Selasa, 02 Juli 2019

CAMAT

“Twing”
Sebuah nada pesan wa masuk mengganggu konsentrasiku yang sedang kalut karena semua data rekaman wawancara penelitian hilang. Rasanya pengen nangis sambil nyakar tembok, tapi baru ingat kalau tembok bukan milik pribadi alias atas nama pemilik kos. Takutnya, nanti akan menimbulkan tanda tanya besar ke penghuni kos selanjutnya jika di tembok kamarku ada bekas cakaran manusia.
Ku buka wa, ternyata kiriman grup. Rasanya bosan dengan kiriman-kiriman grup yang terkadang hanya berupa spam tanpa kpentingan. Namun terkadang ketika kiriman itu diabaikan, ternyata ada informasi yang disampaikan.
Kebetulan pesan yang masuk di sebuah grup yang kirimannya baru 4 pesan. Jadi tidak terlalu malas untuk membukanya. Ketika sudah mencapai jumlah ratusam, biasanya sih cuma dibuka aja tanpa dibaca. Yang penting notifikasi-nya hilang.
Sebuah grup untuk event Gelora Ramadhan menampilkan 4 pesan. 3 pesan berupa poto 1 pesan berupa tulisan. Poto yang dikirim ternyata poto beberapa koreksi mengenai proposal kegiatan yang memerlukan beberapa perubahan. Pertama di lembar pengesahan, harus memasukkan nama lurah disamping nama camat dan nama sekretaris kegiatan disamping Ketua kegiatan, di bagian dana ada perubahan, dan di bagian cabang lomba ada penambahan.
Tak sengaja aku membaca nama camat yang tertera. Seketika aku ingat liburanku kemarin di kampung halaman
***
Setiap libur semester aku pasti pulang kampung. Secara aku kan punya kampung (emoji pakai kacamata). Dan setiap pulang kampung aku selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah nenek semata wayangku yang tingga di seberang daerah tempat tinggalku. Tidak hanya anak yang berhak mendapat gelar “semata wayang”, nenek pun bisa. Berhubung nenek dan kakek dari ayah serta kakeh dari Ibu sudah meninggal sebelum aku lahir ke dunia, jadilah aku di dunia ini hanya memiliki 1 nenek. Makanya aku menyebutnya sebagai nenek “semata wayang”, nenek satu-satunya yang aku punya. Karenanya aku menganggapnya sebagai ibu dari ibuku (bukannya memang begitu ya).
Hari itu, aku lupa hari dan tanggalnya, yang jelas bertepatan dengan perayaan maulid nabi Muhammad SAW di majid tempat nenekku tinggal. Untuk menuju rumah nenek, aku dan mamakku (penyebutan Ibu kalau di desa) harus melewati sebuah sungai dengan menggunakan transportasi air yang disebut dengan “pompong”. Transportasi ini berupa perahu ukuran besar yang terbuat dari papan disusun melengkung, atasnya ada atap dari terpal, dan dilengkapi mesin untuk menggerakannya. Tarif satu kali menyebrang hanya Rp 2.000/orang. Menurutku tidak mahal, daripada harus berenang ke seberang dan dibayar 2 ribu, siapa yang mau?
Kembali penjelasan di atas, hari itu bertepatan dengan perayaan maulid Nabi. Kebetulan sekolah libur, jadi aku bertiga ke seberang. Aku, mamak, dan adikku yang kebetulan lagi libur sekolah. Sampai di pelabuhan pompong, ada Sebuah pompong yang mau berangkat ke seberang. Untuk sempat kami panggil sehingga tidak ketinggalan. Aku duduk di kursi yang kosong yag kebetulan berada di depan seorang laki-laki yang menggunakan baju dinas PNS. Di bagian tengah ada guru ngaji adikku dan beberapa ornag lainnya. Sebelum berangkat ada seorang guru sekolah yang ikuta naik. Namun dia memilih duduk di belakang yang penuh dibandingkan di depan yang masih kosong. Sempat berpikir kenapa, tapi cuek saja.
Laki-laki yang duduk di depanku berwajah sedang. Muda sudah tidak muda tapi belum tua. Aku sih berpikir ini pejabat kecamatan atau kantor lain yang ada di mendahara. Cuek saja. Sekilas melihat, namun lebih suka diam.
Sedikit bocoran, sejak kuliah, aku jarang di rumah. Dalam setahun, 2 kali pulang kampung. Itupun setiap pulang kampung, lebih suka dirumah dibandingkan keluar jalan-jalan. Jadilah aku sering tidak tau info terbaru di desaku. Mungkin bisa dikatakan aku ini individualistik tapi fakta sebenarnya aku ini introvert. Jadi lebih nyaman diam dirumah dalam kesunyian.
Kembali ke cerita di atas pompong tadi. Selama di atas pompong, aku diam saja. Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Ketika pompong sudah sampai di pelabuhan seberang, aku segera naik. Menyusul Mamak dan adikku. Setelah itu kami jalan. Yang jelas kami jalan di depan rombongan bapak-bapak pake seragam PNS tadi. Arah kami dengan rombongan bapak-bapak itu sama. Bedanya kami hanya melewati jalan ke masjid sedangkan mereka ke masjidnya. Sebelum singgah ke masjid, guru ngaji adikku sempat berseru, “Mak Bima, ayok ikut maulid”. Dijawab mamakku,”lagi tidak bisa, Bu’.
Sebelum guru ngaji adkku berseru, aku sempat dengar penduduk berseru,”rombongan Pak Camat datang”, tapi tidak terlalu aku perhatikan seruan itu. Setelah rombongan itu belok ke masjid, aku baru termenung. Jangan-jangan bapak-bapak yang duduk di depanku di pompong tadi adalah pak camat. Waduh, kok ya keterlaluan sekali aku sampai tidak kenal dengan pemimpin sendiri. Mana tidak sopan duduk di depannya tanpa permisi atau apalah.
Tapi di sisi lain aku membuat pembelaan, toh aku kan memang jarang di rumah. Seingatku camat terakhir bukan itu. Lagipula di kendaraan umum, wajar dong aku duduk di tempat yang kosong. Harapanku sih semoga bapak camat  mengerti.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....