Jumat, 05 Juli 2019

RESENSI BUKU “MENGGUGAT HISTORIOGRAFI INDONESIA”


Karya Bambang Purwanto & Asvi Warman Adam

Buku berjudul “Menggugat Historiografi Indonesia” merupakan kumpulan tulisan antara dua oang sejarawan Indonesia yang sebagian pendapatnya bertentangan dan sebagian lagi saling mendukung. Kedua sejarawan yang pandangannya dimuat dalam buku ini adalah Bambang Purwanto dan Asvi Warman Adam. Buku ini menyajikan sejarah historiografi di Indonesia dengan disertai polemik-polemik yang pernah menjadi perbincangan dan perdebatan. Secara umum, buku ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Namun, istilah-istilah sejarah dapat mempersulit pembaca, apabila pembaca kurang mengerti mengenai sejarah. Kemudian, kata “menggugat” dalam judul buku ini, yaitu “Menggugat Historiografi Indonesia” dapat menarik minat pembaca.

Dari segi isi, buku ini berisi tentang perkembangan hiostoriografi di Indonesia disertai dengan polemik-polemik yang melekat di dalamnya. Dengan penyajian dari berbagai sudut pandang dapat menjadi kelebihan dari buku ini. Karena, buku ini tidak memihak salah satu pihak. Historiografi yang erat kaitannya dengan polemik-polemik yang sempat menjadi perbincangan juga disajikan. Tentunya dilengkapi dengan argumen-argumen yang logis dan rasional. Buku ini juga memunculkan beberapa tokoh yang terlibat dalam sejarah historiografi di Indonesia diwarnai dengan polemik-polemik pula. Kehadiran tokoh-tokoh serta polemik-polemik itu menarik, namun apabila terlalu banyak disajikan justru akan membuat bingung pembaca yang memiliki wawasan sejarah yang kurang. Buku ini akan lebih menarik lagi apabila pengarang tidak terlalu banyak menghadirkan tokoh-tokoh beserta polemik-polemiknya.
Dalam Menggugat Historiografi Indonesia, Bambang Purwanto beberapa kali menyebut nama Asvi Warman Adam dan mengritisi penggunaan kata ‘pelurusan’ yang disandingkan dengan kata ‘sejarah’. Bagi Bambang Purwanto, frasa ‘pelurusan sejarah’ dalam karya Asvi Warman Adam tidak begitu tepat sebab meletakkan sejarah hanya sebagai tulisan dan bukan sebagai peristiwa yang memiliki kesucian berupa kebenaran objektif yang bahkan sejarawan sendiri pun hampir tak dapat mencapai kedalamannya, hal yang disebabkan oleh kesadaran bahwa penulisan sejarah juga sedikit mengandung sudut pandang dan subjektifitas sejarawan itu sendiri. Selain itu, penggunaan istilah ‘pelurusan sejarah’ cenderung menjustifikasi bahwa inilah kebenaran final dari sebuah peristiwa masa lampau. Pandangan Bambang Purwanto itu kemudian dijawab oleh Asvi “... bahwa istilah pelurusan sejarah itu paling tidak berguna bagi korban. Setelah mengalami penderitaan dan stigmatisasi selama puluhan tahun, istilah pelurusan sejarah menjadi semacam upaya healing (pengobatan) bagi batin mereka. kalau pemerintah tidak bisa merehabilitasi mereka apalagi memberikan kompensasi terhadap para korban, minimal dengan pelurusan sejarah, nama baik mereka tidak lagi tercemar” (halaman 53).
Pandangan Asvi itu dianggap oleh Bambang Purwanto sebagai karya yang “... terlibat secara emosional terhadap para korban, sehingga historiografi yang dihasilkan bergerak dari historiografi kritis ke historiografi simpati, dan kemudian ke historiografi empati (halaman 18).” Dan Asvi mengatakan, “boleh saja historiografi semacam ini dianggap sebagai historiografi simpati atau empati tetapi yang jelas ada keinginan untuk melihat peristiwa masa lampau itu dari perspektif korban (halaman 53).”
Selain perbedaan pandangan di dalam tulisan yang terdapat di buku ini, baik Bambang Purwanto maupun Asvi Warman Adam sama-sama mengritisi banyak hal mengenai perkembangan historiografi di Indonesia. salah satu yang paling berkesan adalah oleh Bambang Purwanto yang mengatakan bahwa kemunduran historiografi Indonesia disebabkan oleh sebelas perihal, dan dari seluruhnya ada tiga hal yang patut direnungkan dalam-dalam, yaitu: tidak ada perubahan yang mendasar pada kurikulum, materi yang diajarkan, dan metode pembelajaran dalam pendidikan untuk sejarawan di perguruan tinggi, selalu munculnya pesimisme yang berlebihan di dalam diri setiap mahasiswa yang mempelajari sejarah terhadap masa depan diri mereka, dan masih kuatnya anggapan masyarakat secara umum bahwa sejarah tidak memiliki relevansi bagi kepentingan hidup di masa kini dan masa depan.
Dari tiga masalah utama di atas, yang disebutkan pertama dan kedua merupakan masalah yang menimpa kehidupan mahasiswa sejarah sehari-hari, Metode pembelajaran yang membosankan dan sangat sulit menerima inovasi belajar dari mahasiswa, atau tenaga pengajar yang belum berkesampatan meng-update ilmunya yang boleh jadi sudah tidak berlaku lagi sebab telah ditemukannya fakta-fakta baru. Sedangkan yang terakhir disebut merupakan permasalahan yang sifatnya universal. Masyarakat luas selalu memandang sejarah sebagai persoalan yang tidak penting untuk dibicarakan, atau sebagai sesuatu yang sangat mudah untuk dipelajari.
Di bagian pengantar, penulis menuliskan bahwa persoalan yang dibahas dalam buku ini adalah tentang perubahan yang berkesinambungan tentang orang besar dan orang kecil. Tentang apa yang diingat dan dlupakan dalam pendidikan dan wacana public. Pendek kata, tentang relevans sejarah bagi kehidupan berbangsa. Penuls juga berharap bahwa dengan penerbitan buku yang berjudul “Menggugat Histriografi Indonesia” ini mampu membuka tradisi lain di kalangan ilmuwan Indonesia umumnya dan sejarawan Indonesia khususnya untuk saling berkomunikasi  secara damai walaupun terdapat pendapat yang berbeda diantara mereka. Selain itu, kata menggugat yang kebetulan dijadikan judul buku ini tidak perlu ditakuti karena kata tersebut hanya sebuah pernyataan yang bertujuan untuk mencapai sesuatu yang lebh baik secara bersama-sama di masa depan.




Sekilas tentang penulis
Bambang Purwanto
             Bambang Purwanto merupakan dosen pada Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 1985. Sejak 1994, beliau menjadi pengelola Program Studi Sejarah Program Pascasarjana UGM. Bambang Purwanto menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Sejarah UGM pada tahun 1984, kemudan pada 1989 berhasil menyelesaikan M.A di Unversity of London, UK. Pada lembaga yang sama kemudian menyelesaikan Ph.D pada tahun 1992. Selain aktif di PAU UGM, ia juga Kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) sejak tahun 2001 – 2005.

Asvi Warman Adam
Asvi Warman Adam lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 8 Oktober 1954, merupakan salah seorang peneliti utama LIPI dan ahli sejarah Indonesia. Saat ini Asvi bergelut dalam pelurusan sejarah Indonesia, yang banyak diputarbalikkan oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru. Asvi merupakan seorang sarjana Sastra Prancis lulusan Universitas Indonesia, setelah sebelumnya menamatkan gelar sarjana muda pada bidang yang sama di Universitas Gadjah Mada. Tahun 1984, dia belajar di EHESS (École des Hautes Études en Sciences Sociales) Paris, hingga meraih gelar doktor pada tahun 1990. EHESS Parsis merupakan sekolah tinggi di Prancis yang sangat terkemuka di bidang sejarah. Di EHESS berkumpul para professor yang menganut aliran Nouvelle Histoire (New History) yang bias juga disebut sejarah total.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....