Selasa, 02 Juli 2019

PERJUANGAN KARTINI BELUM SELESAI



Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
……
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Siapa yang tidak mengenali lirik lagu di atas. Lagu yang diciptakan WR. Soepratman ini menceritakan tentang sesosok perempuan hebat yang pernah dimiliki Indonesia ketika pada saat itu perempuan dipandang sebelah mata. Kartini, sebuah nama pejuang perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan pribumi agar mendapatkan pendidikan layak seperti laki-laki pada saat itu. Kartini lahir pada 21 April 1879, ketika Indonesia masih dibawah pendudukan kolonialisme Belanda.

Kartini merupakan pejuang perempuan di Indonesia yang mempunyai perhatian besar terhadap pendidikan bagi kaumnya, perempuan pribumi. Ketika Kartini muda, merupakan sebuah masa dengan model pendidikan yang deskriminatif ciptaan kolonialisme. Pendidikan hanya diperuntukkan kepada anak-anak Belanda dan anak-anak bangsawan pribumi, khususnya untuk mereka para lelaki.
Perempuan pribumi pada saat itu, terutama di Jawa, masih menjadi korban dari sistem feodalisme yang begitu kental. Budaya Jawa tempat Kartini tinggal ikut pula mendeskriminasi sistem pendidikan untuk kaum perempuan pribumi. Seorang Kartini, yang notabenenya adalah anak dari Bangsawan Jawa hanya bisa mendapatkan pendidikan hingga usia 12 tahun, dengan alasan dia adalah perempuan dan mulai memasuki masa pingitan.
Dibalik penjara budaya tidak ikut memenjarakan pemikiran seorang kartini untuk memikirkan nasib wanita bangsanya. Melalui pemikiran yang dituangkannya melalui rangkaian kata dalam surat, dia aktif berkirim surat dengan sahabatnya di Eropa, salah satunya kepada Nyonya Rosa Abendanon, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Melalui suratnya, Kartini menceritakan gagasannya mengenai perempuan pribumi.
Perempuan pada zaman Kartini dulu tentu berbeda dengan perempuan sekarang. Namun keadaan perempuan saat ini tidak dapat dilepaskan dari buah pemikiran seorang Kartini. Wanita sekarang bisa bebas bersekolah tinggi, bebas mengutarakan pendapat, dan bebas memilih profesi. Beragam profesi mulai diisi oleh peran perempuan. Universitas-universitas pun telah banyak meluluskan perempuan baik dalam gelar sarjana, magister, bahkan doctor. Tak jarang pulang, perempuan Indonesia ikut dalam kancah international.
Di era yang semakin modern dengan kebebasan berekpresi dan memilih profesi bagi perempuan sangat sayang jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Namun, keinginan kartini mengenai pendidikan belum tuntas sampai sekarang. Meski pendidikan telah dapat dirasakan oleh semua orang, namun tidak semua orang berkeinginan melanjutkan perjuangan Kartini. Berapa banyak harus disebutkan kasus perempuan putus sekolah dikarenakan pergaulan yang salah. Berapa banyak perempuan yang batal melanjutkan sekolah dengan alasan menikah. Dalam bebrapa kasus, keadaan ekonomi ikut pula menjadi alasan orang tua hanya memprioritaskan pendidikan untuk anak laki-laki, sedangkan anak perempuan mengurus rumah tangga.
Perjuangan Kartini belum selesai. Meski pendidikan telah dapat dirasakan oleh seluruh perempuan Indonesia, namun deskriminasi terhadap perempuan masih ada meski tak kentara. Secara kasat mata, permasalahan emansipasi telah usai. Seluruh perempuan dapat berkiprah sesuai dengan kemampuannya. Namun dibalik emansipasi yang digaungkan masih terdapat deskriminasi-deskriminasi terhadap perempuan yang sering tak terlihat. Sebentuk deskriminasi yang tak disadari atau bahkan dianggap biasa.
Dalam buku Gerakan Perlawan buruh, Munir menjelaskan bagaimana deskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan terkait upah dalam sebuah industri. Seorang buruh perempuan sering digaji dibawah gaji laki-laki dengan alasan kemampuan perempuan di bawah laki-laki. Tidak bisa disangsikan bahwa dewasa ini masih terjadi hal yang demikian. Bentuk deskriminasi lain yang sering tak disadari adalah terkait pemilihan suatu kepala/ketua organisasi/lembaga. Meski tidak selalu terjadi namun deskriminasi ini ada. Penulis contohkan dalam Sebuah rapat untuk membentuk suatu kepanitian. Sering sekali anggota rapat mengusulkan nama-nama bakal calon ketua adalah laki-laki, dengan alasan laki-laki adalah pemimpin perempuan. Perempuan kerap dipandang tidak bisa mengambil keputusan atau membuat kebijakan sebaik kaum laki-laki. Bukankah ini bentuk deskriminasi yang tak disadari. Jika memang emansipasi berarti kesetaran antara perempuan dan laki-laki, tentu seorang perempuan seharusnya diberikan hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Sekali lagi penulis jelaskan bahwa hal seperti ini tidak selalu terjadi, karena banyak juga ditemukan pemimpin perempuan. Budaya patriaki ikut pula memberikan sumbangan deskriminasi tak kentara terhadap perempuan. Seorang laki-laki yang selalu dianggap pemimpin bagi perempuan sering disalahgunakan sebagai bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang laki-laki. Hasil akhirnya muncullah kekerasan dalam rumah tangga.
Ternyata perjuangan Kartini ternyata belum selesai. Dan inilah tugas Kartini masa kini untuk melanjutkan. Meski seorang perempuan notabenenya akan berkiprah di lingkup urusan rumah tangga, namun perempuan harus dapat menunjukkan kemampuannya dalam bersaing di dunia luar. Kartini masa kini harus lebih lihai dalam melihat emansipasi. Emansipasi tidak selalu segalanya harus setara. Namun ada bentuk-bentuk kesetaraan tanpa meninggalkan kodrat sebagai perempuan. Kartini masa kini harus lebih pandai dalam membawa diri. Agar tidak terbawa arus emansipasi yang disalahartikan atau terdampar dalam deskriminasi yang tidak disadari.

Mendalo, 20 April 2018


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....