Selasa, 02 Juli 2019

HISTORIOGRAFI TRADISIONAL DAN MODERN



A.    Definisi Historiografi
Dari sudut etimologis, historiografi semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu historia dan grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam fisik, sedangkan kata grafein berarti gambaran, lukisan, tulisan atau uraian (discription). Dengan demikian, secara harafiah, historiografi dapat diartikan sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau. Historiografi dapat juga diartikan sebagai rekonstrukti yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses.

Historigrafi terbentuk dari dua akar kata yaitu history (sejarah) dan graph (tulisan).  Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem oriented adalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, dan tidak menggunakan metode penelitian .

B.     Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada zaman Hindu-Budha maupun pada zaman Islam. Hasil tulisan sejarah dari masa ini sering disebut sebagai naskah. Dalam historiografi tradisional, penulisannya tidak bertujuan untuk mengungkap fakta dan kebenaran sejarah. Historiografi tradisional didominasi oleh lingkungan keraton. Para Raja mempunyai kepentingan untuk melegitimasi kekuasaan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Historiografi tradisional bersifat etnosentris (kedaerahan), istanasentris (lingkungan keraton), dan magis religius (dilandasi unsur magis dan kepercayaan). Oleh karena itu, hasil historiografi tradisional selain dalam bentuk sejarah ada pula dalam bentuk sastra, babad, kronik, dan lain sebagainya. Dalam historiografi tradisional, tokoh sejarahnya sering dihubungkan dengan tokoh populer zaman dahulu. Bahkan, dengan tokoh yang ada dalam mitos maupun legenda sekalipun. Hal ini dimaksudkan untuk mengukuhkan dan melegitimasi kekuasaan. Contohnya, dalam kitab Negarakertagama, Ken Arok (Raja Singhasari pertama) dianggap sebagai anak Dewa Brahma. Dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan pula bahwa raja Mataram Islam pertama merupakan keturunan dari para Nabi. Bahkan, raja-raja Mataram diduga mempunyai  hubungan dengan Nyi Roro Kidul penguasa pantai selatan.
Fase historiografi tradisional dimulai sejak zaman kerajaan hindu buddha sampai pada masuknya perkembangan islam di indonesia. Pada fase historiografi tradisional penulisan sejarah yang dilakukan lebih merupakan ekspresi budaya dari pada untuk merekam peristiwa masa lalu.

Ciri-Ciri
1.      Istana-sentris, berpusat pada keinginan dan kepentingan raja.
2.      Feodalis-aristokratis, artinya berfokus pada kehidupan kaum bangsawan feodal, bukan kehidupan rakyat.
3.      Sebjektivitas tinggi, sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan atas permintaan sang raja.
4.      Tujuannya melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan dan kedudukan sang raja.
5.      Kebanyakan karya tersebut kuat dalam geneologi (silsilah) namun lemah dalam kronologi dan detail biografis.
6.      Umumnya penulisannya tidak di susun secara ilmiah, serta seringkali datanya bercampur baur antara unsur mitos dan realitas. Berbagai mitos dan legenda di arahkan untuk mengukuhkan kepercayaan bahwa raja tidak sama dengan orang biasa.
7.      Sumber data sulit untuk di telusuri, bahkan terkadang mustahil untuk di buktikan.
8.      Regio-sentris, artinya banyak di pengaruhi oleh faktor budaya masyarakat tempat naskah tersebut ditulis.
Contoh historiografi tradisional adalah kitab bustanus salatin (kisah para raja di kerajaan aceh), babad tanah jawi, Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten
Berdasarkan lontara (aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar), Noorduyn memandang bahwa karya historiografi tradisioal dianggap sebagai corak penulisan yang dingin dan tidak diterima dalam kelompok karya kritis ilmiah. Karya-karya seperti babad, hikayat, tambo, silsilah atau karya sejenis sepintas tidak lulus sebagai karya sejarah dalam pengertian yang modern. Di situ ada kecenderungan umum adalah mencari keterangan kepada sesuatu yang berada di luar sejarah. Yang penting tidak terletak pada rangkaian peristiwa-peristiwa, tetapi pada kekuatan yang berada secara alamiah di luar sejarah, di mana ditonjolkan suasana religiomagis, dan bukan kritis ilmiah. Karya tersebut lebih menonjolkan nasib, kutukan, rahmat, bukan berhasil atau gagal.
Pemahaman terhadap karya historiografi tradisional itu ditentukan oleh penghayatan cultural dari pembaca sehingga tanpa pengahayatan tersebut, maka kredibilitas itu menjadi lebur, atau hampir lembur dengan objeknya. Para penulis karya historiografi tradisional memang tidak bertujuan untuk menyatakan benar tidaknya fakta dari sudut sejarah sebagaimana ia terjadi. Fakta yang terkandung dalam karya-karya itu bukan harus diterima tidaknya fakta tersebut sebagai gambaran sah masa lampau, melainkan suatu proses pemaknaan pada peristiwa. Oleh karena itu, historiografi tradisional sebagai sejarah lokal memuat campuran unsur-unsur mitologis, eskhatologis, kronologis, religi-magis dan kosmogonis.
Historiografi tradisional merupakan suatu karya yang tidak dapat dianggap sebagai sebagai karya yang tidak dapat dianggap sebagai karya yang sudah selesai. Jadi, sebagai sumber, historigrafi tradisional berkedudukan sebagai bahan atau sumber primer yang memerlukan penelaahan yang mendalam dan hati-hati karena historiografi tradisional cenderung mengaburkan 2 macam realitas, yaitu:
1. Realitas yang objektif terjadi (pengalaman yang aktual).
2. Realitas yang riil dalam diri (penghayatan cultural yang kolektif).
Historiografi tradisional dalam penelitian harus melalui tahap:
1. Kritik ekstern pada penelitian sejarah.
2. Kritik intern seperti yang dikerjakan dalam penelitian filologi.
3. Diperlukan kesadaran dan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang cultural masyarakat yang menghasilkan karya historiografi tradisional.
Ada kecenderungan bahwa historiografi tradisional menurut Raymond Wiliams bermuatan The Myth of Concern (mitos penguat) yang bertujuan utama untuk memelihara keseimbangan, atau kewajaran kosmos, dan berfungsi bagi kematapan nilai dan tata yang berlaku. Penguatan kekuatan magis penguasa, titisan dewa, legitimasi dengan penonjolan dalam penerimaan wahyu, wangsit, atau pulung, memberikan legitimasi bagi struktur yang mendukung tuntutan kultural. Struktur tersebut diwakili raja, bangsawan, atau kelas pemelihara, atau semua kalangan masyarakat, yang kemantapan kosmos terpelihara. Struktur kekuasaan dan sosial harus selalu ada bagi kepentingan kosmos yang teratur, mantap, dan dijauhkan dengan situasi chaos berarti kehancuran dan situasi yang tidak menentu.
Pada intinya, historiografi tradisional mencerminkan kenyataan riil yang dihayati dan patokan nilai yang dihayati (diberi makna, ditafsirkan berdasarkan The myth of concern). Kedua hal tersebut mempunyai beberapa kecenderungan yang sama dan tidak berhenti pada usaha penyalinan peristiwa, tetapi terlibat langsung dalamhal yang diceritakan karena peristiwa haruslah ada maknanya yaitu peristiwa dan konsepsi yang terjalin oleh pandangan dunia yang utuh.

C.     Historiografi Modern
Historiografi modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik dalam mendapatkan fakta sejarah. Fakta sejarah didapatkan melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu bantu, adanya teknik pengarsipan dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah kritis. Dalam penulisan tentang sejarah kritis dipergunakan prinsip-prinsip metode sejarah. Studi sejarah kritis juga memerlukan bantuan dari ilmu lain untuk mempertajam analisanya.

Ciri-Ciri :
1.  Bersifat Indonesia sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia diinterpretasikan sebagai sejarah nasional dan ditulis dari sudut kepentingan rakyat Indonesia. Tugas dari historiografi nasional adalah“membongkar dan merevisi”  historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh para sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan, khususnya pembangunan sikap mental bangsa   (terutama generasi muda) Indonesia dewasa ini.
2. Bersifat metodologis, artinya penulisan sejarah Indonesia menggunakan pendekatan ilmiah berdasarkan teknik penulisan ilmiah untuk ilmu sosial.
3.  Bersifat kritis historis, yang berarti substansi penulisan sejarah Indonesia secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.


KHUSUS INDONESIA

D.    Historiografi Kolonial

Hitoriografi kolonial adalah penulisan sejarah Indonesia selama masa penjajahan belanda. Fokus utamanya adalah kehidupan warga Belanda di indonesia, sifat pokok dari historiografi kolonial adalah eropa-sentris atau belanda-sentris. Oleh karena fokusnya adalah kepentingan belanda banyak penulisan tentang perlawanan rakyat indonesia terhadap belanda berlawanan dengan kenyataan sebenarnya. Contonya perlawanan pangeran diponegoro. Dari sudut penulisan sejarah nasional pangeran diponegoro adalah pahlawan, tetapi dari sudut penulisan sejarah kolonial panegeran diponegoro dianggap sebagai pemberontak.


Ciri-Ciri :
1.      Belanda Sentrisme artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa di Nusantara Indonesia saat itu.
2.      Eropasentrisme, artinya ditulis dari sudut pandang kepentingan orang Belanda, dan kepentingan bangsa Eropa pada umumnya.
3.      Mitologisasi artinya banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang sebenarnya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasinya, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk pertahanan masyarakat serta kebudayaannya.

E.     Historiografi nasional

Penulisn historiografi nasional dimulai sejak masa kemerdekaan. Muhammad Yamin adalah seorang tokoh yang mengemukakan tentang perlunya sejarah yang bervisi indonesia-sentris yang menjadi ciri khas historiografi nasional. Muhammad Yamin sendiri menulis gajah mada, diponegoro dan 6000 tahun sang merah putih. Dalam historiografi nasional, penulisan diarahkan pada kepentingan bangsa indonesia, selain itu memaparkan tentang tokoh-tokoh pergerakan dan pahlawan pejuang kemerdekan menjadi bagian sentral sebagai bahan inspirasi.

Umumnya historiografi nasinal memiliki beberapa acuan:
1.   Sejarah berbagai suku bangsa di indonesia.
2.   Memanfaatkan berbagai sumber yang ada, baik sumber tulisan, lisan, maupun benda.
3.   Objek penelitian mengacu pada beberpa aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
4.   Pada masa ini lahirlah karya-karya yang dapat di kelompokan kedalam hitoriografi nasional, contohnya adalah sebagai berikut: Biografi para pahlawan, seperti teuku umar, imam bonjol, dan dipenogoro.
5.   Sejarah perlawanan terhadap para penjajah, seperti perang padri, dan perang diponegoro.
6.   Biografi tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti sutomo, kartini, adul rivai, dan wahid hasyim.


Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....