I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari Pulau Jawa Islam masuk ke Ternate dan pulau Sulawesi yaitu di Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Luwu dan Soppeng sekitar abad ke-15. Maluku mendapat pengaruh Islam sekitar abad ke-15, tetapi jauh sebelumnya telah ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Pulau Jawa, dan Malaka, sebab Malaka merupakan jalur pelayaran di wilayah timur Indonesia dan sebagai jalur lalu lintas perdagangan yang sering disinggahi para pedagang, dan pasti melewati pulau Buton dan pulau wawonii.[1]
Kepulauan Maluku adalah kepulauan yang terkenal akan kekayaan hasil bumi yang melimpah. Kepulauan Maluku juga memiliki posisi yang strategis dalam perdagangan dunia di kawasan timur Nusantara. Pada abad ke-15 sampai ke-19 daerah tersebut menjadi wilayah rebutan antara bangsa Spayol, Portugis, dan Belanda. Karena status itu pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke Makassar dan kepulauan-kepulauan lainnya.
Gerakan islamisasi dan perkembangannya, merupakan salah satu entitas penting perkembangan sejarah dan peradabaan masyarakat di wilayah Kepulauan Maluku. Dalam historiografi Islam di wilayah Kepulauan Maluku, eksistensi Islam yang paling kuat dianggap berpusat di wilayah-wilayah empat kerajaan besar di wilayah Maluku Utara. Propinsi Maluku, penting untuk ditelusuri kembali bagaimana proses penyebaran dan pengaruh kekusaan Islam berlangsung, mengingat daerah ini dianggap sebagai daerah perluasan kekuasaan dan penyebaran Islam.[2]
II. PEMBAHASAN
A. Kerajaan Islam di Maluku
Sejak tahun 650, mulailah dikenal orang rempah-rempah cengkeh itu di Eropa, karena dibawa oleh saudagar-saudagar Arab yang membawanya ke pelabuhan-pelabuhan Irak untuk diperniagakan di Eropa. Sejak saat itu, ramailah perniagaan orang Arab dan Iran menuju Maluku untuk mencari Cengkeh, sebab harganya sangat mahal di benua Eropa, sehingga kapal-kapal yang membawanya sudah pasti akan mendapat untung yang berlipat ganda.[3] Dengan adanya perdagangan ini, diperkirakan bahwa Islam masuk ke Maluku dibawa oleh para pedagang.
Pedagang-pedagang yang masuk ke perairan Maluku umumnya adalah pedagang Islam sambil berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam.[4] Yang disebut Maluku di Zaman Lampau ialah gabungan dari empat buah negeri, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jilolo.[5] Menurut catatan orang Portugis, yang mula-mula memeluk Islam diantara keempat raja tersebut adalah Raja Ternate.[6] Islam telah datang berniaga ke sana baik yang dari tanah Melayu maupun yang dari Jawa. di dalam “Sedjarah Melaju” telah tersebut bahwasanya di zaman Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah Malaka, telah datang Raja Maluku ke Malaka, yang menjadi tanda bahwa dalam abad ke-15 sudah ada perhubungan yang baik antara kedua negeri tersebut.[7]
Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali berkembang.[8] Berikut penjelasan mengenai kerajaan-kerajaan yang terdapat di Maluku.
1. Kerajaan Ternate
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kerajaan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kerajaan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
Raja Islam Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum (1465-1495 M). Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin.[9] Pada masa pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di sekitarnya, bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih). Zainal Abidin memerintah hingga tahun 1500 M. Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaannya. Wilayah kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
Dalam catatan sejarah Raja-Raja Ternate, Sultan-Sultan Ternate yang memegang peranan penting di dalam penyebara Islam dan menghadapi Portugis, diantaranya:
1. Sultan Zainal Abidin
2. Sultan Sirullah
3. Sultan Khairun
4. Sultan Babullah[10]
Perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang pesat sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting di Maluku. Para pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan, pakaian, dan beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Ramainya perdagangan memberikan keuntungan besar bagi perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat membangun laut yang cukup kuat. Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari kerajaan Ternate adalah keahlian masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
Wilayah-wilayah persebaran dari kekuasaan Ternate di wilayah Maluku bagian selatan, termasuk dalam hal ini adalah Kerajaan Hoamoal merupakan dampak dari persaingan antara dua kerajaan pusat kekuasan Islam di Maluku Utara, yakni Ternate dan Tidore. Perkembangan lanjut, Ternate dan Tidore bersaing memperoleh legitimasi politik sebagai wilayah pusat kekuasaan Islam, sehingga masing-masing kerajaan tersebut bersaing untuk melebarkan sayap kekuasaannya. Ternate berekspansi ke wilayah Seram Barat yakni Jazirah Hoamoal, ke wilayah Pulau Ambon, sementara Tidore berkespansi ke wilayah pesisir utara Pulau Seram, Kepulauam Gorom dan Seram Laut di bagian timur Pulau Seram, bahkan mencapai Kepulauan Raja Empat, Irian. Peranan Ternate dan Tidore sebagai bandar jalur sutera dengan sendirinya terkait dengan ekspansi itu (Leirizza, 2001: 7).[11]
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing (Portugis dan Spanyol) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
2. Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.[12]
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an.
3. Kerajaan Bacan
Kedudukan awal Kerajaan Bacan bermula di Makian Timur, kemudian dipindahkan ke Kasiruta lantaran ancaman gunung berapi Kie Besi. Kebanyakan rakyat Bacan adalah orang Makian yang ikut dalam evakuasi bersama rajanya. Diperkirakan, Kerajaan Bacan didirikan pada tahun 1322. Tidak jelas bagaimana proses pembentukannya tetapi bisa ditaksir sama dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, yakni bermula dari pemukiman yang kemudian membesar dan tumbuh menjadi kerajaan.
Raja pertama Bacan, menurut hikayat tersebut adalah Said Muhammad Bakir, atau Said Husin, yang berkuasa di Gunung Makian dengan gelar Maharaja Yang Bertahta Kerajaan Moloku Astana Bacan, Negeri Komala Besi Limau Dolik. Raja pertama ini berkuasa selama 10 tahun, dan meninggal di Makian. Pada 1343, bertahta di Kerajaan Bacan Kolano Sida Hasan. Dengan bekerja sama dengan Tidore, Sida Hasan berhasil merebut kembali Pulau Makian dan beberapa desa di sekitar Pulau Bacan dari tangan Raja Ternate, Tulu Malamo.
Masyarakat Bacan pada masa sebelum masuknya pengaruh Islam merupakan sebuah Kolano, yang didasarkan ikatan genealogis dan teritorial. Setelah Islam masuk sekitar tahun 1322, organisasi sosialnya mengambil bentuk Kesultanan dan Agama Islam sebagai faktor pengikat. Di Maluku Utara ada empat Kolano dan Kesultanan, di samping Bacan adalah Ternate, Tidore, dan Jailolo, yang kesemuanya disebut Moloko Kie Raha.
4. Kerajaan Jailolo
Sebelum abad ke-17, ada satu kerajaan Islam, Kesultanan Jailolo, yang berpusat di Pulau Halmahera, pulau terbesar di Maluku Utara. Menurut legenda yang sempat dicatat sampai abad ke-14, kesultanan Jailolo merupakan kerajaan tertua di Maluku Utara hingga pada akhir abad ke-17 tidak tercatat lagi secara administratif karena dianeksasi oleh Kesultanan Ternate dengan bantuan VOC. Sejak saat itu, seluruh kawasan di utara dan selatan Pulau Halmahera tergabung ke dalam wilayah kekuasaan Ternate. Sedangkan wilayah tengah Halmahera menjadi bagian kekuasaan Tidore. Sistem pemerintahan yang dibangun di Halmahera kemudian disesuaikan dengan kepentingan VOC. Membangun kantor perwakilan untuk penyediaan tenagakerja murah dan bahan pangan. Salah satu metode yang diterapkan adalah sistem upeti.
Setelah peristiwa aneksasi Kesultanan Jailolo oleh Kesultanan Ternate, muncul kembali upaya menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dari masyarakat Halmahera Utara. Upaya itu dimulai pada dekade pertama abad ke-19. Sayangnya hingga pertengahan abad ke-19, upaya itu tidak berkelanjutan Islamisasi di Kesultanan Jailolo karena Jailolo saat itu merupakan Kerajaan yang memperoleh pengaruh dari Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore bahkan beberapa sumber menjelaskan bahwa Raja Jailolo merupakan keturunan dari Kerajaan Ternate dan Tidore.
Dalam sumber dikatakan bahwa Perang Jailolo yang mana saat itu Kerajaan Jailolo ditaklukkan oleh Kerajaan Ternate sehingga Kerajaan Jailolo posisinya merupakan Kerajaan taklukan Kerajaan Terajaan Ternate. Pada masa Pemerintahan Sultan Khairun (1540-1570) di Ternate, Kesultanan Jailolo pada saat itu dipimpin oleh Sultan Katara Bumi yang berkedudukan di Jailolo utara. Tercatat dalam sejarah bahwa Sultan Katara Bumi bersama Kesultanan Tidore berkuasa di masa laksamana Spanyol, Villalobos (1542) menyerang portugis di ternate yang akhirnya berlanjut menjadi perang Jailolo. Namun akibat dominasi pengaruh Portugis di Kesultanan Ternate pada masa itu sangat kuat dan adanya dukungan kekuatan Spanyol pada Kesultanan Tidore maka Kesultanan Ternate Berhasil menaklukkan Kesultanan Jailolo pada masa perang jailolo, perang Jailolo tercatat dalam sejarah bertepatan dengan masa Misionaris Jesuit yang terkenal di Maluku, yaitu Fransiskus Xaverius. Pasca penaklukan Kesultanan Jailolo oleh Kesultanan Ternate, Portugis dan Spanyol pada akhirnya telah menempatkan Kerajaan Jailolo di bawah Kekuasaan Kesultanan Ternate.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Ramailnya perniagaan orang Arab dan Iran menuju Maluku untuk mencari Cengkeh, menyebabkan daerah ini menjadi sangat ramai dikunjungi oleh para Pedagang. Dengan adanya perdagangan ini, diperkirakan bahwa Islam masuk ke Maluku dibawa oleh para pedagang. Pedagang-pedagang yang masuk ke perairan Maluku umumnya adalah pedagang Islam sambil berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam. Yang disebut Maluku di Zaman Lampau ialah gabungan dari empat buah negeri, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jilolo. Menurut catatan orang Portugis, yang mula-mula memeluk Islam diantara keempat raja tersebut adalah Raja Ternate. Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Aswati M,” Masuk Dan Berkembangnya Agama Islam Di Kerajaan Konawe”, SELAMI IPS Edisi Nomor 34 Vol.1 Tahun XVI Desember 2011 ISSN 1410-2323.
Wuri Handoko, “ISLAMISASI DAN PERKEMBANGAN KERAJAAN HOAMOAL DI SERAM BAGIAN BARAT (The Islamization and The Development of Hoamoal Kingdom of Western Seram)”, Kapata Arkeologi Vol. 10 No. 2, November 2014, 99-112.
[1] Aswati M,” Masuk Dan Berkembangnya Agama Islam Di Kerajaan Konawe”, SELAMI IPS Edisi Nomor 34 Vol.1 Tahun XVI Desember 2011 ISSN 1410-2323, hal. 95-96.
[2] Wuri Handoko, “ISLAMISASI DAN PERKEMBANGAN KERAJAAN HOAMOAL DI SERAM BAGIAN BARAT (The Islamization and The Development of Hoamoal Kingdom of Western Seram)”, Kapata Arkeologi Vol. 10 No. 2, November 2014, 99-112, hal. 100
[3] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal. 214
[4] Aswati M, op. cit., hal. 97
[5] Hamka, Op. cit., hal. 214
[6] Ibid., hal. 220
[8] Wuri Handoko, op. cit., hal. 101
[10] Hamka, op. cit., hal. 119-220
[11]Wuri Handoko, op. cit., hal. 102
[12] Hamka, op. cit., hal. 214-216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar