Selasa, 02 Juli 2019

CATATAN RINDU UNTUK AYAH

Namaku Tri Handayani. Aku lahir ketika Indonesia sedang mengalami krisis, tahun sebelum adanya reformasi di Indonesia. Aku melihat dunia ketika bapak Soeharto berada di ujung kepeminpinanya. Aku terlahir sebagai anak ketiga. Aku memiliki 2 orang kakak laki-laki. Ketika kelas 2 SD, ayahku pergi. Pergi untuk selamanya. Ketika ayahku pergi, aku belum mengenal arti ditinggal atau kehilangan. Ketika kabar itu datang, aku hanya berfikir bahwa ayahku sudah sembuh hingga bisa dibawa pulang ke rumah.
Ketika ayahku tiba di rumah, aku sempat bersorak, “Kang, Bapak teko.” (Kang, Bapak datang) tanpa sedikitpun beban yang kurasa. ayahku tiba dirumah di waktu siang setelah sholat zuhur. Sedangkan sejak pagi rumahku sudah ramai oleh orang-orang yang berdatangan. Mereka datang dengan muka sedih, bahkan beberapa yang datang memelukku sambil berkata, “Seng sabar yo Nduk.” (yang sabar ya nak). Aku waktu itu bingung dengan sikap mereka. Ada apa gerangan? Bahkan beberapa kerabat dekat meneteskan airmata. dalam hati aku bertanya, “Bapak kan datangnya ntar siang, kenapa orang-orang ini cepat banget kerumah?”.
Hari itu aku tak sekolah. Bukan karena aku menangis di dalam kamar, tapi karena aku sibuk membantu Mbahku membereskan rumah. Sudah 8 hari kami bertiga dirumah dengan Mbah, sedangkan Ibu dan Ayahku sedang di kota, berobat untuk Ayah. Kata Mbah, nanti akan banyak orang datang, jadi lantai dibersihkan, kursi disingkirkan. Kata Mbah, Ayahku meninggal tadi malam di rumah sakit di Kota Jambi dan hari ini akan dibawa pulang.
Ketika rombongan Ayahku tiba, aku biasa saja. Tapi ketika melihat Ibuku menangis, aku ikut nangis. Sungguh bukan karena berfikir bahwa aku akan jadi anak yatim namun karena aku ikut suasana sekitarku yang sedang bersedih. Mungkin ketika itu, aku adalah anak lugu, polos, jika tak ingin dikatakan bodoh, yang tak mengerti apa-apa. Terakhir, ketika ayahkku sudah dimandikan dan telah pula berganti pakaian (dikafani), aku ditawari untuk menciumnya. Aku menolak. Karena menurutku, besok juga akan ketemu lagi kan. Aku bahkan asyik makan jajan yang dibawakan sama Budeku dari Jawa.
Ya itulah aku, seorang anak yang tak mengerti suasana. Sekarang usiaku sudah menginjak 21 tahun. Aku sudah mulai dewasa dari segi umur. Masa remaja dengan segala cerita sudah ku lewati. Kisah kasih sekolah pun sudah kurasakan. Kini aku mulai memasuki dunia masyarakat yang sebenarnya. Di tahun ini aku sedang berjuang dalam satu MK yang menuntut untuk berkerja di luar kampus yakni magang.
Inspirasiku menulis ini berawal dari salah satu mentor di tempat magang yang mengatakan, “Oh nama kamu Tri Handayani, kirain Tut Wuri Handayani, berarti orang tua kamu ingin kamu jadi guru”. Seketika itu aku teringat dnegan ayahku, karena dialah yang memberi nama Tri Handayani. Kalau Ibuku, katanya dia ingin memberi nama anak perempuannya "Anita". Bagus juga ide ibuku. Ketika dulu sewaktu ayahku masih ada, aku belum sempat bertanya, apa do’a yang dititipkan melalui namaku. Apakah benar bahwa ayahku ingin agar aku menjadi seorang guru sehingga namaku dimiripkan dengan slogan pendidikan. Mengenai arti namapun aku dapatkan dengan mencari sendiri dibantu oleh google. Tri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tiga. Tri dalam bahasa Jawa juga berarti sama, tiga. sedangkan Handayani diambil dari bahasa Jawa pula yang berarti memberi manfaat. Ketika mengetahui arti tersebut, seketika saya bangga dengan nama saya. 
Jika ayahku ada, mungkin akan banyak pertanyaan yang kuberikan. Bahkan mungkin aku akan bertanya, apa benar aku lahir di bulan November?  Mungkin juga aku akan bertanya, bagaimana mantu idaman menurut ayah. Tapi sudahlah. Aku sudah tak sanggup menuliskan kisahku di hari ini. Mungkin di hari lain kan kulanjutkan ceritaku. Karena tak mudah menuliskan kembali kenangan yang lama kusadari bahwa itu ternyata sakit. Ketika aku ditinggal dulu dan sekarang rasa kehilangan itu kurasa. Terkadang ingin memutar waktu, mungkin akan ku cium ayahku sepuasnya untuk terakhir kali, atau bahkan biar aku yang memandikan dan ikut memakaikan baju terakhir untuknya. Tapi kembali ku katakan, ya sudahlah. Sepertinya Allah lebih sayang kepada Ayahku sehingga cepat memanggilnya.
Saat ini, hanya do’a sebagai penawar rindu dan taqwa wujud baktiku untuk Ayahku. Semoga, meski aku tak dapat memeluknya dan bercerita mengenai masa-masa mudaku, namun aku dapat menjadi anak yang membuatkan tempat untuknya di surga. Karena dia, Ayahku, cinta pertamaku, bahkan ketika aku belum mengerti apa itu cinta.

Jakarta, 2 Agustus 2018

1 komentar:

  1. Lanjutkan kak 😁
    Makasih krna cerita ini q jadi sadar arti orang tua 🥺

    BalasHapus

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....