Selasa, 02 Juli 2019

SISI LAIN KOTAGEDE, YOGYAKARTA

REVIEW
Kekerasan dan Kriminalitas di Kota pada Saat Transisi: Kotagede, Yogyakarta pada Akhir Masa Kolonial  dan Awal Kemerdekaan[1]
Bambang Purwanto
Tulisan Bambang Purwanto ini menjelaskan sisi gelap dari masa lalu masyarakat Yogyakarta dalam rangka mengkonstruksi sejarah yang lebih manusiawiDibalik mitos imej Yogyakarta adalah sebuah kota yang tenang, damai, dan tenteram dan dianggap jauh dari pergolakan, kekerasan, dan diskriminasi, ternyata menyimpan bukti yang menunjukkan bahwa terdapat kekerasan dan ketidakteraturan, yang bahkan pada waktu tertentu dapat disebut sangat ekstrim. Bahkan salah satu ciri penting dalam setiap masa kampanye pemilihan umum di kota Yogyakarta pada masa Orde Baru adalah membawa senjata tajam yang tidak seharusnya terjadi jika masyarakatnya tidak menyimpan nilai-nilai kekerasan dan tidak ingin mewujudkan kekerasan. Contoh lain daftar kekerasan dalam sejarah masyarakat kota Yogyakarta antara lain sentimen anti pendatang sabrang tahun 1970-an yang tidak hanya melibatkan tukang becak melainkan juga penduduk lokal, perkelahian rutin antar kampung yang mengakibatkan banyak korban pada tahun 1980-an, penembakan terhadap para gali yang dimulai di Yogyakarta pada tahun 1980-an, dan kekerasan antar geng para ABG tahun 1990-an.
Secara khusus tulisan ini akan membahas kekerasan dan kriminalitas yang pernah terjadi di Kotagede, sebuah kota satelit beberapa kilometer di sebelah tenggara pusat kota Yogyakarta. Sehubungan dengan permintaan terhadap produk tekstil dan kerajinan, seperti permata dan barang-barang terbuat dari emas dan perak meningkat tajam pada awal abad ke-20, maka para saudagar dan pemilik perusahaan kerajinan mulai mengambil alih kedudukan sosial dan ekonomi para abdi dalem. Kota ini juga ikut mengalami resesi ekonomi tahun 1930 yang ikut menyebabkan penduduk Kotagede di beberapa tempat mulai kehilangan solidaritas sosial mereka, kesabaran, dan tidak terkontrol akibat adanya kesulitan ekonomi. Akibatnya, mereka cenderung menjadi brutal dan menunjukkan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional mereka. Dijelaskan bahwa cukup banyak orang yang dipukul dengan kejam dan bahkan dibunuh karena dicurigai atau dituduh mencuri makanan, pakaian dan termasuk barang-barang yang sangat tidak berharga. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi tindak kriminal dan kekerasan dibalik imej Yogyakarta yang dama (sekarang).



[1] Makalah disampaikan pada seminar “Kota-kota di Indonesia dalam Perubahan” yang diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya 22-25 Agustus 2004. Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas IlmuBudya UGM. Komentar dan pertanyaan lebih lanjut tentang makalah ini dapat dialamatkan pada b.purwanto@mailcity.com dan purwanto349@yahoo.co.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....