantaranya:
1.
Agama memisahkan pada sejarawan Indo-Islam
dari konteks sosio-ekonomi agama Hindu yang terdapat dalam sejarah India, agama
juga memisahkan orang-orang Muangtai dan Kamboja dari tradisi Historiografi
Asia timur dalam bentuk Vietnamnya, agama juga memisahkan dunia Melayu Jawa
dari orang Muangthai dan Birma di satu pihak dan orang Filiphina di lain pihak.
2.
Persaingan
nasional mempengaruhi karya mengenai bangsa-bangsa bertetangga.
3.
Perbedaan
bahasa disetiap Negara menyebabkan kebanyakan karya-karya itu tidak dapat dibaca
diluar batas Negara itu sendiri
4.
Kebijaksanaan
raja-raja (penguasa Negara) mengenai penulisan sejarah cukup beragam.
Karya-karya Islam dan Melayu diedarkan dikalangan umum sedangkan karya-karya
orang-orang Muangthai, Birma, serta Vietnam hanya untuk kepentingan pihak
resmi.[11]
C.
Historiografi Modern di Asia Tenggara
Di Asia
Tenggara tidak terdapat suatu pusat kegiatan ilmiah yang berurat-berakar dan
menyebar ke seluruh wilayah itu. Perluasan kekuasaan Bangsa Eropa yang tidak
merata di seluruh wilayah dan sumber bahan-bahan yang tidak banyak dari
Negara-negara yang kecil itu, tidak memungkinkan adanya perkembangan
historiografi modern. Sebagai contoh kisah-kisah tertua mengenai daerah
Perluasan kekuasaan Bangsa Eropa di Asia Tenggara yang dihasilkan oleh orang-orang
Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris (dari abad ke-16 sampai dengan abad
ke-18) tidak mempengaruhi penulisan-penulisan dari orang-orang Asia Tenggara
dan lebih merupakan historiografi Eropa.[12]
Di
Indonesia Pembentukkan Btavia Genootscap voor kunsten en
Wetenshappen (Perhimpunan Batavia untuk seni dan Ilmu Pengetahuan) tahun
1778, buku karya William Marsden History of Sumatra (1783), serta buku
karya Raffles History of Java (1817), sedikit sekali merangsang
penulisan sejarah di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 dengan dihidupkannya
kembali Perhimpunan Batavia untuk seni dan Ilmu Pengetahuan, serta dibentuknya
Cabang Straits dari masyarakat kerajaan Asia pada tahun 1878, mulailah
dilakukan kegiatan ilmiah mulai berkembang di Indonesia dan Malaysia. Walaupun
demikian penulisan babad masih tetap ada.
Orang-orang
Birma dan Muangthai di daratan Asia tenggara tetap giat menyusun Yazawin-Yazawin dan P’ongsawadan-P’ongsawadan
sewaktu orang-orang Eropa
seperti Arthur Phraye (A History of Burma - Sejarah Birma, 1883) dan W.A.R. Wood ( A
History of Siam – Sejarah Siam, 1926) menulis karya-karyanya.
Dalam abad
ke 19 dan paruh pertama dari abad ke 20 pernah terdapat tiga bidang
historiografi Asia tenggara yang berbeda-beda. Pertama, sejarah kuno – yang tidak
dikenal atau kurang dikenal oleh penduduk asli – diungkapkan oleh para filolog,
epigraf, dan para arkeolog. Kedua, sejarah Kolonial – yang mencakup
perdagangan, perang, perjanjian-perjanjian, dan administrasi orang-orang Eropa
– adalah bidang perhatian khusus dari orang-orang Eropa sendiri, dan kurang
sekali menarik perhatian sarjana-sarjana setempat. Ketiga, “periode tengah” –
yang berkisar antara empat sampai sepuluh abad sebelum abad ke 19 – adalah
zaman penulisan sejarah penduduk asli, metode-metode modern bisa digunakan
untuk mengatur, menentukan tanggal secara lebih tepat, dan malah
menginterpretasikan kembali tulisan-tulisan dari periode ini.
Berbeda
sama sekali dengan apa yang mereka lakukan di Asia Selatan, orang-orang
Inggris, Belanda, dan Prancis tidak berusaha untuk mendidik sejarawan-sejarawan
di kalangan orang-orang Asia Tenggara sampai beberapa tahun setelah Perang
Dunia kedua.
Sejak
perang dunia kedua dan terutama sejak tercapainya kemerdekaan, bangsa-bangsa
Filipina, Birma, Indonesia, dan Malaya (sekarang Malaysia) mengambil
langkah-langkah baru dalam historiografi wilayah ini. Suatu langkah yang utama
adalah diterbitkannya karya D.G.E. Hall, A
History of Southeast Asia pada tahun 1955 yang berhasil memantapkan
pandangan bahwa seluruh perkembangan sejarah dari zaman kuno sampai modern bagi
Asia Tenggara adalah suatu unit sejarah yang jelas.
D.
Ciri-ciri Historiografi Modern di Asia
Tenggara.
Kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia, Burma,
Malaysia dan filipina, historiografi modern sedang dikonfrontasikan dengan
Nasionalisme dan
ditujukan pada kepentingan-kepentingan nasional[13]. Seperti
terlihat dalam bentuk penulisan sejarah pasca proklamasi, kebanyakkan tulisan
dibuat guna membangkitkan semangat nasional untuk melawan penjajahan Belanda. Untuk
menunjukkan bahwa bangsa Belanda itu sebagia bangsa yang jahat dan selalu
merugikan bangsa Indonesia. Sehingga penulisan sejarah pada masa ini banyak
terdapat mengenai tokoh-tokoh besar, seperti Pangeran Diponegoro, dan lain
sebagainya. Pada sejarah modern di Asia Tenggara mengutamakan sejarah Nasional
dibandingkan dengan sejarah ilmiah. Tetapi selama alat pengajaran dan penggunaan metode-metode
akademis tetap dipertahankan keadaan ini dapat berubah.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Historiografi di negara-negara Asia Tenggara, disesuaikan
dengan perkembangan kebudayaan
yang berlangsung dan perkembangan historiografinya selalu berhubungan dengan
dengan sumber-sumber kesusastraan (literary) yang tersedia. Historiografi tradisional Asia Tenggara
sebelum abad ke-20 masih dipengaruhi oleh agama. Berdasarkan agama itulah maka
historiografi di Asia Tenggara dapat dibedakan kedalam empat wilayah yang
meiliki agama dan pengalaman baca tulis yang berbeda. Keempat wilayah tersebut antara
lain pengaruh agama
Theravada di Muangthai dan Kamboja, pengaruh Islam di Indonesia, Malaysia dan Filipina
Selatan, pengaruh agama
dan budaya Cina di Vietnam,
dan pengaruh agama Kristen di Fllipina.
Terdapat persamaan dan perbedaan
ciri-ciri pada Historiografi Asia Tenggara seperti Kebanyakan karya-karya tersebut kuat
dalam hal genealogi, tetapi lemah hal kronologi dan detil-detil biografis. terdapat
penekanan pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan penggunaan sejarah sebagai
alat pengajaran agama-agama, persamaan dalam hal perhatian pada kingship (konsep mengenai raja) serta
tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas yang ortodoks, dan pertimbangan-pertimbangan
kosmologis dan astronologis cenderung untuk menyampingkan keterangan-keterangan
mengenai sebab akibat dan ide kemajuan (progress).
Sedangkan perbedaan-perbedaan yang pokok diantaranya dipengaruhi karena adanya
perbedaan agama yang berpengaruh di sebuah Negara, persaingan nasional,
perbedaan bahasa, dank arena perbedaan kebijakan pemerintah yang berkuasa di
Negara tersebut.
Historiografi modern baru berkembang di
Asia Tenggara pada pertengahan abad ke-16-18, setelah ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat mulai
masuk di kawasan Asia Tenggara. Pada abad ini kebanyakkan hasil tulisan sejarah banyak ditulis oleh orang-orang
Eropa. Penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang-orang Eropa belum dapat
mempengaruhi bentuk historiografi di Asia Tenggara. Kawasan Asia Tenggara
khususnya Indonesia, Burma, Malaysia dan filipina, historiografi modern sedang
dikonfrontasikan dengan Nasionalisme dan ditujukan pada kepentingan-kepentingan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Surjomiharjo Abdurachman, 1985.
Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan
Perspektif. Jakarta: Percetakan PT Gramedia.
Sanib Said, “Sejarah Awal Kepulauan Melayu: Lima
Buah Negeri Warisan Sarawak yang Hilang (The Heritage of the Early History of
Sarawak: The Five Lost Kingdoms)”, CREAM
- Current Research in Malaysia Vol. 1, No. 1, October 2012: 21-50.
Tirza
Topan, “Historiografi Asia Tenggara”, Makalah,
UNY Yogyakarta, 2011.
[2]
Ibid
[3]
Abdullah, Taufik dan Surjomiharjo Abdurachman, 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif. Jakarta:
Percetakan PT Gramedia. Hlm, 7
[4]
Ibid., hlm, 7-8
[5]Sanib
Said, “Sejarah Awal Kepulauan Melayu: Lima Buah Negeri Warisan Sarawak yang
Hilang (The Heritage of the Early History of Sarawak: The Five Lost Kingdoms)”,
CREAM - Current Research in Malaysia
Vol. 1, No. 1, October 2012: 21-50, hlm, 22-23
[7]
Abdullah, Taufik dan Surjomiharjo Abdurachman, op., cit., hlm, 8
[8]
Tradisi kerohaniawan Katolik-Roma yang hanya membolehkan pria yang tidak menikah
saja yang dapat ditahbiskan menjadi imam.
[10]
Ibid., hlm, 9
[11]
Ibid., hlm, 9
[12]
Ibid., Hlm, 14
[13]
Ibid., Hlm, 17
[14]
Ibid., Hlm, 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar