Selasa, 02 Juli 2019

TUGAS SEJARAH MARITIM INDONESIA


Pengertian, Pokok-Pokok Bahasan Serta Beberapa Masalah Sejarah Maritim Indonesia

·      Pengertian
Ada yang menganggap bahwa istilah maritim dan laut mempunyai arti yang sama. Selain istilah maritim dan laut juga terdapat istilah bahari. Ketiga istilah ini berbeda artinya. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia kata “Laut” berarti kumpulan air asin yang menggenangi dan membagi daratan atau benua, kata “Bahari” berarti mengenai kelautan. Kamus ini menerangkan bahwa salah satu maksud dari kata bahari adalah laut. Sedangkan kata “Maritim” berarti aktivitas yang berhubungan dengan laut, seperti perdagangan dan pelayaran. Pemahaman maritim merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan yang berhubungan dengaan kelautan atau disebut pelayaran niaga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa maritim adalah terminologi kelautan dan maritim berkenaan dengan laut yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan.
Sejak abad ke-9 Masehi, nenek moyang kita telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Ke Utara mengarungi laut Tiongkok, ke Barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Kian ramainya pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Sumber sejarah pelayaran Indonesia dalam masa prasejarah bisa kita lihat dari relief di candi-candi Hindu dan Budha yang dibangun setelah tahun 500 Masehi, seperti Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Di sana dapat dilihat bahwa pada masa itu sudah berlangsung pelayaran niaga. Perlayaran ini merupakan wujud aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi pada kawasan yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang dagangan.[1]
Laut tidak hanya sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi laut juga telah memainkan peran yang besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat dan bangsa Indonesia. Lewat lautlah nenek moyang Indonesia yang dikatakan berasal dari Hindia Belakang mencapai negeri ini. Lewat laut pulalah berbagai peradaban dan kebudayaan dari berbagai belahan dunia, seperti dari India, Arab, Cina, dan kemudian Eropa masuk ke negara ini. Di samping itu, laut juga menjadi lahan tempat sebagian besar orang Indonesia, langsung atau tidak langsung mencari nafkah.[2]
Sama dengan wujud fisiknya, dunia maritim adalah sebuah dunia yang luas, dalam, sukar ditebak sebab ia bisa tenang memberikan kedamaian dan rezeki, namun dengan tiba-tiba dapat berubah menjadi ganas menakutkan. Berbagai ungkapan, penilaian, dan keterangan juga diberikan oleh umat manusia terhadap dunia laut ini. Masyarakat memiliki pandangan tersendiri mengenai laut.
Dari perspektif ilmu sosial, khususnya sejarah, laut juga sebuah dunia yang memiliki hubungan tidak terpisahkan dari alam manusia. Hubungan itu melahirkan sebuah dinamika kelautan yang melahirkan sejumlah aspek. A.B Lapian mengatakan ada tujuh aspek maritim yang berlaku di dalam masyarakat di berbagai pelosok dunia, yaitu perdagangan, pelayaran, perkapalan, tradisi bahari, mitologi laut, perompakan, perikanan (A.B. Lapian 1991; 1). Sedangkan Baharuddin Lopa menambahkan satu aspek lagi, yakni hukum laut (Baharuddin Lopa; 1982:1-5). Aspek-aspek ini juga telah menjadi bagian dari sejarah (peradaban) bangsa Indonesia.[3]
Pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan bangsa ini mempunyai hubungan yang erat dengan keadaan dan kebijaksanaan politik (dan ekonomi), baik yang dijalankan oleh negara pada tingkat nasional atau kebijakan politik (dan ekonomi) mancanegara di tingkat internasional. Kehadiran pemerintah Kolonial Belanda dengan berbagai kebijaksanaan politiknya juga telah memberi pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek maritim di negara kepulauan ini., sebuah tatanan ekonomi yang antara lain menciptakan adanya daerah “pusat” dan :pinggiran”. Pada tahap selanjutnya, tidak hanya daerah-daerah di Indonesia yang dijadikan sebagai bagian dari tatanan (kegiatan) ekonomi Hindia-Belanda semata, tetapi Hindia-Belanda itu sendiri juga telah menjadi bagian tatanan (kegiatan) ekonomi internasional. Artinya Hindia-Belanda sendiri juga menjadi sebuah “daerah” dari sebuah “pusat” dalam tatanan ekonomi dunia (global) (Lindbland 1994:93-94: Campo 1982:23-25).[4]
Kehadiran kaum kolonialisme telah menggiring aktivitas bahari Indonesia umumnya dan daerah-daerah di negara kepulauan ini khususnya ke dalam suatu tatanan ekonomi kolonial 
·         Pokok Bahasan dan Masalah
Tradisi keberanian leluhur bangsa Indonesia yang menjelajah laut hingga ke Manca Negara tidak berlanjut ke anak cucunya karena orientasi mereka beralih ke daratan. Indonesia sebagai negara kepulauan justru tidak menjadikan laut sebagai fokus perhatiannya. Setidaknya ini merupakan hasil dari pengamatan sekaligus peekembanngan di tingkat nasional dalam sepuluh tahun terakhir tentang arah dan kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengelola negeri ini (Dault, 2008). Oleh karena itu muncullah ungkapan “negara kelautan namun orientasi ke daratan” (Zuhdi, 2006:5). Visi kemaritiman dalam mengelola negara semestinya sudah dilakukan oleh pemerintah sejak lama mengingat Indonesia secara geografis historis letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalur maritim atau pertemuan berbagai jalur pelayaran internasional yang berlangsung sejak berabad silam.[5]
Selama ini telah terjadi kesenjangan tentang penghargaan dan penghayatan antara kawasan laut dan daratan. Untuk kurun waktu yang lama, laut hampir tidak pernah diperhatikan dengan seksama. Kecuali untuk kepentingan politisi, demi persatuan dan kesatuan, demi penguasaan (secara verbal) atas kawasan perairannya, penghargaan akan arti dan sumbangan laut bagi bangsa Indonesia serta pemanfaatan segala potensi yang dimilikinya hampir terabaikan sama sekali. Kecuali didendangkan lewat lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” atau slogan-slogan “Kita Bangsa Bahari” dan “Kita Keturunan Pelaut”, hampir tidak dikenal lagi bentuk-bentuk penghargaan oleh orang Indonesia terhadap diri mereka dan masa lalu mereka sebagai bangsa bahari.[6]
Terabaikannya dunia maritim Indonesia ini juga dilakukan oleh para ilmuwan sosial. Sangat sedikit perhatian yaang mereka berikan terhadap dunia maritim bangsa yang dikatakan sebagai bangsa pelaut ini. dibandingkan dengan kajian terhadap berbagai aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tanah darat yang sangat banyak, maka penghargaan terhadap aspek-aspek sosial atau budaya maritim bangsa ini hanya bisa dihitung dengan jari. Kalaupun ada, maka penelitian itu pun pada umumnya dilakukan oleh ilmuwan asing. Ironis sekali.
Apa yang terjadi pada tingkat nasional juga terjadi pada tingkat daerah. Penghargaan pemerintah daerah atau ilmuwan di daerah (terutama ilmuwan sosial) terhadap dunia baharinya juga sanngat kecil. Terdapat kesan yang sangat nyata, pemerintah daerah atau orang-orang di daerah umumnya menganggap bahwa dunia baharinya sebagai “lahan yang kering”. Karena itu anggaran untuk pengembannngan dan pendayagunaan kawasan laut hampir tidak mendapat porsi APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah), serta dinamika dunia laut tidak menumbuhkan minat ilmuwan daerah untuk menelitinya.[7]
Pemikiran kemaritiman sebagai pusat perhatian juga belum tampak dalam berbagai kajian akademis misalnya di bidang ekonomi, sosial, politik, antropologi, dan sejarah. Di bidang sejarah, fokus historiografi Indonesia lebih banyak membahas tentang persoalan yang menyangkut daratan, baik masyarakat maupun institusi sosial politiknya. Buku karya Adrian B. Lapian “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17” misalnya, merupakan salah satu sumbangan berharga dalam historiografi bahari di Indonesia. Banyak informasi dalam buku ini yang sekaligus menjadi pancingan untuk studi lebih lanjut tentang kemaritiman yang meliputi aspek teknologi, pusat-pusat pelayaran, pola pelayaran dan perdagangan, dan pelabuhan. Buku ini juga memaparkan tentang hal yang di atur dalam hukum laut Amanna Gappa.
Pentingnya laut sebagai suatu kajian maritim juga dapat dibaca dari pengantar Lapian tentang teori Mahan (Van Leur dan Verhoeven: 1974). Bercermin pada mahan dan menimbang posisi Indonesia sendiri, Lapian berpendapat bahwa riset sejarah maritim tidak boleh diabaikan. Sebagaimana dikatakan oleh Mahan dalam bukunya  The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, seperti dikutip oleh Lapian dalam mengantar pemikiran Mahan ke komunitas ilmuwan disini bahwa
“para sejarawan pada umumnya tidak mengenal keadaan laut, karena mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadapnya, lagi pula mereka tidak memiliki pengetahuan khusus tentang laut; dan mereka tidak mengindahkan pengaruh daripada kekuatan laut yang sangat menentukan jalannya peristiwa-peristiwa besar di dunia”.
Mahan membuktikan pentingnya laut mempengaruhi jalannya sejarah suatu bangsa.
Menurut Mahan, ada 6 unsur yang menentukan dapat tidaknya suatu negara berkembang menjadi kekuatan laut, yaitu:
1.      Letak geografis
2.      Bentuk tanag dan pantainya
3.      Luas wilayah
4.      Jumlah penduduk
5.      Sifat pemerintah termasuk lembaga-lembaga nasional
Uraian ini sebenarnya ditujukan kepada bangsa dan pemerintah Amerika Serikat, yang mengabaikan potensi samudera yang mengelilingi negara itu, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik karena waktu itu negara lebih berorientasi ke daratan serta politik isolasinya menghalangi negara ini untuk menjadi sebuah negara besar. Sebagai contoh Mahan menarik perhatian masyarakat Amerika Serikat akan potensi negaranya sebagai negara yang memiliki potensi kekuatan laut yang besar, karena selama ini usaha-usaha negara untuk membuka wilayah wild west, masih menurut Mahan, mengabaikan peranan laut negara. Dampak dari pemikiran Alfred Thayer Mahan ini adalah penggalakkan pembangunan Angkatan Laut Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19.
Teori Mahan ini oleh J.C. van Leur dibawa ke dalam uraiannya tentang kepulauan Indonesia. Tokoh ini membawa wawasan maritim Mahan dalam kaitannya dengan sejarah VOC di Indonesia. Ia menunjuk peranan VOC sebagai kekuatan maritim yang besar, pihak lainnya, F.R.J Verhoeven menguraikan peranan VOC dalam masa permulaannya sebagai alat perang yang bergerak di laut dan berhasil mengalahkan musuh Republik Belanda, khususnya armada Spanyol dan Portugis, dan mematahkan persaingan dengan Inggris di perairan Indonesia. Pada masa sebelum VOC didirikan, pemimpin Belanda telah memikirkan pembentukan kekuatan perang untuk mematahkan kekuatan Spanyol dan Portugis di seberang laut. Verhoeven menyimpulkan bahwa VOC didirikan semata untuk kepentingan perniagaan merupakan pendapat yang kurang tepat.
Perbincangan tentang Teori Mahan ini memunculkan dua istilah penting dalam sejarah maritim, yakni sea power dan naval power. Kapan disebut sea power jika mengacu kepada kontrol menyeluruh atas lautan, sedang yang kedua cenderung kepada penguasaan angkatan bersenjata yang terorganisasi di lautan. Naval power digunakan dengan maksud yang lebih dari hanya sebagai sebutan suatu negara, suatu Kompeni (seperti VOC maupun EIC) diberi konsensi yang memiliki armada yang dikirim berperang melawan musuh atau yang digunakan untuk melindungi perniagaan. Pemakaian istilah naval power berarti penilaian kembali seluruh hubungan sejarah dengan mengutamakan segi pengaruh laut. VOC lahir dari perang dan selama hayatnya merupakan badan perdagangan dan alat perang sekaligus. Dalam dasawarsa-dasawarsa pertama, VOC dapat dikatakan lebih banyak berperang daripada berdagang. Pada dasarnya, VOC merupakan sebuah institusi yang bertujuan ganda, yaitu berdagang dan berperang.
Istilah naval power bukan hanya inventarisasi sederhana bagi suatu negara yang menyediakan kapal-kapal perang untuk merugikan musuhnya, namun istilah ini lebih dari efek majemuk yang dapat dicapai oleh organisasi politik dan maritim dalam pengaruh timbal balik dengan struktur sosial ekonomi zaman itu untuk melaksanakan tujuan-tujuan peperangan. Dengan makna seperti itu, naval power terjalin dalam 1) organisasi negara-negara Eropa modern, 2) organisasi angkatan laut yang berdiri sendiri, dan 3) perkembangan kapitalisme awal.
Perencanaan dan manajemen dari VOC merupakan suatu bentuk yang sangat modern bagi zamannya. Dalam paruh kedua abad ke-17, arti pelayaran seberang lautan dengan persyaratannya yang khusus tentang pengangkutan dan persenjataan kapal terlihat dari nilai kapal pelayaran Hindia untuk perang di laut. Kedudukan monopoli VOC pada abad ke-17 telah menghambat pelayaran dan perniagaan bebas bangsa Indonesia, dan VOC menciptakan penanaman-penanaman kolonial tersendiri.[8]
Selain yang telah dijabarkan di atas, dalam kemaritiman terdapat berbagai masalah yang harus diselesaikan. Dalam sebuah acara bertajuk “Gerakan Nasional Penyelamatan  Sumber Daya Alam Indonesia Sektor Kelautan”, yang digelar di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KPP), Jakarta, Selasa (17/2)[9], wakil ketua KPK Zurkanain memaparkan lima permasalahan utama dalam dunia kemaritiman. Kelima masalah utama itu antara lain :
1.      Permasalahan terkait batas wilayah laut yang penting, karena berpotensi dapat mengurangi kawasan laut Indonesia serta jumlah pulau yang belum teridentifikasi.
2.      Permasalahan terkait tata ruang wilayah laut Indonesia, seperti berhubungan dengan belum adanya penataan ruang laut diatas 12 mil, serta penggunaan ruang laut dinilai masih parsial dan belum terintregasi.
3.      Permasalahan terkait ketatalaksanaan pengelolaan sumber daya kelautan.
4.      Permasalahan kelembagaan.
5.      Permasalahan regulasi.
Berbagai fokus yang dilakukan antara lain adalah penetapan  dan penegasan batas laut serta penataan pengelolaan zona laut yang terintegrasi, penyempurnaan perundangan serta pengembangan kapasitas kelembagaan dan data informasi hingga perlindungan hak-hak masyarakat.
Sekalipun kaya akan   laut, bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan ikan. Oleh karena itu, budaya maritim harus berwujud reformasi kultural, atau jika meminjam istilah Presiden Terpilih, Bapak Joko Widodo, “Revolusi Mental”, yang diawali dari meja makan, dimana ikan harus menjadi menu utama bangsa Indonesia. Gemar makan ikan laut, selain mencerdaskan bangsa sebagaimana bangsa Jepang memiliki tradisi kuat mengkonsumsi ikan, akan mendorong terbenahinya tata kelola kelautan Indonesia yang tumpang tindih.
Jika konsumsi ikan orang Indonesia menyamai orang Jepang, artinya dua kali lebih banyak kebutuhan ikan dari data sekarang, itu akan mendorong Pemerintah untuk serius menangani lautnya agar kebutuhan konsumsi ikan orang Indonesia terpenuhi. Serius menangani tata kelola kelautan itu termasuk di dalamnya adalah mengurai keruwetan yang terjadi karena tumpang tindih peraturan dan tidak terkoordinasinya tata kelola laut karena ego sektoral.
Oleh karena itu, Pemerintah mendatang dalam mewujudkan budaya maritim dengan cara mendorong dunia pendidikan, keluarga dan lembaga terkait memiliki program makan ikan laut. Membentuk suatu budaya itu tidak bisa instan tetapi harus dididik, diajari dan diedukasi. Ini hal yang sederhana tetapi akan mengubah cara pandang bangsa Indonesia terhadap lautnya. Jika makan ikan laut menjadi tradisi, kebutuhan makan ikan meningkat, illegal fishing diperangi, pembangunan instruktur kelautan dan kekuatan keamanan dan keselamatan laut ditingkatkan. Pada ujungnya nanti Indonesia tidak membutuhkan banyak badan yang mengatur tata kelola kelautan.
Diilhami oleh Semangat Bahari yang pernah menjadikan keunggulan bangsa, upaya membangun kejayaan Negara Maritim yang maju, mandiri dan bermartabat, memerlukan strategi budaya untuk menyiapkan generasi muda yang berkeyakinan diri, sanggup mengambil tanggung-jawab masa depan, dan memiliki wawasan kebaharian yang mendalam, serta didukung oleh keterampilan bahari yang andal. Strategi budaya ini merupakan pemicu bagi transformasi jangka panjang menuju budaya Indonesia yang lebih berorientasi pada kebaharian bagi generasi mudanya.[10]



Daftar Pustaka
Gustia Asnan. 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Penerbit Ombak.
Sarasehan. 2014. Budaya Maritim Indonesia, Peluang, Tantangan, dan Strategi. Jogjakarta.
Nagara, Aditya. 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya: Bintang Usaha Jaya .
Ikawati. KPK Soroti Masalah Batas Wilayah Laut. Jurnal Maritim. Diakses pada 29 Januari 2017.



[1] Sarasehan. 2014. Budaya Maritim Indonesia, Peluang, Tantangan, dan Strategi. Jogjakarta.
[2] Gustia Asnan. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. (Jogjakarta: Penerbit Ombak, 2007) hlm. 3.
[3] Ibid; hlm. 7
[4] Ibid; hlm. 12-13.
[5] Yulianti (2013) “Perspektif Kemaritiman di Indonesia dan Kawasan Asia Tenggara Lainnya”, Sejarah dan Budaya. Tahun ke-7, no. 2: 47-53
[6] Ibid; hlm. 4.
[7] Ibid; hlm. 5.
[8] Yulianti, op.cit, hlm. 47-49.
[9] Ikawati. KPK Soroti Masalah Batas Wilayah Laut. Jurnal Maritim. Diakses pada 29 Januari 2017
[10] Sarasehan. 2014. Budaya Maritim Indonesia, Peluang, Tantangan, dan Strategi. Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....