Hari ini saya pulang
kampung. Eh bukan pulang kampung, tapi pergi nyelawat ke rumah teman yang
ayahnya baru meninggal. Kebetulan rumah teman saya itu sedaerah dengan rumah
orang tua saya. Ya begitulah.
Pukul 08.37 kami berangkat dari Kota Sabak dan sampai di rumah temanku pukul 09.59. ketika kami sampai, jenazah sudah dimakamkan sehingga kami hanya dapat bertemu dengan keluarga almarhum. Kami mengobrol seputar sakit almarhum namun kemudian beralih ke percakapan lainnya. Tak apik terlalu lama bercerita mengenai yang sudah tiada. Tak lama kemudian juga datang keluarga mereka dari daerah lain. Dan sepertinya rombongan yang baru datang ini mengenal (almarhum) ayah saya. Sekilas saya mendengar percakapan mereka meski tak bermaksud menguping. Mereka seperti menanyakan siapa gerangan gadis muda yang duduk disamping anak si pemilik rumah.
“Iki anak’e arwahe Lek
Sirun.” Jelas Ibu teman saya.
“Anak’e seng ragil yo?”
“Iyo, kan anak’e telu, iki
seng wedok dewek, seng ragil.”
“Lah, wes gadis rupane.”
Dengan pandangan menuju ke
arah saya. Saya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Dan dilanjutkan beberapa
pertanyaan seputar tinggal dimana, kerja apa.
Seperginya rombongan ini,
teman saya bercerita bahwa ayahnya (alm) pernah cerita ke dia kalau ayah saya (alm)
merupakan mantan dalang di tempat tinggalnya yang lama.
“Iya apa? Tanya saya tak
percaya.
“Iya, Bapak yang bilang.” Kemudian
dia memastikan dengan bertanya ke ibunya. Kata ibunya, ”Bukan dalang, tapi
penembang uro-uro”. “Dulu bapakmu (ayah saya. Red) terkenal sebagai penembang
uro-uro di Parit 9.”
Sekedar info, Parit 9 itu
merupakan pemukiman orang Jawa (perantauan) di Mendahara yang sudah ada sejak
tahun 1964. Bahkan bisa lebih lama daripada tahun tersebut karena sejak tahun
1952 telah ada orang Jawa di Mendahara, namun pemukiman awalnya terletak di Parit 7. Saat ini parit 9 sudah sepi dikarenakan pendudukknya sudah pindah ke
Kuala Mendahara (Kelurahan Mendahra Ilir) dan daerah lainnya yang lebih mudah
akses pendidikan dan ekonomi. Yang tertinggal hanya berupa lahan perkebunan
kelapa dengan satu dua pondok untuk beristirahat atau bangsal (menginap di area
kebun karena kerja).
Lanjut cerita mengenai
uro-uro tadi. Karena penasaran segera saya searching “uro-uro Jawa”. Keluarlah
hasilnya. Uro-uro merupakan tradisi menyanyi orang Jawa yang ditujukan untuk
diri sendiri dan dilakukan sambil melakukan aktivitas sehari-hari. Uro-uro ini
memiliki banyak pengertian. Ada yang menyebut uro-uro sebagai nyanyian tanpa
alat musik namun ada juga yang menyebut nyanyian dengan alat musik sebagai
uro-uro. Pada masa penjajahan, uro-uro sering dinyanyikan sebagai penghibur
diri sekedar menghapus kesedihan akibat pejajahan. Uro-uro semacam “kebahagian”nya
orang Jawa karena melalui uro-uro mereka bebas mengungkapkan perasaannya
melalui tembang. Lirik dari uro-uro biasanya berupa pitutur-pitutur luhur,
nasehat-nasehat yang luhur yang menceritakan tentang bagaimana kehidupan di dunia
dan penciptanya.
Sewaktu ayah saya masih tinggal
di parit 9 tersebut, uro-uro tak hanya dinyanyikan untuk diri sendiri namun
juga ditembangkan untuk didengar oleh orang lain. Karenanya ayah saya kemudian
dikenal sebagai penembang uro-uro. Kebetulan ayah teman saya ini merupakan
tetangga ayah saya dulu di Parit 9.
Jujur, sebenarnya saya tak begitu
paham mengenai uro-uro. Apa yang saya tulis berdasarkan hasil pencarian yang
saya dapatkan dan juga cerita dari
ibu teman saya tadi. Ibu saya juga tak pernah cerita kalau ayah saya pernah
menjadi penembang uro-uro. Mungkin karena ketemunya ibu saya dengan ayah saya
sudah memasuki tahun 1988, dan pada saat tersebut ayah saya sudah hijrah dan bermukim
di Sungai Siput, Desa Sinar Kalimantan.
Saya juga membuka youtube dan mendengarkan uro-uro. Bisa lihat di facebook saya "Rihand Triyani".
Sekian
Tambahan tak penting:
karena mengetik tulisan ini, keyboard notebook saya kembali normal setelah
sebelumnya sempat error. Alhadulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar