Tradisi
bahari merupakan mereka yang menggunakan laut sebagai sarana komunikasi dan
migrasi dari dataran Asia ke Kepulauan Indonesia. Sepanjang hidupnya mereka
juga bergantung pada laut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah tiba di
kepulauan Nusantara, mereka mengembangkan tradisi perundagian. Diperkirakan
bahwa tradisi perundagian di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh tradisi yang
sama dan telah lebih dahulu berkembang di dataran Asia sejak 3000 tahun SM
(Kebudayaan Dongso).
Sejak
awal abad Masehi dan menjelang akhir zaman pra aksara, lalu lintas antar daratan
Asia dan Kepulauan Indonesia menjadi ramai. Bangsa-bangsa tersebut kemudian ada
yang menetap dan barcampur dengan penduduk setempat dan ada pula yang
berlangsung sejak 2000 tahun SM menjadi salah satu corak budaya yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa pelaut.
Untuk
menentukan arah pelayaran, mereka menggunakan pengetahuan perbintangan. Mereka
belum mengenal kompas. Satu-satunya petunjuk arah yang memudahkan mereka
berlayar ialah pengetahuan tenteng arah angin dan posisi bintang. Dengan
demikian, pengetahuan astronomi harus dimiliki agar dapat berlayar sesuai
dengan arah yang dituju. Diperkirakan, bangsa Indonesia sejak zaman pra aksara
telah memilki pengetahuan astronomi terutama untuk hal-hal yang praktis dalam
pelayaran. Pengetahuan ini juga penting dalam memprediksi musim untuk
menentukan waktu terbaik menanam padi di sawah.
Masyarakat
pra-aksara Indonesia juga telah mengenal perdagangan. Barang yang terutama
diperlukan (barter) yaitu hasil logam dan kerajinan dari batu. Beberapa hasil
kerajinan seperti kapak persegi di temukan di tempat yang memiliki sumber batu.
Begitu juga barang-barang yang tersebut dari logam banyak ditemukan di daerah
yang memiliki sumber logam. Di perkirakan brang-brang yang tersebut dibuat
dalam system industri (tempat pembuatan khusus) di lokasi tertentu. Dugaan yang
paling mungkin bahwa para pelayar tersebut juga membawa barang yang bias
ditukar dengan barang lain dalam kegiatan dagang.
Premis
Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis (2006) tentang nenek moyang Bugis
sebagai seorang petani, telah memberi perspektif baru sekaligus meruntuhkan kuatnya
keyakinan yang mengakar dalam orang Bugis, bahwa nenek moyang mereka adalah
seorang pelaut ulung. Pelaut ulung yang diasosiasikan dengan Pasompe, yang
secara terminologi berarti orang yang melakukan pelayaran, sedangkan kesimpulan
umum diartikan sebagai saudagar laut. Menurut Pelras, tradisi pelaut
orang-orang Bugis tidak lebih dari sekadar refleksi dari tuntutan survival
hidup. Orang Bugis melakukan pelayaran bukan untuk berdagang, akan tetapi untuk
mencari lahan pertanian baru dan kemudian mendirikan perkampungan. Hal ini
dikaitkan dengan kecenderungan adanya kelompok-kelompok Bugis dalam jumlah yang
relatif besar dan mengikatkan diri dalam sebuah kelompok perkampungan, yang
dijumpai di beberapa tempat di antaranya; kepulauan Jawa, Sumatera, Kalimantan,
bahkan Malaysia dan Singapura.
Kejayaan
tradisi bahari Bugis-Makassar dalam tinjauan historis tidak terlepas dari upaya
hegemonik dan sangat rentan dengan dimensi politik. Kerajaan yang mampu
menguasai laut, akan tampil sebagai penguasa dan pemegang kendali perekonomian.
Kerajaan Gowa dan Bone yang pernah berjaya pada sekitar abad XV – XVI merupakan
representasi kerajaan Sulawesi Selatan yang berorientasi pada tradisi
kemaritiman, dengan mengoptimalkan fungsi pelabuhan laut sebagai sarana
transportasi, sentra perdagangan, sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Tradisi bahari dalam masyarakat Bugis-Makassar telah berlangsung sejak jaman kerajaan. Bahkan dalam naskah kuno La Galigo, disebutkan bahwa tradisi bahari telah dimulai jauh sebelumnya. Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan peradaban, serta berubahnya orientasi pemegang otoritas negara, menyebabkan tradisi bahari menjadi semacam cerita kuno yang tidak lagi mampu teraktualkan dalam konteks kekinian.
Tradisi bahari dalam masyarakat Bugis-Makassar telah berlangsung sejak jaman kerajaan. Bahkan dalam naskah kuno La Galigo, disebutkan bahwa tradisi bahari telah dimulai jauh sebelumnya. Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan peradaban, serta berubahnya orientasi pemegang otoritas negara, menyebabkan tradisi bahari menjadi semacam cerita kuno yang tidak lagi mampu teraktualkan dalam konteks kekinian.
Kejayaan
tradisi bahari yang pernah tercipta pada jaman kerajaan hingga jaman Hindia
Belanda, menjadi oase di tengah keterpurukan kondisi perekonomian masyarakat
pesisir/nelayan. Masyarakat nelayan hanya menjadi buruh yang setiap hari
dituntut memperoleh hasil tangkapan ikan tanpa berhak menentukan (nilai) pasar
untuk komoditi hasil keringat mereka sendiri. Mereka tidak dapat menentukan
harga, termasuk apabila mereka mendapatkan hasil yang melimpah. Hal lain yang
cukup signifikan adalah berkurangnya daya saing alat produksi serta mulai
menipisnya sumber daya alam.
Rapuhnya
tradisi bahari juga ditandai dengan kurangnya perhatian negara terhadap
batas-batas teritori laut dan pulau terluar yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga. Kasus Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah
Internasional, serta kasus Blok Ambalat yang hingga sekarang masih menjadi
sengketa, memberi warning kepada kita, bahwa ancaman terhadap integritas negara
telah menjadi nyata, akibat kelalaian kita dalam memelihara dan menjaga aset
dan kekayaan negeri kepulauan yang bernama Indonesia.
Banyak
pendapat skeptis bahwa jiwa pelaut Sulawesi Selatan sudah pudar atau mati,
bahkan nelayan yang handal tidak pernah ada, yang ada hanya Pasompe atau yang
akrab dikenal sebagai saudagar laut. Mukhlis dalam “Upaya Memahami Kebudayaan
Maritim” (1994) menguraikan bahwa sebelum tahun 1500 telah berdiri tiga dinasti
pemerintahan yang berbasis maritim, yaitu Luwu, Tompotikka dan Weweng Riu.
Namun, dalam perkembangannya, di penghujung abad ke-15, dinasti yang berbasis maritim
tersebut runtuh dan digantikan dengan pemerintahan yang berbasis agraris. Meskipun
demikian, kerajaan Gowa yang mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-16,
mengeluarkan kebijakan yang berorientasi maritim, di antaranya :
1) Mengatur
dan menguasai produksi pertanian dan hasil-hasil hutan di pedalaman untuk
komoditi perdagangan maritim;
2) Penguasaan
jalur pelayaran di bagian timur Nusantara dan menjadikan Somba Opu sebagai
tempat pelabuhan transit utama bagi perdagangan rempah-rempah dari Maluku;
3) Menjalin
hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan luar;
4) Membangun
angkatan perang dan benteng perhanan;
5) Meningkatkan
hasil perdagangan dengan membangun jaringan perdagangan yang dikontrol dengan
ketat; dan
6) Membangun
sistem birokrasi yang menunjang kegiatan sosial ekonomi dan politik.
Kebijakan
kerajaan Gowa yang berbasis maritim tersebut membuka alternatif baru dalam peta
pelayaran dan perdagangan dunia. Setelah Malaka direbut oleh Portugis, praktis
mempengaruhi pola perdagangan yang berkorelasi signifikan dengan konstalasi
politik internasional. Hadirnya pelabuhan Makassar sebagai sentra baru bagi
para pedagang internasional didukung oleh kompleksitas tatanan dan proses
dinamika kehidupan politik ekonomi dan sosial budaya kemaritiman, yang menurut
Mukhlis, terdiri dari tiga tradisi budaya maritim, yakni :
1) Tradisi
yang diwakili oleh para bangsawan (elit birokrasi);
2) Masyarakat
marginal (orang kaya, punggawa);
3) Para
penduduk pinggiran (tupabbiring).
Tiga
golongan ini merupakan pendukung utama tradisi maritim, suatu keseluruhan yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Namun kebijakan orientasi maritim yang tidak didukung dengan infrastruktur militer, hanya menunggu waktu menuju titik kehancuran. Di tengah geliat persaingan negara-negara koloni melakukan ekspansi Makassar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Hanya kurang lebih seabad dalam kejayaannya, pada pertengahan abad ke-17 (1667 M), Makassar ditaklukkan oleh Belanda, yang secara politis dan ekonomis sangat mempengaruhi tradisi bahari Makassar. Jaringan internasional yang telah dibangun tersebut, dibatasi dengan ketat, bahkan dilarang. Monopoli yang diterapkan Belanda telah berimplikasi menurunnya aktivitas perdagangan dan pelayaran di pelabuhan Makassar. Bahkan Gubernur penguasa Makassar pada saat itu mengeluarkan kebijakan larangan berlayar dan mencari ikan terhadap masyarakat, dan mengubah orientasi pencahariannya pada lahan pertanian. Kebijakan kontroversial ini menimbulkan social shock, dan pada akhirnya memberi kontribusi bagi terciptanya kemiskinan kultural.
Namun kebijakan orientasi maritim yang tidak didukung dengan infrastruktur militer, hanya menunggu waktu menuju titik kehancuran. Di tengah geliat persaingan negara-negara koloni melakukan ekspansi Makassar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Hanya kurang lebih seabad dalam kejayaannya, pada pertengahan abad ke-17 (1667 M), Makassar ditaklukkan oleh Belanda, yang secara politis dan ekonomis sangat mempengaruhi tradisi bahari Makassar. Jaringan internasional yang telah dibangun tersebut, dibatasi dengan ketat, bahkan dilarang. Monopoli yang diterapkan Belanda telah berimplikasi menurunnya aktivitas perdagangan dan pelayaran di pelabuhan Makassar. Bahkan Gubernur penguasa Makassar pada saat itu mengeluarkan kebijakan larangan berlayar dan mencari ikan terhadap masyarakat, dan mengubah orientasi pencahariannya pada lahan pertanian. Kebijakan kontroversial ini menimbulkan social shock, dan pada akhirnya memberi kontribusi bagi terciptanya kemiskinan kultural.
Kekalahan
kerajaan Gowa/Makassar memberi pengaruh bagi beralihnya jalur perdagangan ke
penjuru barat semenanjung Melayu, Sumatera, terutama Kepulauan Riau dan
Kalimantan dan ke arah selatan hingga perairan dan pantai utara Australia.
Dalam tinjauan dinamika tradisi internal (Sulawesi Selatan), terjadi
transformasi budaya yang fundamental. Kerajaan Bone yang berkoalisi dengan
Belanda dalam perang melawan Gowa telah menyudutkan Wajo yang memilih posisi
netral, namun dianggap berkhianat oleh kerajaan-kerajaan Bugis (Bone). Wajo
akhirnya mengkompensasi kekalahannya dengan memusatkan energinya pada aktivitas
perdagangan.
Pada
era ini, kelompok-kelompok migran bugis mulai bergerak meninggalkan tanah
kelahirannya menuju wilayah-wilayah yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik,
wilayah-wilayah yang sebelumnya telah mereka singgahi pada saat mereka
melakukan aktifitas pelayaran dan perdagangan. Migran-migran tersebut berlayar
bersama keluarga dan selanjutnya membuka tradisi dan jaringan baru mendukung
tradisi bahari yang kuat. Hingga abad ke-18, migran-migran Bugis tersebut
menjadi kekuatan pendukung bagi kaum migran Bugis Makassar dalam membangun
kekuatan baru sekaligus menorehkan sejarah menaklukkan Sultan Johor, serta
membangun sistem kontrol terhadap pelabuhan-pelabuhan Melayu dan Selangor.
Prestasi ini, bahkan dicapai di bawah kontrol dan hegemoni Belanda.
Berkali-kali
Belanda berusaha ‘menyerang’ perekonomian kaum migran, namun mampu dimentahkan
oleh kelompok-kelompok semi independen yang kadang-kadang cukup tersatukan oleh
beberapa kesultanan kecil penguasa sepanjang pantai. Hingga pada tahun 1756,
Migan Bugis menerapkan strategi gudang pasar (entrepot) di Riau, yang
memungkinkan mereka menguasai persaingan pasar. Pada perkembangan selanjutnya,
Riau menjadi pelabuhan yang telah ramai oleh para pedagang Cina, Inggris,
Muangthai, dan pedagang-pedagang dari Jawa.
Keberhasilan
kaum migran Bugis dalam menancapkan hegemoni mereka di negeri rantau, ternyata
tidak berlangsung lama. Pada tahun 1784, Belanda memaksa orang-orang Bugis
meninggalkan Riau sebagai pusat dagang dan kekuatan perangnya. Namun revolusi
Perancis (1789) yang mempengaruhi konstalasi politik yang luas, membawa
implikasi beralihnya hegemoni kekuatan politik di Asia Tenggara, termasuk Riau,
di bawah kendali Inggris. Inggris yang memiliki tradisi dan kekuatan maritim
yang besar, akhirnya berhasil merebut Selat Malaka yang memiliki posisi
strategis dalam peta pelayaran dan geopolitik internasional. Selat Malaka
dipilih oleh Inggris sebagai pusat koloninya di Asia Tenggara dan selanjutnya
menerapkan kebijakan dagang terbuka, memberi efek bagi berlangsungnya aktivitas
perdagangan yang kondusif bagi kaum migran Bugis. Menurut Hooridge dalam “The
Lambo or Prahu Bot” (1979), di abad ke-19 perahu-perahu dagang Bugis meningkat
pesat dan tersebar di semua daerah pemukiman dagang Bugis. Migran Bugis muncul
sebagai kekuatan dagang besar yang mampu mengimbangi kekuatan Cina di Asia
Tenggara. Rentangan sejarah migran Bugis dalam membangun kekuatan dagang
tersebut terus berlanjut hingga proklamasi kemerdekaan.
Fluktuasi Budaya Bahari Setelah Kemerdekaan
Fluktuasi Budaya Bahari Setelah Kemerdekaan
Tradisi
berlayar pelaut Bugis tetap memerankan posisi yang strategis dalam pelayaran
tradisional di Indonesia. Hal ini terutama didukung oleh kuatnya
jaringan-jaringan yang selama berabad-abad telah terbentuk dan mengakar.
Setelah proklamasi kemerdekaan, perdagangan dan pelayaran mengalami
perkembangan yang signifikan. Perubahan signifikan nampak pada mulai
diperkenalkannya jenis Lambo yang menurut Hoordige menyerupai bentuk sekoci,
bergaya Inggris. Juga dikenal konstruksi Nade (layar dan tali-temali) sekitar
tahun 1920 untuk memenuhi kebutuhan akan perahu dengan laju cepat, ketika
pertama kali dibawa ke Indonesia melalui jalur Singapura oleh
perusahaan-perusahaan Bugis dan dari Hongkong oleh anggota klub lomba perahu
Belanda yang kaya di Batavia. Berbeda
dengan masa kejayaan kerajaan, perusahaan nasional dan swasta tidak lagi
menjadi motor penggerak dan penyambung antara perikanan rakyat dan pemerintah
seperti halnya yang pernah diterapkan oleh birokrasi kerajaan Gowa. Birokrasi
hadir hanya sebagai penagih pajak (bea cukai), sehingga terkadang dengan alasan
besarnya jumlah pajak dan komplitnya pengurusan administrasi, menjadi penyebab
suburnya aktivitas penyelundupan.
Matinya
tradisi bahari adalah akumulasi dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam
memberdayakan potensi kemaritiman. Pendekatan pembangunan yang tidak berpijak
pada akar budaya maritim, mengakibatkan hilangnya potensi maritim yang pernah
dimiliki. Ketidakmampuan melakukan eksplorasi dan penetrasi daerah-daerah baru
secara signifikan memengaruhi berkurangnya produksi, akibat pengerukan yang
tidak terkontrol. Sementara, desain pola kebijakan pemerintah masih belum
menunjukkan keberpihakan terhadap dukungan untuk membangun masyarakat bahari.
Selain itu, demi menjaga integritas sebagai negara kepulauan, dibutuhkan
political wil dari pemerintah yang mengarah pada peningkatan pertahanan kemaritiman
yang secara sinergis akan melakukan pengawasan dan pengoptimalan potensi, serta
observasi wilayah (pulau) baru yang belum terjamah, demi menghindari
terulangnya sengketa wilayah perbatasan yang akhirnya akan merugikan negara
secara materil, sekaligus menjadi ancaman bagi kedaulatan negara.
Suku Bugis Makassar adalah salah
satu pewaris bangsa bahari. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian mereka
menguasai laut dengan perahu layar. Perantauan mereka sudah terkenal sejak
beberapa abad lalu. Ditemukannya komunitas orang-orang Bugis Makassar di
beberapa kota di Indonesia merupakan bukti perantauan mereka sejak dahulu.
Mereka tidak hanya menguasai perairan wilayah nusantara, tetapi sejak beberapa
abad lalu juga melanglang buana jauh melampaui batas-batas negara. Banyak bukti
yang menunjukkan bahwa sejak dulu pelaut Bugis Makassar telah sampai di
Semenanjung Malaka, Singapura, Philipina, Australia Utara, Madagaskar dan
sebagainya .
Dalam melakukan pelayaran ke
berbagai penjuru Nusantara maupun negara lain, para pelaut Bugis Makassar
menggunakan alat transportasi tradisional yaitu perahu. Perahu yang mereka
gunakan itu ada beberapa jenis. Salah satu jenis yang digunakan dalam kurun
waktu terakhir ini ialah perahu Pinisi. Perahu Pinisi telah digunakan oleh
pelaut Bugis Makassar sejak ratusan tahun lalu. Di luar Sulawesi selatan, dulu
perahu Pinisi lebih dikenal sebagai perahu Bugis, Hal ini disebabkan karena
yang menggunakannya kebanyakan orang Bugis atau setidaknya pandai berbahasa
Bugis. Walaupun orang Bugis Makassar terkenal sebagai pelaut ulung dengan
menggunakan perahu tradisional yang kokoh, tetapi ternyata perahu yang mereka
gunakan tersebut dibuat oleh satu komunitas tukang perahu dari Kecamatan
Bontobahari Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Kecamatan Bontobahari (Ara,
Bira, Lemo-lemo/Tanahlemo), kondisi geografisnya berbeda dengan kecamatan lain
di bagian utara dan bagian barat Kabupaten Bulukumba. Di kecamatan ini sebagian
besar tanahnya terdiri dari bukit kapur yang gersang dan hanya ditumbuhi padang
rumput dan semak belukar. Sangat sedikit tanah yang dapat dijadikan lahan
pertanian untuk menghidupi warganya. Itulah sebabnya kebanyakan penduduk daerah
ini memilih pekerjaan di sektor kebaharian sebagai profesi mereka yaitu
bertukang perahu dan pelaut. Keahlian berlayar bagi orang Bugis Makassar telah
dikenal sejak sekitar abad XVI. Dengan demikian berarti sejak waktu itu pula
keahlian membuat perahu sudah berkembang.
Penggunaan perahu di Sulawesi
selatan telah berlangsung sejak dahulu. Menurut beberapa sumber perahu yang
dipergunakan masyarakat pesisir ada beberapa jenis. Tetapi perlu diketahui pada
umumnya perahu yang mereka gunakan adalah perahu kecil yang dipergunakan untuk
menunjang aktifitas mereka sehari – hari. Menurut legenda, perahu besar mulai
dikenal di Sulawesi selatan sejak zaman Sawerigading seperti disebutkan di
dalam Lontarak I lagaligo. Sawerigading adalah putra Raja Luwu yang diyakini
pertama kali menggunakan perahu yang berukuran besar. Konon perahu tersebut
dibuat dengan kekuatan magis/ghaib di dalam perut bumi oleh neneknya yang
bernama La Toge Langi (gelar Batara Guru). Karena melanggar sumpah, dalam suatu
perjalanan perahu Sawerigading dihantam badai dan pecah ditelan gelombang.
Kepingan-kepingan perahu tersebut hanyut dan terdampar di beberapa tempat
disekitar Tanjung Bira, Sebahagian besar badan perahunya terdampar dipantai
Ara, sotting/Linggi perahu terdampar di Lemo-lemo sedangkan layar dan tali
temalinya terdampar di Bira. Orang Ara mengumpulkan kepingan-kepingan perahu tersebut
lalu menyusunnya kembali (nipuli paso’–direkonstruksi). Selanjutnya mereka
percaya bahwa dari hasil rakitan itulah nenek moyang mereka mendapatkan ilham
dasar membuat perahu yang disusun dari lembaran–lembaran papan. Mereka percaya
konstruksi perahu sawerigading telah dibakukan oleh nenek moyang mereka yang
selanjutnya menjadi pola dasar dari perahu yang terkenal yakni Pinisi. Bagi
orang Lemo-lemo (Tanahlemo) percaya pula bahwa keahlian membuat perahu yang
mereka miliki bersumber dari penemuan bagian perahu Sawerigading. Demikian pula
orang Bira, mereka percaya bahwa keahlian berlayar yang mereka miliki sejak
dahulu diwarisi dari penemuan layar dan tali temali perahu Sawerigading.
Sejak
hancurnya kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara, secara langsung dinamika
kebaharian Indonesia kian menurun. Masyarakatnya lebih diarahkan menjadi petani
dan melupakan bahari.
Daftar
Pustaka
https://herydotus.wordpress.com/2012/03/24/indonesia-sebagai-bangsa-bahari/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar