Pengertian, Pokok-Pokok Bahasan Serta Beberapa Masalah Sejarah Maritim
Indonesia
·
Pengertian
Ada yang menganggap bahwa istilah maritim dan laut mempunyai arti yang
sama. Selain istilah maritim dan laut juga terdapat istilah bahari. Ketiga
istilah ini berbeda artinya. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia kata “Laut”
berarti kumpulan air asin yang menggenangi dan membagi daratan atau benua, kata
“Bahari” berarti mengenai kelautan. Kamus ini menerangkan bahwa salah satu
maksud dari kata bahari adalah laut. Sedangkan kata “Maritim” berarti aktivitas
yang berhubungan dengan laut, seperti perdagangan dan pelayaran. Pemahaman
maritim merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan yang
berhubungan dengaan kelautan atau disebut pelayaran niaga. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa maritim adalah terminologi kelautan dan maritim berkenaan
dengan laut yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan.
Sejak abad ke-9 Masehi, nenek moyang kita telah berlayar jauh dengan
kapal bercadik. Ke Utara mengarungi laut Tiongkok, ke Barat memotong lautan
Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Kian ramainya pengangkutan
komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di
Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Sumber
sejarah pelayaran Indonesia dalam masa prasejarah bisa kita lihat dari relief
di candi-candi Hindu dan Budha yang dibangun setelah tahun 500 Masehi, seperti
Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Di sana dapat dilihat bahwa pada masa itu
sudah berlangsung pelayaran niaga. Perlayaran ini merupakan wujud aktivitas
migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi pada kawasan yang lebih
jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang dagangan.[1]
Laut
tidak hanya sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi laut juga telah memainkan
peran yang besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Lewat lautlah nenek moyang Indonesia yang dikatakan berasal dari Hindia
Belakang mencapai negeri ini. Lewat laut pulalah berbagai peradaban dan
kebudayaan dari berbagai belahan dunia, seperti dari India, Arab, Cina, dan
kemudian Eropa masuk ke negara ini. Di samping itu, laut juga menjadi lahan
tempat sebagian besar orang Indonesia, langsung atau tidak langsung mencari
nafkah.[2]
Sama
dengan wujud fisiknya, dunia maritim adalah sebuah dunia yang luas, dalam,
sukar ditebak sebab ia bisa tenang memberikan kedamaian dan rezeki, namun
dengan tiba-tiba dapat berubah menjadi ganas menakutkan. Berbagai ungkapan,
penilaian, dan keterangan juga diberikan oleh umat manusia terhadap dunia laut
ini. Masyarakat memiliki pandangan tersendiri mengenai laut.
Dari
perspektif ilmu sosial, khususnya sejarah, laut juga sebuah dunia yang memiliki
hubungan tidak terpisahkan dari alam manusia. Hubungan itu melahirkan sebuah
dinamika kelautan yang melahirkan sejumlah aspek. A.B Lapian mengatakan ada
tujuh aspek maritim yang berlaku di dalam masyarakat di berbagai pelosok dunia,
yaitu perdagangan, pelayaran, perkapalan, tradisi bahari, mitologi laut,
perompakan, perikanan (A.B. Lapian 1991; 1). Sedangkan Baharuddin Lopa
menambahkan satu aspek lagi, yakni hukum laut (Baharuddin Lopa; 1982:1-5).
Aspek-aspek ini juga telah menjadi bagian dari sejarah (peradaban) bangsa
Indonesia.[3]
Pengalaman
sejarah Indonesia menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan bangsa ini mempunyai
hubungan yang erat dengan keadaan dan kebijaksanaan politik (dan ekonomi), baik
yang dijalankan oleh negara pada tingkat nasional atau kebijakan politik (dan
ekonomi) mancanegara di tingkat internasional. Kehadiran pemerintah Kolonial
Belanda dengan berbagai kebijaksanaan politiknya juga telah memberi pengaruh
yang besar terhadap berbagai aspek maritim di negara kepulauan ini., sebuah
tatanan ekonomi yang antara lain menciptakan adanya daerah “pusat” dan
:pinggiran”. Pada tahap selanjutnya, tidak hanya daerah-daerah di Indonesia
yang dijadikan sebagai bagian dari tatanan (kegiatan) ekonomi Hindia-Belanda
semata, tetapi Hindia-Belanda itu sendiri juga telah menjadi bagian tatanan
(kegiatan) ekonomi internasional. Artinya Hindia-Belanda sendiri juga menjadi
sebuah “daerah” dari sebuah “pusat” dalam tatanan ekonomi dunia (global)
(Lindbland 1994:93-94: Campo 1982:23-25).[4]
Kehadiran
kaum kolonialisme telah menggiring aktivitas bahari Indonesia umumnya dan
daerah-daerah di negara kepulauan ini khususnya ke dalam suatu tatanan ekonomi
kolonial
·
Pokok Bahasan dan Masalah
Tradisi
keberanian leluhur bangsa Indonesia yang menjelajah laut hingga ke Manca Negara
tidak berlanjut ke anak cucunya karena orientasi mereka beralih ke daratan.
Indonesia sebagai negara kepulauan justru tidak menjadikan laut sebagai fokus
perhatiannya. Setidaknya ini merupakan hasil dari pengamatan sekaligus
peekembanngan di tingkat nasional dalam sepuluh tahun terakhir tentang arah dan
kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengelola negeri ini (Dault, 2008).
Oleh karena itu muncullah ungkapan “negara kelautan namun orientasi ke daratan”
(Zuhdi, 2006:5). Visi kemaritiman dalam mengelola negara semestinya sudah
dilakukan oleh pemerintah sejak lama mengingat Indonesia secara geografis
historis letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalur maritim
atau pertemuan berbagai jalur pelayaran internasional yang berlangsung sejak
berabad silam.[5]
Selama
ini telah terjadi kesenjangan tentang penghargaan dan penghayatan antara
kawasan laut dan daratan. Untuk kurun waktu yang lama, laut hampir tidak pernah
diperhatikan dengan seksama. Kecuali untuk kepentingan politisi, demi persatuan
dan kesatuan, demi penguasaan (secara verbal) atas kawasan perairannya,
penghargaan akan arti dan sumbangan laut bagi bangsa Indonesia serta
pemanfaatan segala potensi yang dimilikinya hampir terabaikan sama sekali.
Kecuali didendangkan lewat lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” atau
slogan-slogan “Kita Bangsa Bahari” dan “Kita Keturunan Pelaut”, hampir tidak
dikenal lagi bentuk-bentuk penghargaan oleh orang Indonesia terhadap diri
mereka dan masa lalu mereka sebagai bangsa bahari.[6]
Terabaikannya
dunia maritim Indonesia ini juga dilakukan oleh para ilmuwan sosial. Sangat
sedikit perhatian yaang mereka berikan terhadap dunia maritim bangsa yang
dikatakan sebagai bangsa pelaut ini. dibandingkan dengan kajian terhadap
berbagai aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tanah darat yang sangat
banyak, maka penghargaan terhadap aspek-aspek sosial atau budaya maritim bangsa
ini hanya bisa dihitung dengan jari. Kalaupun
ada, maka penelitian itu pun pada umumnya dilakukan oleh ilmuwan asing. Ironis
sekali.
Apa
yang terjadi pada tingkat nasional juga terjadi pada tingkat daerah. Penghargaan
pemerintah daerah atau ilmuwan di daerah (terutama ilmuwan sosial) terhadap dunia
baharinya juga sanngat kecil. Terdapat kesan yang sangat nyata, pemerintah
daerah atau orang-orang di daerah umumnya menganggap bahwa dunia baharinya
sebagai “lahan yang kering”. Karena itu anggaran untuk pengembannngan dan
pendayagunaan kawasan laut hampir tidak mendapat porsi APBD (Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah), serta dinamika dunia laut tidak menumbuhkan minat ilmuwan
daerah untuk menelitinya.[7]
Pemikiran
kemaritiman sebagai pusat perhatian juga belum tampak dalam berbagai kajian
akademis misalnya di bidang ekonomi, sosial, politik, antropologi, dan sejarah.
Di bidang sejarah, fokus historiografi Indonesia lebih banyak membahas tentang persoalan yang
menyangkut daratan, baik masyarakat maupun institusi sosial politiknya. Buku
karya Adrian B. Lapian “Pelayaran dan
Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17” misalnya, merupakan salah satu
sumbangan berharga dalam historiografi bahari di Indonesia. Banyak informasi
dalam buku ini yang sekaligus menjadi pancingan untuk studi lebih lanjut
tentang kemaritiman yang meliputi aspek teknologi, pusat-pusat pelayaran, pola
pelayaran dan perdagangan, dan pelabuhan. Buku ini juga memaparkan tentang hal
yang di atur dalam hukum laut Amanna
Gappa.
Pentingnya
laut sebagai suatu kajian maritim juga dapat dibaca dari pengantar Lapian
tentang teori Mahan (Van Leur dan Verhoeven: 1974). Bercermin pada mahan dan
menimbang posisi Indonesia sendiri, Lapian berpendapat bahwa riset sejarah
maritim tidak boleh diabaikan. Sebagaimana dikatakan oleh Mahan dalam
bukunya The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, seperti dikutip
oleh Lapian dalam mengantar pemikiran Mahan ke komunitas ilmuwan disini bahwa
“para sejarawan
pada umumnya tidak mengenal keadaan laut, karena mereka tidak menaruh perhatian
khusus terhadapnya, lagi pula mereka tidak memiliki pengetahuan khusus tentang
laut; dan mereka tidak mengindahkan pengaruh daripada kekuatan laut yang sangat
menentukan jalannya peristiwa-peristiwa besar di dunia”.
Mahan
membuktikan pentingnya laut mempengaruhi jalannya sejarah suatu bangsa.
Menurut
Mahan, ada 6 unsur yang menentukan dapat tidaknya suatu negara berkembang
menjadi kekuatan laut, yaitu:
1. Letak
geografis
2. Bentuk
tanag dan pantainya
3. Luas
wilayah
4. Jumlah
penduduk
5. Sifat
pemerintah termasuk lembaga-lembaga nasional
Uraian ini sebenarnya ditujukan kepada bangsa dan pemerintah Amerika
Serikat, yang mengabaikan potensi samudera yang mengelilingi negara itu, yaitu
Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik karena waktu itu negara lebih
berorientasi ke daratan serta politik isolasinya menghalangi negara ini untuk
menjadi sebuah negara besar. Sebagai contoh Mahan menarik perhatian masyarakat
Amerika Serikat akan potensi negaranya sebagai negara yang memiliki potensi
kekuatan laut yang besar, karena selama ini usaha-usaha negara untuk membuka
wilayah wild west, masih menurut Mahan, mengabaikan peranan laut negara.
Dampak dari pemikiran Alfred Thayer Mahan ini adalah penggalakkan pembangunan
Angkatan Laut Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19.
Teori Mahan ini oleh J.C. van Leur dibawa ke dalam uraiannya tentang
kepulauan Indonesia. Tokoh ini membawa wawasan maritim Mahan dalam kaitannya
dengan sejarah VOC di Indonesia. Ia menunjuk peranan VOC sebagai kekuatan
maritim yang besar, pihak lainnya, F.R.J Verhoeven menguraikan peranan VOC
dalam masa permulaannya sebagai alat perang yang bergerak di laut dan berhasil
mengalahkan musuh Republik Belanda, khususnya armada Spanyol dan Portugis, dan
mematahkan persaingan dengan Inggris di perairan Indonesia. Pada masa sebelum
VOC didirikan, pemimpin Belanda telah memikirkan pembentukan kekuatan perang
untuk mematahkan kekuatan Spanyol dan Portugis di seberang laut. Verhoeven
menyimpulkan bahwa VOC didirikan semata untuk kepentingan perniagaan merupakan
pendapat yang kurang tepat.
Perbincangan tentang Teori Mahan ini memunculkan dua istilah penting
dalam sejarah maritim, yakni sea power dan naval power. Kapan
disebut sea power jika mengacu kepada kontrol menyeluruh atas lautan,
sedang yang kedua cenderung kepada penguasaan angkatan bersenjata yang terorganisasi
di lautan. Naval power digunakan dengan maksud yang lebih dari hanya sebagai
sebutan suatu negara, suatu Kompeni (seperti VOC maupun EIC) diberi konsensi
yang memiliki armada yang dikirim berperang melawan musuh atau yang digunakan
untuk melindungi perniagaan. Pemakaian istilah naval power berarti penilaian
kembali seluruh hubungan sejarah dengan mengutamakan segi pengaruh laut. VOC
lahir dari perang dan selama hayatnya merupakan badan perdagangan dan alat
perang sekaligus. Dalam dasawarsa-dasawarsa pertama, VOC dapat dikatakan lebih banyak
berperang daripada berdagang. Pada dasarnya, VOC merupakan sebuah institusi
yang bertujuan ganda, yaitu berdagang dan berperang.
Istilah naval power bukan hanya inventarisasi sederhana bagi
suatu negara yang menyediakan kapal-kapal perang untuk merugikan musuhnya,
namun istilah ini lebih dari efek majemuk yang dapat dicapai oleh organisasi
politik dan maritim dalam pengaruh timbal balik dengan struktur sosial ekonomi
zaman itu untuk melaksanakan tujuan-tujuan peperangan. Dengan makna seperti
itu, naval power terjalin dalam 1) organisasi negara-negara Eropa
modern, 2) organisasi angkatan laut yang berdiri sendiri, dan 3) perkembangan
kapitalisme awal.
Perencanaan
dan manajemen dari VOC merupakan suatu bentuk yang sangat modern bagi zamannya.
Dalam paruh kedua abad ke-17, arti pelayaran seberang lautan dengan
persyaratannya yang khusus tentang pengangkutan dan persenjataan kapal terlihat
dari nilai kapal pelayaran Hindia untuk perang di laut. Kedudukan monopoli VOC
pada abad ke-17 telah menghambat pelayaran dan perniagaan bebas bangsa
Indonesia, dan VOC menciptakan penanaman-penanaman kolonial tersendiri.[8]
Selain
yang telah dijabarkan di atas, dalam kemaritiman terdapat berbagai masalah yang
harus diselesaikan. Dalam sebuah acara bertajuk “Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia
Sektor Kelautan”, yang digelar di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KPP),
Jakarta, Selasa (17/2)[9],
wakil ketua KPK Zurkanain memaparkan lima permasalahan utama dalam dunia
kemaritiman. Kelima masalah utama itu antara lain :
1. Permasalahan
terkait batas wilayah laut yang penting, karena berpotensi dapat mengurangi
kawasan laut Indonesia serta jumlah pulau yang belum teridentifikasi.
2. Permasalahan
terkait tata ruang wilayah laut Indonesia, seperti berhubungan dengan belum
adanya penataan ruang laut diatas 12 mil, serta penggunaan ruang laut dinilai
masih parsial dan belum terintregasi.
3. Permasalahan
terkait ketatalaksanaan pengelolaan sumber daya kelautan.
4. Permasalahan
kelembagaan.
5. Permasalahan
regulasi.
Berbagai
fokus yang dilakukan antara lain adalah penetapan dan penegasan batas laut serta penataan
pengelolaan zona laut yang terintegrasi, penyempurnaan perundangan serta
pengembangan kapasitas kelembagaan dan data informasi hingga perlindungan
hak-hak masyarakat.
Sekalipun
kaya akan laut, bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai
pemakan ikan. Oleh karena itu, budaya maritim harus berwujud reformasi
kultural, atau jika meminjam istilah Presiden Terpilih, Bapak Joko Widodo, “Revolusi
Mental”, yang diawali dari meja makan, dimana ikan harus menjadi menu utama
bangsa Indonesia. Gemar makan ikan laut, selain mencerdaskan bangsa sebagaimana
bangsa Jepang memiliki tradisi kuat mengkonsumsi ikan, akan mendorong
terbenahinya tata kelola kelautan Indonesia yang tumpang tindih.
Jika
konsumsi ikan orang Indonesia menyamai orang Jepang, artinya dua kali lebih
banyak kebutuhan ikan dari data sekarang, itu akan mendorong Pemerintah untuk
serius menangani lautnya agar kebutuhan konsumsi ikan orang Indonesia
terpenuhi. Serius menangani tata kelola kelautan itu termasuk di dalamnya
adalah mengurai keruwetan yang terjadi karena tumpang tindih peraturan dan
tidak terkoordinasinya tata kelola laut karena ego sektoral.
Oleh
karena itu, Pemerintah mendatang dalam mewujudkan budaya maritim dengan cara
mendorong dunia pendidikan, keluarga dan lembaga terkait memiliki program makan
ikan laut. Membentuk suatu budaya itu tidak bisa instan tetapi harus dididik,
diajari dan diedukasi. Ini hal yang sederhana tetapi akan mengubah cara pandang
bangsa Indonesia terhadap lautnya. Jika makan ikan laut menjadi tradisi,
kebutuhan makan ikan meningkat, illegal fishing diperangi, pembangunan
instruktur kelautan dan kekuatan keamanan dan keselamatan laut ditingkatkan.
Pada ujungnya nanti Indonesia tidak membutuhkan banyak badan yang mengatur tata
kelola kelautan.
Diilhami
oleh Semangat Bahari yang pernah menjadikan keunggulan bangsa, upaya membangun
kejayaan Negara Maritim yang maju, mandiri dan bermartabat, memerlukan strategi
budaya untuk menyiapkan generasi muda yang berkeyakinan diri, sanggup mengambil
tanggung-jawab masa depan, dan memiliki wawasan kebaharian yang mendalam, serta
didukung oleh keterampilan bahari yang andal. Strategi budaya ini merupakan
pemicu bagi transformasi jangka panjang menuju budaya Indonesia yang lebih
berorientasi pada kebaharian bagi generasi mudanya.[10]
Daftar Pustaka
Gustia Asnan. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Penerbit Ombak.
Sarasehan. 2014. Budaya Maritim
Indonesia, Peluang, Tantangan, dan Strategi. Jogjakarta.
Nagara,
Aditya. 1998. Kamus Bahasa Indonesia.
Surabaya: Bintang Usaha Jaya .
Ikawati. KPK Soroti Masalah Batas Wilayah Laut. Jurnal Maritim. Diakses pada
29 Januari 2017.
[1] Sarasehan. 2014. Budaya Maritim Indonesia, Peluang, Tantangan, dan
Strategi. Jogjakarta.
[2] Gustia Asnan. Dunia Maritim
Pantai Barat Sumatera. (Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2007) hlm. 3.
[3] Ibid; hlm. 7
[4] Ibid; hlm. 12-13.
[5] Yulianti (2013) “Perspektif Kemaritiman di Indonesia dan Kawasan Asia
Tenggara Lainnya”, Sejarah dan Budaya. Tahun ke-7, no. 2: 47-53
[6] Ibid; hlm. 4.
[7] Ibid; hlm. 5.
[8] Yulianti, op.cit, hlm. 47-49.
[9] Ikawati. KPK Soroti Masalah
Batas Wilayah Laut. Jurnal Maritim. Diakses pada 29 Januari 2017
[10] Sarasehan. 2014. Budaya Maritim Indonesia, Peluang, Tantangan, dan
Strategi. Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar