Sabtu, 16 Mei 2020 saya mengikuti webinar yang diadakan oleh Komunitas Gemulun Indonesia bersama Para Pemerhati Budaya Jambi. Webinar dengan tema “Wabah dalam Catatan Sejarah Jambi” ini menghadirkan pembicara yang berasal dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Sejarawan Nasional, dosen sejarah Universitas Batanghari, dan Penggiat Budaya Jambi. Diskusi dilakukan melalui aplikasi google meet di jam 3 sore sampai jam 5 sore.
Saya mendaftar webinar
ini pada hari Kamisnya dan pihak Komunitas Gemulun menghubungi saya melalui whatsapp di hari Sabtunya. Diwaktu yang
bersamaan saya juga mendaftar webinar yang diadakan oleh Perhimpunan Prodi
Sejarah se-Indonesia dengan tema “Ngabuburit Bareng Sejarawan, Pendekatan
Budaya dalam Penanganan Wabah”. Waktu pelaksanaan diskusi juga sama yakni di
hari Sabtu, 16 Mei 2020 pukul 15-00 s.d 17.00 WIB. Akan tetapi webinar ini
dilakukan di aplikasi zoom. Dikarenakan
jenis aplikasi yang digunakan berbeda, maka saya berinisiatif untuk mendaftar
webinar ini juga. Akan tetapi, pemberitahuan link join meeting beserta ID dan password disampaikan melalui email dan saya baru cek email di hari Sabtu
pukul 16.44. Jadilah saya tidak mengikuti webinar ini.
Kembali ke webinar yang
saya ikuti tadi sore. Pembicara pertama merupakan sejarawan dari Balai Pelestarian
Nilai Budaya Kepri, Dedi Arman. Beliau menuturkan bagaimana peran suatu
penyakit dalam sejarah. Meski memiliki peran penting namun belum banyak
mendapat tempat dalam historiografi Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan
sejarah Jambi yang belum mendapat perhatian yang memadai jika dibandingkan
dengan sejarah daerah lain di Sumatera, seperti Aceh dan Minangkabau. Dalam powerpoint-nya juga disampaikan oleh
beliau bahwa wabah corona yang terjadi di tahun 2020 dapat menjadi moment bagi
masyarakat untuk menulis sejarah wabah penyakit di daerahnya masing-masing
(Jambi khususnya). Sehingga sejarah tidak hanya ditulis oleh orang tertentu dan
membahas mengenai orang besar saja namun juga ditulis oleh masyarakat untuk
masyarakat itu sendiri.
Saya tidak dapat fokus menyimak
apa yang dipaparkan oleh pemateri dikarenakan posisi saya saat itu sedang
berada di atas kendaraan, baru pulang dari menjenguk teman yang baru saja
melahirkan. Salah satu keuntungan diskusi online
adalah kita bisa mengikuti diskusi sambil melakukan pekerjaan yang lainnya.
Memasuki pembicara
ke-2, seorang dosen sejarah dari Universitas Batanghari Jambi, Deky Saputra. Hampir
sebagian besar pemaparan dari beliau tidak saya simak dikarenakan saya left sendiri dari ruang diskusi dan saya
tidak bisa harus sering-sering berhenti untuk join again. Saya pikir, secepatnya sampai dirumah agar lekas fokus mengikuti
dikusi. Apalagi kondisi baterai hp saya yang tinggal 10%. Tapi ternyata saya
justru mendapat kendala lain di perjalanan. Motor yang saya kendarai kehabisan
bensin. Salah saya juga tidak isi dulu sebelum pergi menjenguk teman tadi. Terpaksa
saya harus berjalan kira-kira 100 meter untuk mencari kios minyak terdekat.
Setelah mendapatkan
asupan bensin yang mencukupi, saya kembali melaju menuju rumah. Saya sampai di
rumah pukul 16.00. Tentu saja benda pertama yang saya tuju adalah colokan
beserta charge hp. Segera saya join again
dalam diskusi. Sedikit pemaparan yang sempat saya simak dari pemateri ke-2
adalah mengenai penanganan wabah yang pernah dilakukan di Kerinci. Masyarakat kerinci
membuat pola pemukiman yang unik untuk mengatasi bila terjadi wabah di daerah
tersebut. Di bentuk rumah mereka, terdapat pintu penghubung satu dengan lainnya
dan terdapat ruang khusus yang bisa digunakan untuk meng-karantina orang yang
sakit. Disediakan pula lumbung padi yang berjejer di pemukiman tersebut yang
berfungsi sebagai stok makanan saat terjadi wabah atau paceklik. Di bagian luar
pemukiman, berjejer ditanam tanaman yang fungsinya sebagai obat. Selain itu, di
rumah tradisional Kerinci, dibagian dapur terdapat sudut yang bernama “pangau”.
Tempat ini merupakan tempat mandi uap dengan rempah-rempah.
Dari hal ini tentu kita
dapat melihat bahwa nenek moyang kita dulu begitu sigap dalam menghadapi wabah.
Diakhir pemaparan, pemateri mengatakan bahwa sistem pengetahuan nenek moyang
yang dianggap basi, ketinggalan zaman, tidak berguna, itulah yang lebih cocok dengan
kita dibandingkan dengan yang kita adopsi dari luar. Karena tidak cocok dengan
karakter masyarakat kita. Jika masyarakat kita ingin mnegadopsi bentuk sistem
dari luar harus dilihat dulu apakah hal tersebut sesuai dengan karakteristik
masyarakat kita atau tidak.
Berlanjut ke pemaparan
pemateri ke-3. Seorang sejarawan nasional bernama Wenri Wanhar. Penyakitnya saya
jika mengikuti seminar atau diskusi online adalah kurang fokus. Saya malah menyibukkan
diri dengan hal lain. Diskusi online ditutup pukul 17.00.
Kesimpulan yang saya
dapat dari diskusi tadi adalah bahwa wabah penyakit pernah terjadi sebelumnya
di Indonesia dan hal tersebut tercatat dalam beberapa jurnal maupun catatan
sejarah lainnya. Sayangnya buku maupun jurnal mengenai penyakit yang pernah ada
belum banyak ditulis dan sangat terbatas. Itu pun sebagaian besar kajiannya di
pulau Jawa. Salah satu tantangan dalam menulis sejarah penyakit di Nusantara
adalah mencari dan membaca arsip-arsip Kolonial Belanda. Dari melihat sejarah,
kita menjadi tau bagaimana masyarakat pada masa tersebut menyikapi dan menangani
suatu penyakit atau wabah yang terjadi. Dengan adanya wabah covid-19 membuka mata kita untuk kembali
melihat apa yang dilakukan nenek moyang kita pada situasi seperti ini dan
menerapkan kembali apa yang diajarkan selagi masih memungkinkan dan relevan. Adanya
covid-19 juga menyadarkan kita bahwa
penting untuk mengarsipkan dan menuliskan apa yang terjadi di daerah
masing-masing dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya yang tentu nantinya
catatan tersebut dapat menjadi sebuah kajian sejarah penting bagi masa yang
akan datang.
Rihand Triyani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar