Selasa, 02 Juli 2019

SEMUA CINTA INDONESIA MESKI TAK UPACARA

Masih banyak yang tidak merayakan upacara kemerdekaan RI. Bahkan masih banyak yang belum merasakan kemerdekaan RI tersebut. Perayaan besar peringatan RI di Istana Merdeka hanya diikuti oleh pejabat Negara yang memiliki kedudukan. Peringatan kemerdekaan di daerah juga diikuti oleh mereka yang berkaitan. Masih banyak rakyat Indonesia yang melewati tgl 17 dengan rutinitas biasa. Bahkan mungkin banyak pula yang lupa bahwa hari itu adalah tgl 17, tgl kemerdekaan RI. Bukan mereka tak menghargai proklamasi kemerdekaan. Bukan pula mereka melupakan sejarah bangsanya. Alasan mereka hanya satu, apalah arti perayaan Negara merdeka jika pada hakikatnya mereka sendiri belum merdeka.


Di tengah hiruk-pikuk perayaan kemerdekaan, masih banyak orang diluar sana yang memeras keringat membanting tulang tanpa ikut andil dalam perayaan. Mereka masih seperti biasa, mendorong gerobak, memungut apa saja yang dapat dijual, mengerjakan lahan dan tanah meski tau bahwa upah tak seberapa. Pilihan mereka bukan merdeka atau mati tapi bekerja atau mati. Tidak bekerja maka tidak akan ada makanan di meja.

Kemerdekaan. Sejak SD aku diajarkan untuk menghargai para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Sejak mengenal mata pelajaran sejarah aku sudah belajar bagaimana sulitnya perjuangan bangsa Indonesia melepaskan diri dari penjajahan. 

Selama lebih seabad yang merupakan masa berat bagi Indonesia. Perjuangan, pertumpahan darah, diplomasi, huru-hara, semua terjadi ditahan air tercinta kita. Tak terhitung berapa banyak nyawa dan harta yang ikut tersembahkan. Bahkan, setelah Indonesia membacakan teks proklamasipun, pertumpahan darah belum berakhir. Belanda yang sempat pergi karena kehadiran Jepang, kembali datang dengan kerakusannya untuk menguasai kembali Indonesia. Jepang juga tidak lebih baik dibandingkan Belanda. Jika terandaikan airmata yang jatuh dimasukkan ke bejana, aku tak tau akan ada berapa ribu bejana yang dibutuhkan. Apakah mungkin kita bisa melupakan hal ini?

Lalu, kepada siapa pantasnya kusulut amarah ketika di hari peringatan kemerdekaan, masih banyak yang apatis, lupa, dan tak peduli. Jawabannya kepada diriku sendiri. Mengapa? Karena aku sebagai manusia yang mengaku warga Negara Indonesia, cinta tanah air Indonesia, namun belum memberikan apa-apa kepada Indonesia. Katanya cinta? Buktinya apa? Ikut dalam perayaan kemerdekaan, hormat bendera di depan sang saka merah-putih, atau menjadi panitia 17 agustusan? Sedangkan kita tau, di sekitar kita masih banyak manusia yang belum benar-benar merdeka.

Perjuangan belum berakhir. Bahkan tidak ada kata akhir untuk Sebuah perjuangan. Berjuanglah berdasarkan bidangmu. Tak apa kau tak ikut upacara perayaan bendera karena harus bekerja. Mungkin terkesan egois, namun dapur juga menunggu untuk diasapi.

Untuk kita (agar kau dan aku tak memiliki perbedaan) yang saat ini mungkin tak bisa hadir di lapangan upacara, untuk kita yang saat ini mungkin akan dikatakan tidak memiliki nasionalisme karena tidak ikut upacara, atau bahkan kita yang saat ini diragukan cintanya terhadap tanah air sendri, tersenyumlah. Kenapa harus kau risaukan ucapan orang, mereka tidak pula ikut andil dalam kemerdekaanmu. Cinta itu tak terlihat tapi ada. Begitu pula dengan cintamu untuk Indonesia. Mungkin semua orang tak ada yang melihatnya. Namun teruslah berusaha dan bekerja. Biarkan yang merayakan adalah orang yang seharusnya berada di sana.

Untuk kita yang tak memiliki undangan duduk di bawah tenda atau sekedar tegak berdiri hormat bendera, kita sibukkan dengan perayaan lain menurut versi kita. Kerja kita prestasi bangsa. Kita berjuang dan merayakan Indonesia merdeka berdasarkan versi terbaik kita untuk tanah air tercinta.
Dirgahayu Indonesiaku. Kami semua mencintaimu (meski tidak ikut upacara bendera).

Jakarta, 17 Agustus 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....