Novel “kasih Tak Terlarai” karya Suman Hasibuan atau lebih dikenal dengan Suman Hs merupakan novel cinta yang menceritakan kisah cinta yang tak direstui pihak keluarga perempuan. Diceritakan di novel mengenai seorang bujang bernama Taram yang menyukai kembang kampungnya yang bernama Nurhaida. Nurhaida adalah primadona di kampung Taram, kecantikannya terkenal diseluruh penjuru kampung, dan tak sedikit orang yang telah datang meminang. Namun ayah Nurhaida adalah tipe ayah yang tinggi hati dan pemilih dalam mencari pasangan untuk anak gadisnya. Setiap lamaran yang datang selalu ditolak dengan alasan tidak sepadan dengan keluarganya. Begitu juga yang terjadi dengan lamaran si Taram. Meski si Taram merupakan anak kepala kampung, namun lamaran Taram dienyahkan karena ternyata si Taram hanya anak angkat kepala kampung. Padahal cinta Taram tak pula bertepuk sebelah tangan. “Bagaimana di hatimu, begitu pula di hatiku.” begitu kata Nurhaida untuk Taram. Tapi apa hendak dikata ketika salah satu pihak orang tua tidak setuju. Dalam kenekatan akhirnya Taram dan Nurhaida memutuskan untuk kawin lari, pergi ke Singapura dan menikah disana.
Kisah
keduanya tak selesai begitu sampai di Singapura. Di tahun ketiga mereka tinggal
di Singapura, keberadaan mereka akhirnya diketahui oleh orang kampungnya. Tak
lama datang utusan dari keluarga Nurhaida untuk mengajak Nurhaida pulang ke
kampung. Dengan bumbu-bumbu cerita indah mengenai kampung yang membuat rindu
Nurhaida terhadap kampungnya menjadi tak tebendung. Dengan nekat, Nurhaida
pulang ke kampungnya tanpa memberi tahu Taram.
Kembalinya
Nurhaida ke kampungnya menimbulkan gempar. Nurhaida kembali menjadi kembang
desa di kampung tersebut. Meski tidak gadis namun kecantikannya tak berubah.
Dan si Taram juga tak kunjung menyusul Nurhaida ke kampung tersebut. Hingga
kemudian disahkan status janda Nurhaida di kampung tersebut. Lamaran untuknya
kembali berdatangan. Namun Ayah Nurhaida masih dengan sifat lamanya. Sangat
pemilih dan tinggi hati.
Suatu
hari di kampung tersebut berlabuh sebuah kapal milik orang Arab. Orang Arab
tersebut berniaga obat-obatan di kampung tersebut. Selain berniaga obat-obatan,
kiranya keilmuan agama orang Arab tersebut amat mumpuni hingga kemudian
dijadikan guru ngaji di kampung tersebut. Orang Arab tersebut sangat populer di
kampung tersebut. Dan karenanya Ayah Nurhaida sudi menjodohkan Nurhaida dengan
orang Arab tersebut. Namun orang Arab tersebut ternyata …. (jreng jreng jreng).
Ending dirahasiakan untuk menghargai
rasa penasaran yang ingin diciptakan penulisnya.
Novel
ini tak menjelaskan secara spesifik lokasi tempat yang menjadi latar novel,
hanya dijelaskan sebagai sebuah perkampungan melayu di Sumatera. Kampung kecil
yang masih menjungjung tinggi adat istiadat. Novel ini sendiri menggunakan
bentuk penulisan Melayu, sehingga akan sering ditemukan kata seperti duhai atau
wahai. Begitu juga istilah-istilah Melayu acap kali ada dalam setiap percakapan
antar tokohnya. Banyak pula pepatah-pepatah melayu yang terdapat di dalam novel
ini, seperti “Dari pada hidup bercermin bangkai, baiklah mati berkalang tanah”
atau ”Lupa ia bahasa nasi yang sudah di dalam mulut itu, ada kalanya ke tanah
dimakan ayam”.
Dalam
novel ini, penulis mencoba untuk menyampaikan bentuk kebiasaan bangsawan dalam
mencarikan jodoh anaknya yang menjadikan kekayaan dan martabat sebagai tolak
ukur. Tak pula dijelaskan secara spesifik latar waktu pada novel ini,
sepertinya tak jauh dari waktu cetakan pertama novel yakni tahun 1929. Digambarkan
dalam novel bahwa kebiasaan penduduk pada masa itu yang cenderung mengagung-agungkan
orang Arab.
Menurut saya, novel
dengan tebal 55 halaman cukup enak dibaca. Saya baca melalui app Ipusnas.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar