Kementerian Agama kembali mencabut empat biro travel perjalanan umrah atau Pelaksana Penyelenggara Ibadah Umroh (PPIU) yang terbukti melakukan penyimpangan. Keempatnya adalah PT Amanah Bersama Ummat (ABU Tours) yang berdomisili di Makassar, Solusi Balad Lumampah (SBL) di Bandung, Mustaqbal Prima Wisata di Cirebon, dan Interculture Tourindo di Jakarta.[1]
Kabar di atas merupakan bukti bahwa biro perjalanan haji dan umroh tanah air masih belum benar. Masih sering terjadi penyelewengan yang dilakukan yang pada ujungnya merugikan masyarakat dan pencabutan izin operasional. Kabar mengenai biro-biro travel perjalanan umah saat ini sedang menjadi isu hangat. Belum padam cerita mengenai penyelewengan yang dilakukan First Travel tahun lalu, kini kembali lagi penyelewengan yang dilakukan biro travel perjalanan haji dan umrah terjadi lagi. Salah satunya yang dilakukan oleh PT Biro Perjalanan Wisata Al-Utsmaniyah Tours atau yang lebih populer dengan nama Hannien Tour. Biro ini telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 65 huruf a Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Kemudian berujung pada pencabutan izin operasional secararesmi oleh Kementerian Agama.[2] Kemudian yang saat ini sedang eksis di berita adalah mengenai penyelewengan yang dilakukan oleh PT Amanah Bersama Ummat (ABU Tours).
Marak kasus penipuan oleh travel umrah dalam setahun terakhir ini mendapat sorotan dari Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umroh Republik Indonesia (AMPHURI) dan Himpunan Penyelenggara Uroh dan Haji (HIMPUH). Kedua organisasi itu menekankan adanya upaya preventif yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap biro perjalanan umrah. Hal ini agar tidak akan terjadi lagi penyelewengan yang dilakukan oleh biro perjalanan umrah.[3] Penyelewengan yang dilakukan biro perjalanan haji dan umroh ini tentu sangat merugikan masyarakat yang telah menyetorkan uangnya pada biro tersebut.
Jika kita melihat ke belakang, ternyata penyimpangan biro perjalanan haji dan umroh sudah ada sejak zaman pendudukan Belanda di Indonesia. Pada masa kolonial, hanya dikenal biro perjalanan haji saja dikarenakan waktu keberangkatan yang lama dan biaya yang besar, sehingga masyarakat pribumi belum ada yang melaksanakan perjalanan umroh.
Dalam Sebuah buku berjudul Berhaji di Masa Kolonial karya Dr. M. Dien Majid menjelaskan bahwa pada masa kolonial, keinginan masyarakat Indonesia untuk melaksanakan rukun Islam ke-5 sangat tinggi. Pada tahun 1888 jumlah jamaah Hindia Belanda dikenal dengan sebuatn “Haji Jawa” mencapai 8.856 orang, sempat turun pada tahun selanjutnya menjadi 6.785 orang, namun kemudian meningkat kembali pada tahun 1890 menjadi 10.040 orang.[4]
Jumlah jamaah haji yang meningkat menyebabkan perusahaan yang ditunjuk pemerintah Kolonial Belanda untuk melayani Jemaah haji tidak memadai sehingga pemerintah mengajak pihak swasta dalam pemberangkatan dan pemulangan haji. Sejumlah agen swasta yang ada, seperti Borneo Company Limited, De Lloyd, Firma Gellatly Hankey Sewell & Co, Firma AListe, Jawa & Co dan yang termasuk dalam “Kongsi Tiga”, terlibat aktif dalam pengangkutan Jemaah haji ke Mekkah. Dalam kegiatan tersebut, agen Herklots dan Firma Al-segaff & Co melakukan penyimpangan dan kecurangan saat memberangkatkan dan memulangkan Jemaah haji.[5]
Nama perusahaan Herklots diambil dari nama pendirinya, Johanes Gregorius Marianus Herklots. Penyimpangan yang dilakukan Herklots terkait proses pemulangan berupa monopoli Jemaah yang dilakukan Syeh Harklots dengan memaksa Jemaah haji sewaktu di Mekah hingga Jeddah membayar tiket penumpang kapal yang telah ditetapkan, ditambah lagi 500 gulden sebagai bayar jasa Harklots. Jemaah yang sudah membayar harus menunggu kapal api yang di carter dari Batavia yang sering datang tidak tepat waktu hingga membuat Jemaah menunggu dan tinggal di ruang terbuka tanpa fasilitas yang memadai. Kemudian, kapal yang digunakan untuk mengangkut Jemaah juga tidak layak digunakan dan melebihi kapasitas sehingga menimbulkan kesengsaraan Jemaah selama pelayaran. Hal ini menyebabkan Herklots diportasi ke Batavia dan agennya di Jeddah di tutup.[6]
Sedangkan, Firma AL-Segaff adalah salah satu agen terkenal berkedudukan di Singapura, bergerak di bidang jasa pemberangkatan dan pemulangan haji Jawa dari dan ke Singapura-Mekah. Perusahaan tersebut dipimpin Sayid Mohamad bin Achmad al-Segaff yang juga memiliki perkebunan karet di pulau Cocob, Johor, Malaysia dan mengalami kekurangan tenaga kerja. Al-Segaff melihat peluang merekrut tenaga buruh perkebunan dengan memanfaatkan Jemaah haji yang telah selesai menunaikan ibadah haji. Kepada mereka ditawarkan sejumlah uang dalam bentuk pinjaman untuk membeli tiket kapal kembali ke tanah air dengan cara pembayaran berupa bekerja di tanah perkebunan sampai hutang dinyatakan lunas. Hal ini menimbulkan pemaksaan yang dilakukan serta perbedaan upah yang sangat menyolok menunjukkan adanya implikasi pemerasan.[7]
Haruskah sejarah berulang? Haruskah penyimpangan yang pernah terjadi pada masa kolonial terjadi kembali pada masa sekarang. Meski versi penyimpangan sedikit berbeda tapi dampak kepada masyarakat hampir sama. Masyarakat dirugikan oleh penipuan yang dilakukan oleh biro perjalanan haji dan umroh ini. Tentu kita tidak menginginkan hal ini terjadi, untuk itu kita harus terus waspada dan berhati-hati terhadap modus penipuan yang berkedok agama.
[1] https://www.wartaekonomi.co.id/read175455/lagi-pemerintah-cabut-izin-4-biro-travel-umrah.html di posting pada 28 Maret 2018.
[2] https://tirto.id/first-travel-hingga-hannien-tour-kenapa-penipuan-umrah-berulang-cCGb diposting pada 3 Januari 2018.
[3] Ibid.
[4] ANRI, Laporan Konsul Belanda di Jeddah 1893/1310 H, mgs 16-8-1893 No. 2081, Mgs.4-11-1893 No.2811 dalam Dr. M. Dien Majid, Berhaji di Masa Kolonial, Penerbit: CV. Sejahtera, 2008 hal. 129.
[6] Ibid, hal. 120-156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar