Karya Bambang
Purwanto & Asvi Warman Adam
Buku berjudul “Menggugat
Historiografi Indonesia” merupakan kumpulan tulisan antara dua oang
sejarawan Indonesia yang sebagian pendapatnya bertentangan dan sebagian lagi
saling mendukung. Kedua sejarawan yang pandangannya dimuat
dalam buku ini adalah Bambang Purwanto dan Asvi Warman Adam. Buku ini menyajikan sejarah
historiografi di Indonesia dengan disertai polemik-polemik yang pernah menjadi
perbincangan dan perdebatan. Secara umum, buku ini menggunakan bahasa yang
mudah dipahami. Namun, istilah-istilah sejarah dapat mempersulit pembaca,
apabila pembaca kurang mengerti mengenai sejarah. Kemudian, kata “menggugat”
dalam judul buku ini, yaitu “Menggugat Historiografi Indonesia” dapat menarik
minat pembaca.
Dari segi isi, buku ini berisi tentang perkembangan
hiostoriografi di Indonesia disertai dengan polemik-polemik yang melekat di
dalamnya. Dengan penyajian dari berbagai sudut pandang dapat menjadi kelebihan
dari buku ini. Karena, buku ini tidak memihak salah satu pihak. Historiografi
yang erat kaitannya dengan polemik-polemik yang sempat menjadi perbincangan
juga disajikan. Tentunya dilengkapi dengan argumen-argumen yang logis dan
rasional. Buku ini juga memunculkan beberapa tokoh yang terlibat dalam sejarah
historiografi di Indonesia diwarnai dengan polemik-polemik pula. Kehadiran
tokoh-tokoh serta polemik-polemik itu menarik, namun apabila terlalu banyak
disajikan justru akan membuat bingung pembaca yang memiliki wawasan sejarah
yang kurang. Buku ini akan lebih menarik lagi apabila pengarang tidak terlalu
banyak menghadirkan tokoh-tokoh beserta polemik-polemiknya.
Dalam Menggugat Historiografi Indonesia,
Bambang Purwanto beberapa kali menyebut nama Asvi Warman Adam dan mengritisi
penggunaan kata ‘pelurusan’ yang disandingkan dengan kata ‘sejarah’. Bagi
Bambang Purwanto, frasa ‘pelurusan sejarah’ dalam karya Asvi Warman Adam tidak
begitu tepat sebab meletakkan sejarah hanya sebagai tulisan dan bukan sebagai
peristiwa yang memiliki kesucian berupa kebenaran objektif yang bahkan
sejarawan sendiri pun hampir tak dapat mencapai kedalamannya, hal yang
disebabkan oleh kesadaran bahwa penulisan sejarah juga sedikit mengandung sudut
pandang dan subjektifitas sejarawan itu sendiri. Selain itu, penggunaan istilah
‘pelurusan sejarah’ cenderung menjustifikasi bahwa inilah kebenaran final dari
sebuah peristiwa masa lampau. Pandangan Bambang Purwanto itu kemudian dijawab
oleh Asvi “... bahwa istilah pelurusan sejarah itu paling tidak berguna
bagi korban. Setelah mengalami penderitaan dan stigmatisasi selama puluhan
tahun, istilah pelurusan sejarah menjadi semacam upaya healing (pengobatan)
bagi batin mereka. kalau pemerintah tidak bisa merehabilitasi mereka apalagi
memberikan kompensasi terhadap para korban, minimal dengan pelurusan sejarah,
nama baik mereka tidak lagi tercemar” (halaman 53).
Pandangan Asvi itu dianggap oleh Bambang
Purwanto sebagai karya yang “... terlibat secara emosional terhadap para
korban, sehingga historiografi yang dihasilkan bergerak dari historiografi
kritis ke historiografi simpati, dan kemudian ke historiografi empati
(halaman 18).” Dan Asvi mengatakan, “boleh saja historiografi semacam ini
dianggap sebagai historiografi simpati atau empati tetapi yang jelas ada
keinginan untuk melihat peristiwa masa lampau itu dari perspektif korban
(halaman 53).”
Selain perbedaan pandangan di dalam tulisan
yang terdapat di buku ini, baik Bambang Purwanto maupun Asvi Warman Adam
sama-sama mengritisi banyak hal mengenai perkembangan historiografi di
Indonesia. salah satu yang paling berkesan adalah oleh Bambang Purwanto yang
mengatakan bahwa kemunduran historiografi Indonesia disebabkan oleh sebelas
perihal, dan dari seluruhnya ada tiga hal yang patut direnungkan dalam-dalam,
yaitu: tidak ada perubahan yang mendasar pada kurikulum, materi yang diajarkan,
dan metode pembelajaran dalam pendidikan untuk sejarawan di perguruan tinggi,
selalu munculnya pesimisme yang berlebihan di dalam diri setiap mahasiswa yang
mempelajari sejarah terhadap masa depan diri mereka, dan masih kuatnya anggapan
masyarakat secara umum bahwa sejarah tidak memiliki relevansi bagi kepentingan
hidup di masa kini dan masa depan.
Dari tiga masalah utama di atas, yang disebutkan
pertama dan kedua merupakan masalah yang menimpa kehidupan mahasiswa sejarah
sehari-hari, Metode pembelajaran yang membosankan dan sangat sulit menerima
inovasi belajar dari mahasiswa, atau tenaga pengajar yang belum berkesampatan
meng-update ilmunya yang boleh jadi sudah tidak berlaku lagi sebab telah
ditemukannya fakta-fakta baru. Sedangkan yang terakhir disebut merupakan
permasalahan yang sifatnya universal. Masyarakat luas selalu memandang sejarah
sebagai persoalan yang tidak penting untuk dibicarakan, atau sebagai sesuatu
yang sangat mudah untuk dipelajari.
Di bagian pengantar, penulis menuliskan
bahwa persoalan yang dibahas dalam buku ini adalah tentang perubahan yang
berkesinambungan tentang orang besar dan orang kecil. Tentang apa yang diingat
dan dlupakan dalam pendidikan dan wacana public. Pendek kata, tentang relevans
sejarah bagi kehidupan berbangsa. Penuls juga berharap bahwa dengan penerbitan
buku yang berjudul “Menggugat Histriografi Indonesia” ini mampu membuka tradisi
lain di kalangan ilmuwan Indonesia umumnya dan sejarawan Indonesia khususnya
untuk saling berkomunikasi secara damai
walaupun terdapat pendapat yang berbeda diantara mereka. Selain itu, kata
menggugat yang kebetulan dijadikan judul buku ini tidak perlu ditakuti karena
kata tersebut hanya sebuah pernyataan yang bertujuan untuk mencapai sesuatu
yang lebh baik secara bersama-sama di masa depan.
Sekilas tentang
penulis
Bambang Purwanto
Bambang Purwanto merupakan dosen pada Jurusan
Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sejak tahun 1985. Sejak 1994, beliau
menjadi pengelola Program Studi Sejarah Program Pascasarjana UGM. Bambang
Purwanto menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Sejarah UGM pada tahun 1984,
kemudan pada 1989 berhasil menyelesaikan M.A di Unversity of London, UK. Pada
lembaga yang sama kemudian menyelesaikan Ph.D pada tahun 1992. Selain aktif di
PAU UGM, ia juga Kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) sejak tahun
2001 – 2005.
Asvi Warman Adam
Asvi Warman Adam lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, 8 Oktober
1954,
merupakan salah seorang peneliti utama LIPI
dan ahli sejarah Indonesia. Saat ini Asvi bergelut dalam pelurusan
sejarah Indonesia, yang banyak diputarbalikkan oleh rezim Orde Lama
dan Orde Baru.
Asvi merupakan seorang sarjana Sastra Prancis lulusan Universitas Indonesia, setelah
sebelumnya menamatkan gelar sarjana muda pada bidang yang sama di Universitas Gadjah Mada. Tahun 1984,
dia belajar di EHESS (École des Hautes Études en Sciences Sociales)
Paris, hingga meraih gelar doktor pada tahun 1990. EHESS Parsis merupakan
sekolah tinggi di Prancis yang sangat terkemuka di bidang sejarah. Di EHESS
berkumpul para professor yang menganut aliran Nouvelle Histoire (New History) yang bias juga disebut sejarah
total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar