Selasa, 02 Juli 2019

PENAMPILAN DRAMA KOLOSAL RADEN MAT TAHIR

Sabtu, 7 April 2018, menjadi sebuah moment penting bagi program studi Ilmu Sejarah UNJA. sebuah karya lahir murni dari pemikiran Dibalmahasiswa Ilmu Sejarah. sebuah karya belum pernah ada dalam program studi tersebut. Jika berbicara mengenai karya-karya kepenulisan, artikel, jurnal, tentu sudah tak asing lagi. Sudah menjadi hal umum dalam Ilmu Sejarah, ketika sebuah kisah masa lalu disampaikan dalam bentuk tulisan secara ilmiah, karena begitulah dunia akademik menyampaikan hasil penelitiannya. Namun kali ini, sebuah karya implementasi dari kisah masa lalu yang ditampilkan dalam sebuah seni pertunjukan.
Sebuah drama kolosal dengan tema sejarah hadir sebagai hasil karya kami. Drama Raden Mat Tahir. Mungkin menjadi hal biasa bagi yang terbiasa menciptakan, tapi bagi kami yang pertama, inilah perjuangan kami dari titik NOL. Bagaimana kami belajar mengenai Sebuah drama, menjadikan Sebuah narasi sejarah menjadi scenario drama, kami juga harus belajar seni peran (ini cukup sulit karena mahasiswa sejarah termasuk mahasiswa yang tidak pandai dalam bermain peran), dan juga kami harus menyiapkan segala perlengkapan konteks “masa lalu” dengan bahan yang ada.
Banyak yang tidak menduga, ketika kami tampil dalam event “Gema Berprestasi FIB 2018” kami akan menampilkan Sebuah pertunjukan drama. Hal ini karena prodi kami bukan prodi dengan basic pertunjukan seperti prodi Sendratasik. Dan sambutan yang kami dapatkan sungguh luar biasa. Ketika musik “krinok” sebagai pembuka drama mulai diputar, “panggung” (yang notabenenya pelataran Tugu Keris Siginjai) langsung dipadati oleh penonton. Bahkan sebelum kami tampil pun, sudah banyak mata yang memperhatikan kami. Bisa dimaklumi, diantara yang lain (malam itu), kami yang paling rempong. Memakai berbagai perlengkapan drama. Apalagi membawa daun pisang. Sepanjang jalan sejak memarkir motor dan berjalan menuju tempat pertunjukan, banyak yang Tanya, (sambil tertawa) “Dek, ngapain bawa daun pisang malam minggu?” dalam hati mau nampol tapi takut dosa, akhirnya Cuma jawab pendek, “ada deh”.
Mundur ke persiapan kami. Masih terekam dengan jelas, bagaimana kami harus rapat dalam kondisi gelap-gelapan (bukan lagu ya) karena kelas kampus yang kami pakai hanya menyediakan AC tapi tanpa lampu. Namanya juga The power of kepepet, besok malam pertunjukan, tapi malam ini belum mantap persiapan, ya mau gak mau tetap lanjut meski harus bergelap ria. Sudah suasana gelap, semakin gelap dengan isi pembahasan malam itu. Sudah H-1 namun konsep belum matang. Bahkan ada nada pesimis yang mengatakan tidak siap untuk lanjut. Saat itu, ntah bagaimana aku dapat berkata,
“Jika kita menunggu semua berpartisipasi, maka selamanya kita akan menunggu. Jika kita yakin kita bisa, kita  pasti bisa. Jangan biarkan penolakan menjadi alasan Sebuah kegagalan.” Dan intinya aku bertanya, “Siap gak kita lanjutkan drama kita?” seketika semua hening. Samar-sama ada yang bersuara, “Kalau aku sih gak”, tapi lebih banyak yang diam. Akhirnya dibuat keputusan, “Usaha dulu sampai batas waktunya, jika sudah berusaha namun tetap tidak bisa, di saat itu lah kita berama-ramai akan mundur teratur”. Setelah itu, membahas plot-plot drama, lalu pulang.
Pulang hanya Sebuah kata lain dari “pindah tempat”. Setelah dari kampus, semua bergerak bergentayangan menyiapkan perlengkapan. Ada yang mencari semir rambut untuk rambut teman yang berperan menjadi orang Belanda, ada yang wara wiri mencari kayu, ada yang sibuk menyiapkan perlengkapan semacam baju dan property lainnya untuk drama. Sibuk super.
Malam itu, kami mengerjakan membuat properti seperti tembakan (pistol) dan senjata lainnya (bambu runcing dan keris) di salah satu kos teman kami. Kami biasa menyebutnya dengan “kos manjo”. Dan kebetulan pada malam itu, amper listrik di “kos Manjo” sedang terjun bebas hingga tidak terselamatkan, hal ini semakin menambah dramatis usaha kami mempersiapkan perlengkapan drama. Semua dikerjakan di teras kos dengan penerangan dari lampu teras tetangga. Teras yang dimaksud berupa pelataran tanpa alas, lantainya berupa tanah berdebu yang membuat kami tidak dapat duduk. Jika lelah berdiri, kami berjongkok atau duduk di atas motor yang parkir di samping kami.
Hidangan malam itu adalah kue lengket (tidak tau namanya) tapi enak, teh dingin sedingin sikap dia, dan air tawar hangat. Seharusnya tehnya yang hangat, tapi tidak masalah, yang penting tehnya manis semanis senyuman kamu, iya kamu.
Dapat dikatakan suasanya sangat ramai meski yang mengerkjakan tidak sampai 10 orang. Selain suara gergaji dan parang yang beradu dengan kayu, suara banyolan-bayolan yang terkadang greget dan garing menjadi bumbu pengusir lelah, hingga tidak terasa hampir tengah malam. Yang perempua bergerak pulang, sedangkan yang lai-laki tetap melanjutkan kesibukan. Aku tak tau kapan mereka selesai yang aku tau paginya mereka sudah kembali sibuk dengan kayu dan bambu.
Satu hal yang aku salutkan dari mereka yang bekerja tanpa mengenal lelah ini. Tak ada sepeser pun yang dihasilkan dari kesibukan ini, yang ada banyak rupiah yang dikeluarkan. Tapi semangat itu membara di tengah keterbatasan yang seolah jumawa menjadi alasan setiap kegagalan.
Capek itu pasti. lelah jangan ditanya lagi, tapi semua terbayar (meski tidak lunas) dengan antusias penonton dan sambutan yang kami dapatkan. Mengenai beberapa hal yang diluar perencanaan, tak perlu dibahas karena sudah dimaklumi. Kesalahan pasti selalu ada. Penyesalan pasti akan mengikutinya. Daripada membahas sebuah kesalahan yang pada akhirnya menimbulkan rasa bersalah subjeknya, lebih baik mengapresiasi kerja keras yang dilakukan selama ini. “Bukan hasil yang membesarkan seseorang namu proses yang menguatkan seseorang dan dapat menajadi besar”, ini menurut versi ngawurku.
Terakhir, tulisan ini tidak ada maksud apa-apa selain hanya ingin mengabadikan apa yang sudah dikerjakan. Jika ini adalah awal, tentu nanti akan ada karya-karya yang lebih hebat. Dan bisa saja cerita ini akan terlupa. Jika ini adalah salah satu proses, semoga proses kecil ini membantu menguatkan tekad yang menjalaninya. Ada Sebuah hal yang tak dapat dijelaskan mengapa sebuah proses terkadang hanya dilihat dari hasilnya saja. Hasil gagal maka gagal proses itu. Tidak demikian menurutku. Dan kali ini, kutuliskan prosesnya meski tidak tuntas dari awal.
Terucap terimakasih, maaciw, matur tengkyu, tengs (apapaun versi terimakasihnya) untuk semua yang terlibat. Sahabatku Dama dan Jessika, adik tingkatku Agustin dan Emilia, Ketua yang sepertinya tak mengenal lelah, Syahrudi. Wakil Ketua yang strong, Wahyu. Pemeran Raden Mat Tahir yang selalu serius latihan, Ilfiat. Pemilik kos manjo, Rudi Antono. Teman-teman yang ikuti berjuang, Ilham, Alam, Suhaibe berikut juga adik-adik tingkat yang lain, Jeprizal, Erik, dan Elza. Si pemeran Residen Belanda, Yoanda. Dan untuk pembaca puisi, Suparmi. Tak lupa, terimakasih untuk yang sudah terlibat meminjamkan barang-barangnya untuk kebutuhan drama ini.

Kota Jambi, 04 Oktober 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....