Selasa, 02 Juli 2019

TRADISI BAHARI INDONESIA



Tradisi bahari merupakan mereka yang menggunakan laut sebagai sarana komunikasi dan migrasi dari dataran Asia ke Kepulauan Indonesia. Sepanjang hidupnya mereka juga bergantung pada laut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah tiba di kepulauan Nusantara, mereka mengembangkan tradisi perundagian. Diperkirakan bahwa tradisi perundagian di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh tradisi yang sama dan telah lebih dahulu berkembang di dataran Asia sejak 3000 tahun SM (Kebudayaan Dongso).

Sejak awal abad Masehi dan menjelang akhir zaman pra aksara, lalu lintas antar daratan Asia dan Kepulauan Indonesia menjadi ramai. Bangsa-bangsa tersebut kemudian ada yang menetap dan barcampur dengan penduduk setempat dan ada pula yang berlangsung sejak 2000 tahun SM menjadi salah satu corak budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa pelaut.
Untuk menentukan arah pelayaran, mereka menggunakan pengetahuan perbintangan. Mereka belum mengenal kompas. Satu-satunya petunjuk arah yang memudahkan mereka berlayar ialah pengetahuan tenteng arah angin dan posisi bintang. Dengan demikian, pengetahuan astronomi harus dimiliki agar dapat berlayar sesuai dengan arah yang dituju. Diperkirakan, bangsa Indonesia sejak zaman pra aksara telah memilki pengetahuan astronomi terutama untuk hal-hal yang praktis dalam pelayaran. Pengetahuan ini juga penting dalam memprediksi musim untuk menentukan waktu terbaik menanam padi di sawah.
Masyarakat pra-aksara Indonesia juga telah mengenal perdagangan. Barang yang terutama diperlukan (barter) yaitu hasil logam dan kerajinan dari batu. Beberapa hasil kerajinan seperti kapak persegi di temukan di tempat yang memiliki sumber batu. Begitu juga barang-barang yang tersebut dari logam banyak ditemukan di daerah yang memiliki sumber logam. Di perkirakan brang-brang yang tersebut dibuat dalam system industri (tempat pembuatan khusus) di lokasi tertentu. Dugaan yang paling mungkin bahwa para pelayar tersebut juga membawa barang yang bias ditukar dengan barang lain dalam kegiatan dagang.
Premis Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis (2006) tentang nenek moyang Bugis sebagai seorang petani, telah memberi perspektif baru sekaligus meruntuhkan kuatnya keyakinan yang mengakar dalam orang Bugis, bahwa nenek moyang mereka adalah seorang pelaut ulung. Pelaut ulung yang diasosiasikan dengan Pasompe, yang secara terminologi berarti orang yang melakukan pelayaran, sedangkan kesimpulan umum diartikan sebagai saudagar laut. Menurut Pelras, tradisi pelaut orang-orang Bugis tidak lebih dari sekadar refleksi dari tuntutan survival hidup. Orang Bugis melakukan pelayaran bukan untuk berdagang, akan tetapi untuk mencari lahan pertanian baru dan kemudian mendirikan perkampungan. Hal ini dikaitkan dengan kecenderungan adanya kelompok-kelompok Bugis dalam jumlah yang relatif besar dan mengikatkan diri dalam sebuah kelompok perkampungan, yang dijumpai di beberapa tempat di antaranya; kepulauan Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan Malaysia dan Singapura.
Kejayaan tradisi bahari Bugis-Makassar dalam tinjauan historis tidak terlepas dari upaya hegemonik dan sangat rentan dengan dimensi politik. Kerajaan yang mampu menguasai laut, akan tampil sebagai penguasa dan pemegang kendali perekonomian. Kerajaan Gowa dan Bone yang pernah berjaya pada sekitar abad XV – XVI merupakan representasi kerajaan Sulawesi Selatan yang berorientasi pada tradisi kemaritiman, dengan mengoptimalkan fungsi pelabuhan laut sebagai sarana transportasi, sentra perdagangan, sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Tradisi bahari dalam masyarakat Bugis-Makassar telah berlangsung sejak jaman kerajaan. Bahkan dalam naskah kuno La Galigo, disebutkan bahwa tradisi bahari telah dimulai jauh sebelumnya. Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan peradaban, serta berubahnya orientasi pemegang otoritas negara, menyebabkan tradisi bahari menjadi semacam cerita kuno yang tidak lagi mampu teraktualkan dalam konteks kekinian.
Kejayaan tradisi bahari yang pernah tercipta pada jaman kerajaan hingga jaman Hindia Belanda, menjadi oase di tengah keterpurukan kondisi perekonomian masyarakat pesisir/nelayan. Masyarakat nelayan hanya menjadi buruh yang setiap hari dituntut memperoleh hasil tangkapan ikan tanpa berhak menentukan (nilai) pasar untuk komoditi hasil keringat mereka sendiri. Mereka tidak dapat menentukan harga, termasuk apabila mereka mendapatkan hasil yang melimpah. Hal lain yang cukup signifikan adalah berkurangnya daya saing alat produksi serta mulai menipisnya sumber daya alam.
Rapuhnya tradisi bahari juga ditandai dengan kurangnya perhatian negara terhadap batas-batas teritori laut dan pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Kasus Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional, serta kasus Blok Ambalat yang hingga sekarang masih menjadi sengketa, memberi warning kepada kita, bahwa ancaman terhadap integritas negara telah menjadi nyata, akibat kelalaian kita dalam memelihara dan menjaga aset dan kekayaan negeri kepulauan yang bernama Indonesia.
Banyak pendapat skeptis bahwa jiwa pelaut Sulawesi Selatan sudah pudar atau mati, bahkan nelayan yang handal tidak pernah ada, yang ada hanya Pasompe atau yang akrab dikenal sebagai saudagar laut. Mukhlis dalam “Upaya Memahami Kebudayaan Maritim” (1994) menguraikan bahwa sebelum tahun 1500 telah berdiri tiga dinasti pemerintahan yang berbasis maritim, yaitu Luwu, Tompotikka dan Weweng Riu. Namun, dalam perkembangannya, di penghujung abad ke-15, dinasti yang berbasis maritim tersebut runtuh dan digantikan dengan pemerintahan yang berbasis agraris. Meskipun demikian, kerajaan Gowa yang mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-16, mengeluarkan kebijakan yang berorientasi maritim, di antaranya :
1)      Mengatur dan menguasai produksi pertanian dan hasil-hasil hutan di pedalaman untuk komoditi perdagangan maritim;
2)      Penguasaan jalur pelayaran di bagian timur Nusantara dan menjadikan Somba Opu sebagai tempat pelabuhan transit utama bagi perdagangan rempah-rempah dari Maluku;
3)      Menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan luar;
4)      Membangun angkatan perang dan benteng perhanan;
5)      Meningkatkan hasil perdagangan dengan membangun jaringan perdagangan yang dikontrol dengan ketat; dan
6)      Membangun sistem birokrasi yang menunjang kegiatan sosial ekonomi dan politik.
Kebijakan kerajaan Gowa yang berbasis maritim tersebut membuka alternatif baru dalam peta pelayaran dan perdagangan dunia. Setelah Malaka direbut oleh Portugis, praktis mempengaruhi pola perdagangan yang berkorelasi signifikan dengan konstalasi politik internasional. Hadirnya pelabuhan Makassar sebagai sentra baru bagi para pedagang internasional didukung oleh kompleksitas tatanan dan proses dinamika kehidupan politik ekonomi dan sosial budaya kemaritiman, yang menurut Mukhlis, terdiri dari tiga tradisi budaya maritim, yakni :
1)      Tradisi yang diwakili oleh para bangsawan (elit birokrasi);
2)      Masyarakat marginal (orang kaya, punggawa);
3)      Para penduduk pinggiran (tupabbiring).
Tiga golongan ini merupakan pendukung utama tradisi maritim, suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Namun kebijakan orientasi maritim yang tidak didukung dengan infrastruktur militer, hanya menunggu waktu menuju titik kehancuran. Di tengah geliat persaingan negara-negara koloni melakukan ekspansi Makassar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Hanya kurang lebih seabad dalam kejayaannya, pada pertengahan abad ke-17 (1667 M), Makassar ditaklukkan oleh Belanda, yang secara politis dan ekonomis sangat mempengaruhi tradisi bahari Makassar. Jaringan internasional yang telah dibangun tersebut, dibatasi dengan ketat, bahkan dilarang. Monopoli yang diterapkan Belanda telah berimplikasi menurunnya aktivitas perdagangan dan pelayaran di pelabuhan Makassar. Bahkan Gubernur penguasa Makassar pada saat itu mengeluarkan kebijakan larangan berlayar dan mencari ikan terhadap masyarakat, dan mengubah orientasi pencahariannya pada lahan pertanian. Kebijakan kontroversial ini menimbulkan social shock, dan pada akhirnya memberi kontribusi bagi terciptanya kemiskinan kultural.
Kekalahan kerajaan Gowa/Makassar memberi pengaruh bagi beralihnya jalur perdagangan ke penjuru barat semenanjung Melayu, Sumatera, terutama Kepulauan Riau dan Kalimantan dan ke arah selatan hingga perairan dan pantai utara Australia. Dalam tinjauan dinamika tradisi internal (Sulawesi Selatan), terjadi transformasi budaya yang fundamental. Kerajaan Bone yang berkoalisi dengan Belanda dalam perang melawan Gowa telah menyudutkan Wajo yang memilih posisi netral, namun dianggap berkhianat oleh kerajaan-kerajaan Bugis (Bone). Wajo akhirnya mengkompensasi kekalahannya dengan memusatkan energinya pada aktivitas perdagangan.
Pada era ini, kelompok-kelompok migran bugis mulai bergerak meninggalkan tanah kelahirannya menuju wilayah-wilayah yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik, wilayah-wilayah yang sebelumnya telah mereka singgahi pada saat mereka melakukan aktifitas pelayaran dan perdagangan. Migran-migran tersebut berlayar bersama keluarga dan selanjutnya membuka tradisi dan jaringan baru mendukung tradisi bahari yang kuat. Hingga abad ke-18, migran-migran Bugis tersebut menjadi kekuatan pendukung bagi kaum migran Bugis Makassar dalam membangun kekuatan baru sekaligus menorehkan sejarah menaklukkan Sultan Johor, serta membangun sistem kontrol terhadap pelabuhan-pelabuhan Melayu dan Selangor. Prestasi ini, bahkan dicapai di bawah kontrol dan hegemoni Belanda.
Berkali-kali Belanda berusaha ‘menyerang’ perekonomian kaum migran, namun mampu dimentahkan oleh kelompok-kelompok semi independen yang kadang-kadang cukup tersatukan oleh beberapa kesultanan kecil penguasa sepanjang pantai. Hingga pada tahun 1756, Migan Bugis menerapkan strategi gudang pasar (entrepot) di Riau, yang memungkinkan mereka menguasai persaingan pasar. Pada perkembangan selanjutnya, Riau menjadi pelabuhan yang telah ramai oleh para pedagang Cina, Inggris, Muangthai, dan pedagang-pedagang dari Jawa.
Keberhasilan kaum migran Bugis dalam menancapkan hegemoni mereka di negeri rantau, ternyata tidak berlangsung lama. Pada tahun 1784, Belanda memaksa orang-orang Bugis meninggalkan Riau sebagai pusat dagang dan kekuatan perangnya. Namun revolusi Perancis (1789) yang mempengaruhi konstalasi politik yang luas, membawa implikasi beralihnya hegemoni kekuatan politik di Asia Tenggara, termasuk Riau, di bawah kendali Inggris. Inggris yang memiliki tradisi dan kekuatan maritim yang besar, akhirnya berhasil merebut Selat Malaka yang memiliki posisi strategis dalam peta pelayaran dan geopolitik internasional. Selat Malaka dipilih oleh Inggris sebagai pusat koloninya di Asia Tenggara dan selanjutnya menerapkan kebijakan dagang terbuka, memberi efek bagi berlangsungnya aktivitas perdagangan yang kondusif bagi kaum migran Bugis. Menurut Hooridge dalam “The Lambo or Prahu Bot” (1979), di abad ke-19 perahu-perahu dagang Bugis meningkat pesat dan tersebar di semua daerah pemukiman dagang Bugis. Migran Bugis muncul sebagai kekuatan dagang besar yang mampu mengimbangi kekuatan Cina di Asia Tenggara. Rentangan sejarah migran Bugis dalam membangun kekuatan dagang tersebut terus berlanjut hingga proklamasi kemerdekaan.

Fluktuasi Budaya Bahari Setelah Kemerdekaan
Tradisi berlayar pelaut Bugis tetap memerankan posisi yang strategis dalam pelayaran tradisional di Indonesia. Hal ini terutama didukung oleh kuatnya jaringan-jaringan yang selama berabad-abad telah terbentuk dan mengakar. Setelah proklamasi kemerdekaan, perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang signifikan. Perubahan signifikan nampak pada mulai diperkenalkannya jenis Lambo yang menurut Hoordige menyerupai bentuk sekoci, bergaya Inggris. Juga dikenal konstruksi Nade (layar dan tali-temali) sekitar tahun 1920 untuk memenuhi kebutuhan akan perahu dengan laju cepat, ketika pertama kali dibawa ke Indonesia melalui jalur Singapura oleh perusahaan-perusahaan Bugis dan dari Hongkong oleh anggota klub lomba perahu Belanda yang kaya di Batavia.  Berbeda dengan masa kejayaan kerajaan, perusahaan nasional dan swasta tidak lagi menjadi motor penggerak dan penyambung antara perikanan rakyat dan pemerintah seperti halnya yang pernah diterapkan oleh birokrasi kerajaan Gowa. Birokrasi hadir hanya sebagai penagih pajak (bea cukai), sehingga terkadang dengan alasan besarnya jumlah pajak dan komplitnya pengurusan administrasi, menjadi penyebab suburnya aktivitas penyelundupan.
Matinya tradisi bahari adalah akumulasi dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam memberdayakan potensi kemaritiman. Pendekatan pembangunan yang tidak berpijak pada akar budaya maritim, mengakibatkan hilangnya potensi maritim yang pernah dimiliki. Ketidakmampuan melakukan eksplorasi dan penetrasi daerah-daerah baru secara signifikan memengaruhi berkurangnya produksi, akibat pengerukan yang tidak terkontrol. Sementara, desain pola kebijakan pemerintah masih belum menunjukkan keberpihakan terhadap dukungan untuk membangun masyarakat bahari. Selain itu, demi menjaga integritas sebagai negara kepulauan, dibutuhkan political wil dari pemerintah yang mengarah pada peningkatan pertahanan kemaritiman yang secara sinergis akan melakukan pengawasan dan pengoptimalan potensi, serta observasi wilayah (pulau) baru yang belum terjamah, demi menghindari terulangnya sengketa wilayah perbatasan yang akhirnya akan merugikan negara secara materil, sekaligus menjadi ancaman bagi kedaulatan negara.
Suku Bugis Makassar adalah salah satu pewaris bangsa bahari. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian mereka menguasai laut dengan perahu layar. Perantauan mereka sudah terkenal sejak beberapa abad lalu. Ditemukannya komunitas orang-orang Bugis Makassar di beberapa kota di Indonesia merupakan bukti perantauan mereka sejak dahulu. Mereka tidak hanya menguasai perairan wilayah nusantara, tetapi sejak beberapa abad lalu juga melanglang buana jauh melampaui batas-batas negara. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa sejak dulu pelaut Bugis Makassar telah sampai di Semenanjung Malaka, Singapura, Philipina, Australia Utara, Madagaskar dan sebagainya .
Dalam melakukan pelayaran ke berbagai penjuru Nusantara maupun negara lain, para pelaut Bugis Makassar menggunakan alat transportasi tradisional yaitu perahu. Perahu yang mereka gunakan itu ada beberapa jenis. Salah satu jenis yang digunakan dalam kurun waktu terakhir ini ialah perahu Pinisi. Perahu Pinisi telah digunakan oleh pelaut Bugis Makassar sejak ratusan tahun lalu. Di luar Sulawesi selatan, dulu perahu Pinisi lebih dikenal sebagai perahu Bugis, Hal ini disebabkan karena yang menggunakannya kebanyakan orang Bugis atau setidaknya pandai berbahasa Bugis. Walaupun orang Bugis Makassar terkenal sebagai pelaut ulung dengan menggunakan perahu tradisional yang kokoh, tetapi ternyata perahu yang mereka gunakan tersebut dibuat oleh satu komunitas tukang perahu dari Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Kecamatan Bontobahari (Ara, Bira, Lemo-lemo/Tanahlemo), kondisi geografisnya berbeda dengan kecamatan lain di bagian utara dan bagian barat Kabupaten Bulukumba. Di kecamatan ini sebagian besar tanahnya terdiri dari bukit kapur yang gersang dan hanya ditumbuhi padang rumput dan semak belukar. Sangat sedikit tanah yang dapat dijadikan lahan pertanian untuk menghidupi warganya. Itulah sebabnya kebanyakan penduduk daerah ini memilih pekerjaan di sektor kebaharian sebagai profesi mereka yaitu bertukang perahu dan pelaut. Keahlian berlayar bagi orang Bugis Makassar telah dikenal sejak sekitar abad XVI. Dengan demikian berarti sejak waktu itu pula keahlian membuat perahu sudah berkembang.
Penggunaan perahu di Sulawesi selatan telah berlangsung sejak dahulu. Menurut beberapa sumber perahu yang dipergunakan masyarakat pesisir ada beberapa jenis. Tetapi perlu diketahui pada umumnya perahu yang mereka gunakan adalah perahu kecil yang dipergunakan untuk menunjang aktifitas mereka sehari – hari. Menurut legenda, perahu besar mulai dikenal di Sulawesi selatan sejak zaman Sawerigading seperti disebutkan di dalam Lontarak I lagaligo. Sawerigading adalah putra Raja Luwu yang diyakini pertama kali menggunakan perahu yang berukuran besar. Konon perahu tersebut dibuat dengan kekuatan magis/ghaib di dalam perut bumi oleh neneknya yang bernama La Toge Langi (gelar Batara Guru). Karena melanggar sumpah, dalam suatu perjalanan perahu Sawerigading dihantam badai dan pecah ditelan gelombang. Kepingan-kepingan perahu tersebut hanyut dan terdampar di beberapa tempat disekitar Tanjung Bira, Sebahagian besar badan perahunya terdampar dipantai Ara, sotting/Linggi perahu terdampar di Lemo-lemo sedangkan layar dan tali temalinya terdampar di Bira. Orang Ara mengumpulkan kepingan-kepingan perahu tersebut lalu menyusunnya kembali (nipuli paso’–direkonstruksi). Selanjutnya mereka percaya bahwa dari hasil rakitan itulah nenek moyang mereka mendapatkan ilham dasar membuat perahu yang disusun dari lembaran–lembaran papan. Mereka percaya konstruksi perahu sawerigading telah dibakukan oleh nenek moyang mereka yang selanjutnya menjadi pola dasar dari perahu yang terkenal yakni Pinisi. Bagi orang Lemo-lemo (Tanahlemo) percaya pula bahwa keahlian membuat perahu yang mereka miliki bersumber dari penemuan bagian perahu Sawerigading. Demikian pula orang Bira, mereka percaya bahwa keahlian berlayar yang mereka miliki sejak dahulu diwarisi dari penemuan layar dan tali temali perahu Sawerigading.
Sejak hancurnya kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara, secara langsung dinamika kebaharian Indonesia kian menurun. Masyarakatnya lebih diarahkan menjadi petani dan melupakan bahari.


Daftar Pustaka
https://herydotus.wordpress.com/2012/03/24/indonesia-sebagai-bangsa-bahari/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....