Dilema semester akhir tidak akan jauh dari permasalahan seperti skripsi dan rencana kerja. Setiap diskusi selalu diselipin topik pencarian masalah yang dapat diangkat menjadi kajian. Cari masalah yang ada di sekitarmu lalu temukan penyelesaiannya. Sepertinya inilah tugas terberat dalam fase perkuliahan, masalah mencari masalah tanpa menimbulkan masalah. Sedangkan sejak kecil kita diajarkan untuk tidak buat masalah, kiranya di dunia akademisi, masalah adalah hal penting hingga harus dicari. Oke, aku setuju, tentu masalah yang dimaksud ini berbeda. Tenang, sudah aku tulis kok di atas, “Mencari masalah dan menemukan penyelesaiannya”.
Tulisan diatas adalah sebuah bentuk kegundahan seorang anak manusia yang memasuki tahap semester akhir namun di kepalanya hanya berisi masalah yang sangat tidak akademisi. Sangat tidak ilmiah jika dijadikan kajian/penelitian. Tidak terbayangkan jika nantinya harus membuat tugas akhir dengan judul “Dinamika pencarian masalah dalam konteks kehidupan manusia yang ingin bebas dari masalah: studi kasus manusia bermasalah”. Akan jadi apa nantinya? Sekali lagi ini bentuk kegundahan semester akhir yang sedang berjuang mencari masalah.
Semakin kusut seperti benang rajut yang diputar-putar lalu saling diikat tapi tidak digunakan untuk apa-apa. Tidak ditemukan pemecahan masalah atas masalah untuk mencari masalah. Iseng-iseng tanganku bergerak mencari inspirasi. Mencoba menulis, yang ditulis mengenai masalah mencari masalah. Mencoba tidur termimpi masalah mencari masalah. Sebegitu menakutkankah momok masalah mencari masalah? Hingga akhirnya aku menemukan pemecahannya, secangkir kopi di malam yang dingin. Yap, kopi sepertinya dapat sedikit mengurangi ketegangan malam ini atas masalah mencari maslah.
Kakiku bergerak melangkah menuju dapur tempat kopi bersama gula duduk bersama. Meski aku lebih sering bersua dengan si teh yang juga ikut duduk disana, namun sepertinya malam ini kopi lebih menggoda. Tanganku bergerak mengambil peralatan dalam rangka menuntaskan ekspedisi penting ini. Gelas sudah siap, sendok siap siaga, tanganku mulai bergerak mengarah ke butiran-butiran gula putih. Kuambil menggunakan sendok aluminium yang memantulkan bayangan tak sama dengan aslinya. Kutumpahkan sendok berisi gula ke dalam gelas. Kemudian tanpa perasaan aku jatuhkan kopi hitam di atas gula yang putih. Dengan cepat tanganku bergerak menuangkan air panas dari termos untuk menyatukan putih dan hitam di dalam gelas. Seketika larut kedua materi itu meski gula harus ikhlas menghilang dalam larutan hitam kopi. Sambil terus memutar sendok searah jarum jam, kunikmati putaran genangan kopi di dalam gelas. Aku jadi teringat sesuatu.
Aku teringat bahwa aku tadi siang menemukan tulisan menarik tentang kopi, lalu ku pikir, ada baaiknya aku membuat tulisan yang membahas mengani sesuatu tentang kopi. Dengan menggunakan asas berbagi hal yang bermanfaat, aku bagikan tulisan mengenai sejarah singkat kopi agar para penikmat kopi tidak hanya menikmati rasa kopinya namun juga mengentahui perjalan panjang yang telah dilalui kopi.
Sejarah mengatakan bahwa catatan tertua tentang kopi, pertama kali dikemukakan oleh William Bidulph, seorang berkebangsaan Inggris yang menulis surat dari Allepo pada tahun 1660. Pada abad ke-16, kopi sudah terdapat di daerah Timur Tengah, Persia, Turki, dan Afrika Utara. Biji kopi pertama kali diekspor dari Ethiopia ke Yaman. Kopi pertama kali dibawa keluar dari Timur Tengah pada 1670 oleh Sufi Baba Budan, dari Yaman ke India. Setelah itu kopi menyebar ke Itali dan seluruh Eropa (Wacana, 2006: 237).
Memasuki abad ke-16 dan ke-17, kopi mulai menjadi komoditi bernilai tinggi di Eropa. Setelah kopi diterima luas di Eropa, Kopi pun secara perlahan menjadi bagian dari imprealisme dan kolonialisme lama, seperti halnya yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang mulai memasuki Indonesia pada pertengahan abad ke-16 dan mulai memperkenalkan kopi. Menurut William H Ukers, disebutkan bahwa VOC merupakan pengimpor kopi pertama dalam skala besar. Setelah mendapatkan komoditas kopi, VOC membudidayakan kopi di Jawa dan Sri Langka pada 1711. Adapun Creutzberg dan van Laane (1987) mengungkapkan keterangan yang berbeda, kopi dibawa ke Hindia Belanda pada 1669, namun bibit kopi pertama ini punah karena kopi yang dikirim terkena bencana banjir di Batavia. Kiriman kopi selanjutnya tiba pada 1699 dan menjadi sumber bagi segala kopi yang tumbuh di Jawa dan di bagianbagian lain kepulauan Nusantara sampai abad ke-21 (Creutzberg dan Van Laanen, 1987: 157).
Kopi menjadi komoditas unggulan di masa VOC dan di masa Hindia Belanda Memasuki masa Politik Etis, pembudidayaan kopi pun sampai Sumatera, salah satunya hingga ke daerah Lampung. Beriringan dengan proses kolonisasi (perpindahan penduduk) tahap pertama (berlangsung dari 1905 sampai 1911) di Lampung, para kolonis asal Jawa dan kolonis keturunan Tionghoa mulai membuka lahan dan mengembangkan tanaman kopi. Tanah Lampung yang subur serta luas memungkinkan pembudidayaan kopi dalam jumlah besar melalui perkebunan rakyat yang tersebar di manamana. Perkebunan ini terus berkembang dari masa pemerintah Hindia-Belanda hingga masa Indonesia merdeka (Creutzberg dan Van Laanen, 1987; Dahlan, 2006; BPS Lampung, 1982-1997; http://www.desamerdeka.com/lintas-desa).
Tapi, kopiku sudah siap untuk dinikmati. Tak terpikirkan lagi untuk mengenang tulisan yang sempat kubaca mengenai kopi secara lebih tajam akurat dan terpercaya, lalu membahasnya setajam cutter. Kepulan panas airnya menyebarkan aroma menggoda. Warna hitam pekatnya tidak menghalangi bibir untuk segera menyentuh pinggiran gelas menikmati hangat dan manisnya kopi tersebut. Tidak, aku lupa, yang hangat itu airnya yang manis itu gulanya, kopi hanya memberikan aroma dan hitam tanpa kehangatan dan rasa manis.
Kembali aku bergelut dengan notebookku, melihat jejeran huruf merangkai kata membentuk kalimat. Lama aku mematung mantap layar notebookku. Tanganku dengan erat memegang gelas kopi. Belum kutemukan inspirasi baru untuk kelanjutan tugas akhirku. Hendak menulis apa aku, masalah apa yang akan aku angkat, dan masalah terus berlanjut hingga kopiku tinggal setengah gelas. Tiba-tiba terpikirkan sesuatu, ya, aku menemukan ide. Sebentar tanganku mulai mengetik kembali menuangkan ide yang ada di kepala, sebentar tanganku membolak balikkan buku yang berserakan di meja, namun sepertinya tanganku lebih nyaman menikmati hangatnya gelas berisi kopi panas.
Dan akhirnya, selesailah sudah tulisanku malam ini. Kopi.
Jakarta, 14 Agustus 2018

Tidak ada komentar:
Posting Komentar