Senin, 01 Juli 2019

MASJID BATU

(Gambar: Pribadi)

Sabtu, 10 Desember 2016, saya bersama teman saya akan memulai piknik sejarah ke salah satu peninggalan sejarah yang terdapat di Seberang Kota Jambi. Sekitar pukul 10.00 WIB perjalanan dimulai. Dengan menggunakan kendaraan bermotor, kami bergerak menuju sebuah kota yang terletak di Jambi seberang. Tujuan kami adalah utnuk mengunjungi sebuah peninggalan sejarah yang terdapat di Seberang Kota Jambi tepatnya di Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau teluk. Jaraknya dari Ibukota Jambi adalah ±20 Km. Sebelum mencapai tempat yang dituju, kami harus melewati sebuah jembatan yang bernama Jembatan Aur Duri Satu. Jembatan ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Zulkifli Nurdin. Terhitung sudah 2 periode pergantian pemerintahan setelah beliau menjabat. Setelah melewati jembatan ini, kendaraan terus melaju melewati perbatasan antara Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi. Kami berbelok ke arah kiri. Sebelum menuju tempat yang menjadi tujuan kami, kami singgah terlebih dahulu ke rumah salah satu kenalan yang tinggal di Seberang Kota Jambi ini. Sekaligus kenalan ini menjadi tour guide kami menjelajah Seberang Kota Jambi
Perjalanan dilanjutkan. Jika diperhatikan, rumah penduduk di seberang ini memiliki keunikan tersendiri. Rumahnya rata-rata masih dalam bentuk rumah panggung, berdinding papan, dan beratapkan genteng cokelat. Unsur tradisionalnya masih sangat kental jika dilihat dari bangunan rumah penduduk. Selain dari bangunannya, ternyata masyarakatnyapun masih masyarakat tradisi meski sudah terjangkau oleh modernisasi dan globalisasi. Di salah satu rumah masyarakat yang kami singgahi, kami harus menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai teras. Bagian dalam rumah berliku-liku, dan penghuninya berbicara menggunakan bahasa daerah. Kami disambut dengan ramah oleh si empunya rumah. Beberapa informasi yang kami butuhkanpun kami dapatkan tanpa menemui kesulitan.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini kami akan mengunjungi kediaman salah satu pengurus masjid yang menjadi target utama piknik sejarah kami. Masih dengan bentuk rumah yang sama. Berpanggung dan terbuat dari kayu. Dan juga masih dengan keramahan yang sama. Bahkan kami dijamu dengan makanan dan minuman. Sekilas saya berfikir, masyarakat di seberang ini orangnya welcome dan ramah-ramah. Akan tetapi di tempat kedua ini kami tidak terlalu banyak mendapatkan informasi yang kami butuhkan karena keadaan narasumbernya yang sedang sakit. Berlanjut, kami langsung menuju Masjid yanng menjadi target utama kami.
Di sebuah kecamatan di Seberang Kota Jambi, tepatnya di Kecamatan Danau Teluk, berdiri dengan megah sebuah masjid dengan arsitektur modern. Dindingnya berwarna putih dengan jendela yang berpasangan berada di bagian depan masjid. Pelatarannya luas sehingga memudahkan para pengunjung untuk memarkirkan kendaraannya. Di sebelah kiri masjid sedikit kedepan terdapat sebuah bangunan kecil yang tak berdinding. Bangunan ini ternyata adalah sebuah makan seseorang yang bernama Pangeran Wiro Kusumo, pendiri dari masjid ini. Di area makam tersebut terdapat 5 buah nisan dengan 1 buah nisan paling besar, 2 berukuran sedang, dan 2 lagi berukuran kecil. Tempat ini merupakan tempat pemakaman Pangeran Wiro Kusumo beserta keluarganya. Jika dilihat dari papan nama yang terdapat di masjid ini, masjid ini memiliki nama “Masjid Ikhsaniyah”, namun masyarakat lebih mengenal nama masjid ini sebagai masjid batu. Kiranya penamaan “Majid Batu” ini tidak terlepas dari sejarah masjid itu sendiri.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat Jambi seberang[1], lokalisasi pembangunan masjid ini awalnya di Buluran Solok Sipin, akibat adanya peperangan melawan Belanda dan kondisi masjid ini rusak dan tidak terawat oleh masyarakat dikarenakan mereka mengungsi ke seberang sungai Batang Hari, akhirnya masjid ini dipindahkan ke Kampung Pecinan (Olak Kemang Sekarang)[2]. Masih berdasarkan salah satu tokoh masyarakat, masjid ini dibangun oleh Sultan Said Idrus bin Hasan Al-Jufri yang bergelar Pangeran Wiro Kusumo. Masjid ini dibangun pada tahun 1838 M. Masjid yang didirikan berukuran 20x20 m2 dengan konstruksi bangunan dari kayu bulian dan tembesu.
Pada tahun-tahun awal abad ke-20, perkembangan Islam di Jambi maju pesat. Hal ini seiring dengan majunya pendidikan keislaman di Jambi yang ditandai dengan berdirinya empat pesantren utama, yaitu Pesantren Nurul Iman, Pesantren Saadad Daarain, Pesantren Jauharain, dan Pesantren Nurul Islam. Keadaan ini membuat kesadaran keislaman penduduk semakin mengkristal dan menjadikan kawasan Seberang Kota Jambi banyak didatangi orang dari berbagai daerah untuk belajar. Karena pesatnya perkembangan jumlah umat islam pada masa itu, maka dengan ukuran masjid yang demikian tidak akan mampu menampung jumlah jama’ah yang ada. Sehingga pada tahun 1935 direncanakan pembaharuan masjid yang didirikan oleh Sultan Said Idrus tersebut. Akhirnya masyarakat pada waktu itu membuat permohonan izin kepada pemerintah Belanda untuk merenovasi masjid tersebut.
Pemerintah Belanda setelah mengetahui bahwa masjid tersebut didirikan oleh seorang pangeran dan tentunya memiliki nilai  sejarah yang amat yang amat penting, akhirnya pembangunan masjid diambil alih oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1937.[3]
Masjid yang dibangun oleh pemerintah Belanda menggunakan konstruksi bangunan dari batu. Berdasarkan informasi yang didapat dari salah satu penjaga masjid yang bernama Asaddi Alokman, masjid ini sudah mengalami 3 kali renovasi pada awal pertama masjid ini dibangun dengan menggunakan bahan buluh (bambu), setelah itu diganti dengan kayu, dan terakhir dengan batu bata yang membuat masjid ini dikenal dengan nama Masjid Batu.
Pada tahun 1980, Masjid Ikhsaniyah mengalami renovasi kembali yang dipelopori oleh Bapak Drs. H. Abdurrahman Sayuti (mantan gubernur Jambi). Ukuran masjid diperbesar menjadi 30x30 m2 dengan tiang penyangga 43 buah. Menurut sertifikat wakaf, tanah masjid Ikhsaniyah berukuran ±2998 m2 dengan nomor akta (AIW) W.3/2/5/1985, sekarang ini, masjid Ikhsaniyah memiliki daya tampung jama’ah ±1000 orang.
Dalam makalah ringkas yang disusun oleh H.S Salim Al-Mahdor yang berjudul “Perjuangan dan Dakwah AL-Habib Ass-Sayid Idrus bin Hasan Al-Jufri (Pangeran wiro Kusumo) dalam kesultanan Negeri Jambi” tahun 2005, disebutkan bahwa sebelum dipindahkan masjid ini bernama “Masjid Sulthan”. Setelah direnovasi, maka para ulama Jambi bermufakat memberi nama masjid ini dengan nama “Masjid Ikhsaniyah”.
Ada sebuah mitos yang berkembang di masyarakat sekitar masjid batu ini. konon ceritanya masjid Ikhsaniyah (Masjid Batu) dulunya dianggap sebagai masjid keramat. Jika ada perkara dan harus bersumpah, maka bersumpahnya harus di masjid ini. kalau yang bersumpah itu bersalah, maka ia akan mengakui kesalahannya, jika tidak mengakui kesalahannya sampai ia bersumpah, maka ia akan menggelepar lalu tidak sadarkan diri, kemudian setelah sadar maka ia akan mengakui kesalahannya.
            Mengenai pendiri dari Masjid Ikhsaniyah atau Masjid Batu ini, beliau merupakan seorang pejabat  dari Kerapahan Patih Dalam yang juga merupakan besan dari Sultan Thaha Syaifudin. Sultah Kesultanan Jambi pada masa itu. Beliau memiliki gelar Pangeran Wiro Kusumo, sedangkan nama aslinya adalah Al-Habib As Syayyid Idrus bin Hasan Al-Jufri. Pangeran Wiro Kusumo berkedudukan di Olak Kemang Seberang Kota Jambi di sebuah rumah yang saat ini dikenal sebagai Rumah Batu, tidak jauh dari lokasi berdirinya Masjid Batu ini. rumah pangeran wirokusumo ini juga  dijadikan sebagai base camp bagi sultan bila menyusup atau pembantu-pembantu lainnya yang ditugaskan ke Jambi.[4]
Kondisi kediaman Pangeran Wiro Kusumo merupakan sebuah rumah bertingkat dua dengan memadukan 3 arsitektur, yaitu arsitektur Melayu, Eropa, dan Cina. Rumah ini dibangun pada abad ke-18. Unsur Melayu berupa rumah panggung dan bagian lantai dua rumah ini yang terbuat dari kayu, pengaruh Cina pada bentuk atap, gapura dan ornamen-ornamen berbentuk naga, awan, bunga dan arca singa. Di pilar bagian dalam, tampak relief bertuliskan huruf-huruf arab sedangkan unsur Eropa terlihat dari tiang-tiang panggung yang terbuat dari bahan bata dan semen berbentuk pilar menyangga bangunan di atasnya. Pada lantai bawah dilapisi ubin sedangkan pada lantai kedua berupa papan kayu. Kedua lantai ini dihubungkan dengan tangga semen dan tangga kayu. Selain dikenal sebagai Rumah Batu, masyarakat sekita juga menyebut rumah ini sebagai rumah Gedong. Posisi rumah menghadap ke arah sungai Batang Hari. Menurut keturuna ke-4 dari Pangeran Wiro Kusumo yang dapat kami temui di kediamannya yang berada di samping Rumah Batu ini, posisi menghadap Rumah Batu disesuaikan dengan kondisi pada masa itu dimana transportasi utama melalui perairan sedangkan akses jalan darat masih sulit ditemukan.[5]
Ketika berbicara mengenai Masjid Batu (Masjid Ikhsaniyah), maka tidak akan dapat terlepas dari cerita mengenai Pangeran Wiro Kusumo sebagai pendiri dari masjid ini dan Rumah Batu sebagai kediaman dari Pangeran wiro Kusumo.
Keadaan Rumah Batu sekarang memprihatinkan. Dinding batu lantai dasar telah terkelupas di sana-sini, meninggalkan pecahan keramik yang dulunya digunakan sebagai ornamen dinding. Bagian lantai dua bahkan lebih parah karena terbuat dari kayu yang tak sanggup menahan gempuran waktu yang datang panjang tak terbendung,  menyisakan  lapuk dan rapuh. Beberapa alat masak kuno seperti kuali besar teronggok di dalam ruangan. Ntah apa alasan pemerintah tetap membiarkan kondisi Rumah Batu seperti ini. apakah mungkin untuk tetap mempertahankan keaslian dari Rumah tersebut atau karena alasan lain, itu masih menjadi sebuah misteri bagi kami.
            Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa masjid Ikhsaniyah sudah mengalami 3 kali renovasi hingga sampai ke kondisi masjid yang sekarang ini. Renovasi masjid dilakukan secara keseluruhan tanpa meninggalkan arsitektur asli pada masanya. Sehingga sedikit menimbulkan kesulitan untuk melihat bagaimana arsitektur awal di masjid ini. Meskipun di arsitekturnya sudah berubah sama sekali, namun masjid ini masih memiliki peninggalan-peninggalan bersejarah yang tetap dibiarkan utuh seperti asllinya dan tidak terkena renovasi. Peninggalan-peninggalan tersebut adalah beduk dan mimbar.
Ciri khas Masjid al-Ikhsaniyah jambi adalah bangunan dalam Masjid dipenuhi dengan hiasan kaligrafi berbagai rupa. Mimbar asli berdiri anggun di sisi kanan mihrab. Sementara beduk peninggalan terdahulu berada di bagian belakang ruang shalat. Ciri mencolok dari Mesjid ini adalah banyaknya jendela. Jendela-jendela yang dipasang secara berpasangan.
                Masjid Ikhsaniyah (Masjid Batu) dan Rumah Batu merupakan bagian sejarah yang saling berkaitan. Kedua peninggalan ini merupakan saksi bisu mengenai perkembangan Islam di Seberang Kota Jambi. Ada hal unik yang kami dapatkan dari piknik sejarah kami kali ini, yakni di kedua peninggalan ini meskipun saling berkaitan namun ada sebuah perbedaan yang sangat mencolok. Masjid Batu sebagai saksi sebuah penyebaran agama Islam di tempat ini telah mengalami 3 kali renovasi dengan gaya modern tanpa meninggalkan arsitektur asli dari masjid tersebut. Sedangkan Rumah batu sebagai bekas kediaman dari pendiri Masjid Batu masih tetap dibiarkan utuh sebagaimana aslinya tanpa ada pemugaran atau perbaikan meski kondisi rumah tersebut sudah sangat meprihatinkan. Terlepas dari keadaan tersebut, baik Masjid Batu maupun rumah Batu merupakan suatu warisan sejarah yang sangat bernilai serta merupakan saksi sebuah peradaban.
               






[1] Wawancara dengan H.Said Salim Al.Machdor (78 tahun)
[2] Arsip “Profile Masjid Ikhsaniyah” Oktober 2015
[3] Arsip “Profile Masjid Ikhsaniyah” Oktober 2015
[4]T.Noor, Junaidi.  Makalah “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Kota Jambi”. 2016
[5]  wawancara dengan Ibu Sarifah Ulya, salah satu keturunan dari pemilik Rumah Batu sekaligus penjaga dari Rumah Batu (sekarang). Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Desember 2016 di kediamannya disamping Lokasi Rumah Batu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CATATAN AKHIR TAHUN 2020

 31 desember 2020 pukul 18.09 aku memulai tulisan ini. sudah lama aku tak menulis. Kesenanganku satu ini terenggut oleh rutinitas pekerjaan....