Jumat, 05 Juli 2019

MAKALAH HISTORIOGRAFI ASIA TENGGARA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penulisan sejarah di setiap bagian negara sudah berlangsung cukup lama. setiap negara-negara bentuk historiografinya tidaklah sama, historiografi yang dibuat didasarkan pada perkembangan kebudayaan di masing-masing negara. Begitu pula dengan historiografi di negara-negara Asia Tenggara, penulisan sejarah mereka disesuaikan dengan perkembangan kebudayaan yang berlangsung dan perkembangan historiografinya selalu berhubungan dengan dengan sumber-sumber kesusastraan (literary). Masing-masing kesusastraan yang dihasilkan oleh masing-masing negara di Asia Tenggara berbeda, sehingga berbeda pula hasil penulisan sejarahnya. Hal itu dikarenakan sumber yang digunakan dalam menulis sejarah juga berbeda dari masing-masing wilayah.

Wilayah Asia Tenggara terdapat perbedaan dalam menanggapi tentang sejarah. Setiap wilayah mengembangkan historiografi berdasarkan periodesasi yang berkembang di wilayah-wilayah tersebut. Perkembangan penulisan sejarah di Asia tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Eropa. Sebelum abad ke-20 sumber utama historiografi Asia Tenggara dapat dibagi menjadi daerah yang disesuaikan dengan agama. Misalnya saja, Agama Budha di Theravada di Muang Thai, Burma dan Sri Langka atau agama Islam Pakistan, India, masyarakat Islam di malaysia, Indonesia dan Filipina Selatan atau budaya Tiongkok di Vietnam atau Kristen di Fillipina. Hal tersebut pernah terjadi di Eropa ketika abad pertengahan yang mana agama memiliki peranan yang penting dalam penulisan sejarah.

B.     Rumusan Masalah
Melihat latar belakang diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah, antara lain sebagai berikut:
1)      Bagaimanakah bentuk historiografi tradisional di Asia Tenggara ?
2)      Bagaimanakah ciri-ciri historiografi tradisional di Asia Tenggara ?
3)      Bagaimanakah bentuk historiograsi modern di Asia Tenggara ?       
4)      Bagaimanakah ciri-ciri historiografi modern Asia Tenggara ?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1)      Mengetahui bentuk historiografi tradisional di Asia Tenggara
2)      Mengetahui ciri-ciri historiografi Tradisional di Asia Tenggara.
3)      Mengetahui bentuk historiografi modern di Asia Tenggara.
4)      Mengetahui ciri-ciri historiografi modern Asia Tenggara.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Historiografi Tradisional di Asia Tenggara
Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang, bahwa historiografi tradisional Asia Tenggara sebelum abad ke-20 masih dipengaruhi oleh agama. Berdasarkan agama itulah maka historiografi di Asia Tenggara dapat dibedakan kedalam empat wilayah yang meiliki agama dan pengalaman baca tulis yang berbeda. Keempat wilayah tersebut antara lain  pengaruh agama Theravada di Muangthai dan Kamboja, pengaruh Islam di Indonesia, Malaysia dan Filipina Selatan, pengaruh agama dan budaya Cina di Vietnam, dan pengaruh agama Kristen di Fllipina.[1]
Setelah masuknya agama Theravada Sinhala membuat agama Budha Hinayana di Burma yang sebelumnya dianut Kerajaan Pagan (pemerinthan Anawratalah) mulai tergantikan. Tepatnya pada masa pemerintahan raja naraphatisitu banyak kebudayaan dan karya sastra yang dibuat didasarkan pada ajaran agama Theravada. Misalnya pada abad ke-13 bangsa Mon menyusun sebuah kronik (Rajawan dan berbagai bentuk Genelogis) yang menetapkan suatu tradisi penggabungan data-data mengenai dinasti, anekdot mengenai raja-raja, serta berbagai mitos dan legenda yang memberikan arti pada setiap pemerintahan. Tradisi ini semakin diperkuat dengan pemasukan kesadaran kronologi yang lebih teliti dalam komposisi tulisan yang dibuat oleh bangsa Mon.
Salah satu kronik yang dibuat oleh orang-orang Burma adalah Yazawin (Kronik Burma) yang berasal dari abad ke-18 dan abad ke-19 yang merupakan:
1)      Tulisan asli Burma dengan animisme lokal dan konsep mengenai raja serta kosmologi  Burma sendiri.
2)      Karya ini disusun oleh para biarawan serta para Brahmana terpelajar.[2]
Demikian pula tradisi Muangthai, yang dikembangkan para biarawan dan menteri-menteri yang terpelajar, diambil dari Sri Lanka, melalui bansga-bangsa yang berbahasa Mon-Khmer yang berdiam di lembah Menam. Sebagian besar dari versi awal dari kronik Thai dimusnahkan ketika Ayuthia diserbu oleh orang-orang Birma 1767. Bentuk kronik dihidupkan kembali dalam akhir abad ke 18 dan kebanyakan kronik di Muangthai maupun di Birma, Kamboja, dan daerah didaerah-daerah di Muangthai Selatan, termasuk Negara-negara Malaysia seperti Songkhla dan Saiburi, ditulis dalam bentuk ini.[3]
Yang lebih berkembang sebagai sejarah adalah tulisan-tulisan dalam bahasa Melayu, terutama Kitab Sejarah Melayu dan sejumlah karya lainnya mengenai Kerajaan Johor dan Kerajaan Riau-Lingga, serta “kronik bersajak” seperti umpamanya Syair Perang Mengkasar. Tulisan-tulisan dalam bahasa Melayu ini lebih kaya daripada cerita-cerita guyonan dalam bahasa Jawa, uraian mengenai orang dan tempatnya juga lebih hidup.[4] Salah satunya adalah historiografi sejarah awal Tanah Melayu yang merupakan bagian dalam historiografi Asia Tenggara dan kemudian menjurus ke dalam sejarah Malaysia telah sekian lama menjadi rujukan dan buku teks di sekolah dan universitas. Lazimnya sejarah awal meliputi periode sebelum 1400 Masehi yang menceritakan banyak kerajaan tua.[5]
Selain itu terdapat pengaruh agama dan budaya Cina di Vietnam. Vietnam bagian Utara adalah salah satu daerah jajahan atau vasal Cina. Selama pendudukan Cina di Vietnam Utara banyak pengaruh yang diberikan Cina terhadap Vietnam. Seperti daerah jajahannya Cina lainnya (Korea dan Jepang), Cina juga menanamkan kebudayaan yang mereka miliki kedaerah vasal mereka. Penjajahan Cina itu membuat berhasil menentukan sifat dan historiografi di Vietnam Utara.[6] Karya-karya tradisional seperti Cina masih ada sampai abad ke 19 dan ke 20. Tetapi yang menarik adalah bahwa bentuk-bentuk ini tidak dapat ditemukan dibagian-bagian lain di Indocina yang dipengaruhi agama Budha Theravada.[7]
Setelah Vietnam melepaskan diri dari penguasaan Cina, Vietnam masih memegang peradapan Cina yang telah ditanamkan sebelumnya. Agama Theravada yang berhasil menaklukkan sebagian Indocina atau Asia Tenggara Kontinental tidak serta-merta membuat keyakinan bangsa Vietnam beralih agama. Sehingga Vietnam tidak terpengaruh dan tetap menganut agama Budha Mahayana dari aliran di Cina.
Demikian pula di Fhilipina. Dengan masuknya orang-orang Spanyol di daerah itu pada akhir abad ke-16, masuk pula suatu bentuk historiografi tradisional Katolik-Roma yang berkembang sejajar dengan kronik-kronik berbahasa Melayu di Kepulauan Sulu. Tradisi Klerikel[8] yang sempit dari Eropa ini unggul di Fhilipina sampai paruh ke-2 dari abad ke-19, dan sampai sekarang masih ada.[9]

B.     Ciri-ciri Historiografi Tradisional di Asia Tenggara.
Terdapat persamaan dan perbedaan ciri-ciri pada Historiografi Asia Tenggara disetiap Negara yang termasuk kawasan Asia Tenggara. Ciri-ciri yang sama antara lain:
1.      Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam hal genealogi, tetapi lemah hal kronologi dan detil-detil biografis.
2.      Terdapat penekanan pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan penggunaan sejarah sebagai alat pengajaran agama-agama.
3.      Adanya persamaan dalam hal perhatian pada kingship (konsep mengenai raja) serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas yang ortodoks.
4.      Pertimbangan-pertimbangan kosmologis dan astronologis cenderung untuk menyampingkan keterangan-keterangan mengenai sebab akibat dan ide kemajuan (progress).[10]

Perbedaan-perbedaan yang pokok diantaranya:
1.       Agama memisahkan pada sejarawan Indo-Islam dari konteks sosio-ekonomi agama Hindu yang terdapat dalam sejarah India, agama juga memisahkan orang-orang Muangtai dan Kamboja dari tradisi Historiografi Asia timur dalam bentuk Vietnamnya, agama juga memisahkan dunia Melayu Jawa dari orang Muangthai dan Birma di satu pihak dan orang Filiphina di lain pihak.
2.      Persaingan nasional mempengaruhi karya mengenai bangsa-bangsa bertetangga.
3.      Perbedaan bahasa disetiap Negara menyebabkan kebanyakan karya-karya itu tidak dapat dibaca diluar batas Negara itu sendiri
4.      Kebijaksanaan raja-raja (penguasa Negara) mengenai penulisan sejarah cukup beragam. Karya-karya Islam dan Melayu diedarkan dikalangan umum sedangkan karya-karya orang-orang Muangthai, Birma, serta Vietnam hanya untuk kepentingan pihak resmi.[11]

C.    Historiografi Modern di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara tidak terdapat suatu pusat kegiatan ilmiah yang berurat-berakar dan menyebar ke seluruh wilayah itu. Perluasan kekuasaan Bangsa Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan sumber bahan-bahan yang tidak banyak dari Negara-negara yang kecil itu, tidak memungkinkan adanya perkembangan historiografi modern. Sebagai contoh kisah-kisah tertua mengenai daerah Perluasan kekuasaan Bangsa Eropa di Asia Tenggara yang dihasilkan oleh orang-orang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris (dari abad ke-16 sampai dengan abad ke-18) tidak mempengaruhi penulisan-penulisan dari orang-orang Asia Tenggara dan lebih merupakan historiografi Eropa.[12] 
Di Indonesia Pembentukkan Btavia Genootscap voor kunsten en Wetenshappen (Perhimpunan Batavia untuk seni dan Ilmu Pengetahuan) tahun 1778, buku karya William Marsden History of Sumatra (1783), serta buku karya Raffles History of Java (1817), sedikit sekali merangsang penulisan sejarah di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 dengan dihidupkannya kembali Perhimpunan Batavia untuk seni dan Ilmu Pengetahuan, serta dibentuknya Cabang Straits dari masyarakat kerajaan Asia pada tahun 1878, mulailah dilakukan kegiatan ilmiah mulai berkembang di Indonesia dan Malaysia. Walaupun demikian penulisan babad masih tetap ada.
Orang-orang Birma dan Muangthai di daratan Asia tenggara tetap giat menyusun Yazawin-Yazawin  dan P’ongsawadan-P’ongsawadan  sewaktu orang-orang Eropa seperti  Arthur Phraye (A History of Burma -  Sejarah Birma, 1883) dan W.A.R. Wood (  A History of Siam – Sejarah Siam, 1926) menulis karya-karyanya.
Dalam abad ke 19 dan paruh pertama dari abad ke 20 pernah terdapat tiga bidang historiografi Asia tenggara yang berbeda-beda. Pertama, sejarah kuno – yang tidak dikenal atau kurang dikenal oleh penduduk asli – diungkapkan oleh para filolog, epigraf, dan para arkeolog. Kedua, sejarah Kolonial – yang mencakup perdagangan, perang, perjanjian-perjanjian, dan administrasi orang-orang Eropa – adalah bidang perhatian khusus dari orang-orang Eropa sendiri, dan kurang sekali menarik perhatian sarjana-sarjana setempat. Ketiga, “periode tengah” – yang berkisar antara empat sampai sepuluh abad sebelum abad ke 19 – adalah zaman penulisan sejarah penduduk asli, metode-metode modern bisa digunakan untuk mengatur, menentukan tanggal secara lebih tepat, dan malah menginterpretasikan kembali tulisan-tulisan dari periode ini.
Berbeda sama sekali dengan apa yang mereka lakukan di Asia Selatan, orang-orang Inggris, Belanda, dan Prancis tidak berusaha untuk mendidik sejarawan-sejarawan di kalangan orang-orang Asia Tenggara sampai beberapa tahun setelah Perang Dunia kedua.
Sejak perang dunia kedua dan terutama sejak tercapainya kemerdekaan, bangsa-bangsa Filipina, Birma, Indonesia, dan Malaya (sekarang Malaysia) mengambil langkah-langkah baru dalam historiografi wilayah ini. Suatu langkah yang utama adalah diterbitkannya karya D.G.E. Hall, A History of Southeast Asia pada tahun 1955 yang berhasil memantapkan pandangan bahwa seluruh perkembangan sejarah dari zaman kuno sampai modern bagi Asia Tenggara adalah suatu unit sejarah yang jelas.

D.    Ciri-ciri Historiografi Modern di Asia Tenggara.
Kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia, Burma, Malaysia dan filipina, historiografi modern sedang dikonfrontasikan dengan Nasionalisme dan ditujukan pada kepentingan-kepentingan nasional[13]. Seperti terlihat dalam bentuk penulisan sejarah pasca proklamasi, kebanyakkan tulisan dibuat guna membangkitkan semangat nasional untuk melawan penjajahan Belanda. Untuk menunjukkan bahwa bangsa Belanda itu sebagia bangsa yang jahat dan selalu merugikan bangsa Indonesia. Sehingga penulisan sejarah pada masa ini banyak terdapat mengenai tokoh-tokoh besar, seperti Pangeran Diponegoro, dan lain sebagainya. Pada sejarah modern di Asia Tenggara mengutamakan sejarah Nasional dibandingkan dengan sejarah ilmiah. Tetapi selama alat pengajaran dan penggunaan metode-metode akademis tetap dipertahankan keadaan ini dapat berubah.[14]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Historiografi di negara-negara Asia Tenggara, disesuaikan dengan perkembangan kebudayaan yang berlangsung dan perkembangan historiografinya selalu berhubungan dengan dengan sumber-sumber kesusastraan (literary) yang tersedia. Historiografi tradisional Asia Tenggara sebelum abad ke-20 masih dipengaruhi oleh agama. Berdasarkan agama itulah maka historiografi di Asia Tenggara dapat dibedakan kedalam empat wilayah yang meiliki agama dan pengalaman baca tulis yang berbeda. Keempat wilayah tersebut antara lain  pengaruh agama Theravada di Muangthai dan Kamboja, pengaruh Islam di Indonesia, Malaysia dan Filipina Selatan, pengaruh agama dan budaya Cina di Vietnam, dan pengaruh agama Kristen di Fllipina.
Terdapat persamaan dan perbedaan ciri-ciri pada Historiografi Asia Tenggara seperti Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam hal genealogi, tetapi lemah hal kronologi dan detil-detil biografis. terdapat penekanan pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan penggunaan sejarah sebagai alat pengajaran agama-agama, persamaan dalam hal perhatian pada kingship (konsep mengenai raja) serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas yang ortodoks, dan pertimbangan-pertimbangan kosmologis dan astronologis cenderung untuk menyampingkan keterangan-keterangan mengenai sebab akibat dan ide kemajuan (progress). Sedangkan perbedaan-perbedaan yang pokok diantaranya dipengaruhi karena adanya perbedaan agama yang berpengaruh di sebuah Negara, persaingan nasional, perbedaan bahasa, dank arena perbedaan kebijakan pemerintah yang berkuasa di Negara tersebut.
Historiografi modern baru berkembang di Asia Tenggara pada pertengahan abad ke-16-18, setelah ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat mulai masuk di kawasan Asia Tenggara. Pada abad ini kebanyakkan hasil tulisan sejarah banyak ditulis oleh orang-orang Eropa. Penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang-orang Eropa belum dapat mempengaruhi bentuk historiografi di Asia Tenggara. Kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia, Burma, Malaysia dan filipina, historiografi modern sedang dikonfrontasikan dengan Nasionalisme dan ditujukan pada kepentingan-kepentingan nasional.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan Surjomiharjo Abdurachman, 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif. Jakarta: Percetakan PT Gramedia.
Sanib Said, “Sejarah Awal Kepulauan Melayu: Lima Buah Negeri Warisan Sarawak yang Hilang (The Heritage of the Early History of Sarawak: The Five Lost Kingdoms)”, CREAM - Current Research in Malaysia Vol. 1, No. 1, October 2012: 21-50.
Tirza Topan, “Historiografi Asia Tenggara”, Makalah, UNY Yogyakarta, 2011.



[1] Tirza Topan, “Historiografi Asia Tenggara”, Makalah, UNY Yogyakarta, 2011.
[2] Ibid
[3] Abdullah, Taufik dan Surjomiharjo Abdurachman, 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif. Jakarta: Percetakan PT Gramedia. Hlm, 7
[4] Ibid., hlm, 7-8
[5]Sanib Said, “Sejarah Awal Kepulauan Melayu: Lima Buah Negeri Warisan Sarawak yang Hilang (The Heritage of the Early History of Sarawak: The Five Lost Kingdoms)”, CREAM - Current Research in Malaysia Vol. 1, No. 1, October 2012: 21-50, hlm, 22-23
[6] Tirza Topan, op., cit.
[7] Abdullah, Taufik dan Surjomiharjo Abdurachman, op., cit., hlm, 8
[8] Tradisi kerohaniawan Katolik-Roma yang hanya membolehkan pria yang tidak menikah saja yang dapat ditahbiskan menjadi imam.
[9] Abdullah, Taufik dan Surjomiharjo Abdurachman, op., cit., hlm, 8  
[10] Ibid., hlm, 9
[11] Ibid., hlm, 9
[12] Ibid., Hlm, 14
[13] Ibid., Hlm, 17
[14] Ibid., Hlm, 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....